Hukum Berhaji dengan Visa Nonhaji, Murūr di Muzdalifah dan Tanāzul di Mina
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menerima beberapa pertanyaan dari beberapa pihak tentang problematika pada pelaksanaan ibadah haji kontemporer, khususnya pada tahun 2024 ini. Setidaknya ada tiga persoalan yang dihadapi dan perlu mendapatkan solusi hukum syariatnya. Pertama, fenomena orang-orang berhaji tetapi tidak menggunakan visa haji, kedua, boleh tidaknya murūr di Muzdalifah, dan ketiga boleh tidaknya tanāzul ke hotel ketika berada di Mina. Untuk itu, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah memandang perlu membuat penjelasan atas pertanyaan atau persoalan yang disebutkan di atas. Secara berurutan, di bawah ini diuraikan penjelasannya.
A. Berhaji dengan Visa Nonhaji
Menurut Undang-undang Nomor 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, visa legal yang dapat digunakan untuk berhaji ada dua macam. Pertama, visa haji kuota Indonesia, baik kuota reguler dan khusus. Kedua, visa haji mujamalah berupa undangan Pemerintah Kerajaan Saudi, atau juga dikenal dengan Haji Furoda. Berdasarkan ini, maka visa haji hakikatnya merupakan izin tertulis yang diberikan oleh pejabat berwenang di Kantor Perwakilan Pemerintah Arab Saudi di Indonesia, yang memungkinkan pemegangnya untuk melakukan perjalanan haji ke wilayah Kerajaan Arab Saudi. Pihak yang melaksanakan haji tanpa visa yang disebutkan dalam undang-undang, -seperti menggunakan visa ziarah- dalam kaca mata hukum tidak diperkenankan dan dianggap berhaji secara ilegal.
Dalam Islam sendiri, diketahui bahwa haji adalah ibadah yang sangat penting karena merupakan salah satu dari lima rukun Islam. Sebagai salah satu kewajiban agama, haji membutuhkan persiapan yang sangat besar dan matang, sehingga seseorang mampu melaksanakannya. Dalam potongan surah Ali Imran (3), ayat 97 disebutkan,
…وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ
… (Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam.
Ayat ini menunjukkan bahwa kewajiban haji mempersyaratkan persiapan yang matang, atau dalam ayat diungkapkan dengan kata istiṭā‘ah (mampu). Persiapan ini tidak hanya melibatkan aspek spiritual, tetapi juga aspek fisik, logistik dan administratif yang sangat kompleks. Oleh karena itu, pelaksanaan haji perlu melibatkan Pemerintah agar dapat dilaksanakan dengan baik dan tertib. Dengan demikian, persiapan (kemampuan) berhaji tidak hanya dilihat dari kesiapan fisik, finansial dan logistic saja, tetapi juga kesiapan administratif (al-Istiṭā‘ah al-Idāriyyah). Dalam konteks ini, orang yang tidak bisa memenuhi visa haji resmi, ia dianggap tidak memenuhi kesiapan dari segi administratif.
Selain tidak memenuhi syarat kesiapan dari segi administratif, berhaji dengan visa nonhaji ternyata berpotensi melahirkan mudarat dan mafsadah yang tidak sedikit. Mafsadah pertama, berhaji tanpa visa haji resmi berpotensi mendatangkan bahaya dan kerugian, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
Kerugian yang bisa didapatkan untuk diri sendiri berupa ancaman hukum yang tidak ringan. Dalam laman resmi Kementerian Agama Republik Indonesia (kemenag.go.id) disebutkan bahwa jamaah yang tertangkap menggunakan visa ziarah, akan ditahan, dideportasi dan berpotensi denda sebesar 10 ribu Riyal yang setara dengan Rp.42.000.000,- (empat puluh dua juta rupiah). Keterangan denda ini pun dikonfirmasi oleh Wizārah ad-Dākhilah al-Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Su‘ūdiyyah pada laman resmi mereka (moi.gov.sa). Haji dengan visa nonhaji juga melanggar keimigrasian yang berpotensi sanksi berupa larangan berhaji selama 10 tahun berturut-turut.
Adapun bahaya yang ditimbulkan kepada orang lain adalah menyebabkan penyelenggaraan haji tidak berjalan maksimal, yang nantinya akan berimbas pada banyak aspek. Suatu perbuatan yang menimbulkan bahaya, baik bagi diri sendiri maupun orang lain adalah hal yang tidak dibolehkan. Hadis Nabi saw dari Sahabat ‘Ubādah bin aṣ-Ṣāmit yang diriwayatkan salah satunya oleh Ibn Mājah -dan telah menjadi kaidah ushul- menyebutkan:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى أَنْ: "لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ [رواه ابن ماجه]
Dari ‘Ubādah bin aṣ-Ṣāmit (diriwayatakan), bahwa Rasulullah saw menetapkan bahwa tidak boleh ada sesuatu yang membahayakan (diri sendiri) dan tidak boleh pula membahayakan (pihak lain) [HR Ibnu Majah].
Oleh karena itu, berhaji dengan visa nonhaji adalah perbuatan yang terlarang karena menimbulkan banyak mafsadah dan terjadinya perlu dicegah. Dalam kaidah fikih disebutkan bahwa menghindari berbagai mafsadah lebih didahulukan daripada meraih kemaslahatan,
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Menghindari kemafsadahan-kemafsadahan lebih didahulukan daripada meraih berbagai kemaslahatan.
Mafsadah kedua, adalah timbul ketidakadilan bahkan sampai pada taraf mengambil hak orang lain. Dalam praktiknya, berhaji tanpa visa haji resmi secara otomatis mengambil jatah orang lain. Di tahun 2023 saja, terdapat kasus 100.000 jamaah Indonesia yang berhaji dengan menggunakan visa ziarah. Overcapacity ini pada akhirnya membuat space (ruang) semakin sempit, baik di area tawaf, sai, lempar jamrah, wukuf di Arafah, mabit Muzdalifah dan Mina. Padahal, berdasarkan laporan Direktorat Jenderal, Penyelenggaraan Haji dan Umrah, space jamaah di Muzdalifah diperkirakan hanya sekitar 0,29 m2, lebih sempit dari tahun lalu, sekitar 0,45m2. Dengan banyaknya jamaah dengan visa nonhaji, maka banyak tempat haji menjadi semakin padat dan sesak. Hingga pada kondisi tertentu membuat jamaah lain terganggu, pingsan bahkan berakibat kematian.
Dampak buruk ini, menunjukkan bahwa berhaji tanpa visa haji resmi sejatinya merupakan tindakan mengambil dan merampas hak orang lain. Oleh karenanya bisa dikategorikan sebagai tindakan pidana dalam sudut pandang syariat (jarīmah dīniyyah). Padahal, Allah mempersyaratkan proses yang baik di dalam melakukan kebaikan, utamanya ibadah yang bersifat khusus termasuk di dalamnya haji. Dalam surah al-Baqarah (2) ayat 188 disebutkan,
وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ࣖ
Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.
Mafsadah ketiga, berhaji dengan visa nonhaji merupakan tindakan penipuan, karena ia perlu melakukan pemalsuan dokumen dan manipulasi informasi. Dengan begitu, menggunakan visa selain visa haji resmi untuk melaksanakan haji dapat dianggap sebagai bentuk penipuan terhadap pemerintah dan pihak berwenang. Rasulullah sendiri mengancam orang yang melakukan penipuan (al-gasyyu) dengan tidak diakui sebagai bagian dari umatnya. Hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Muslim dari Sahabat Abu Hurairah r.a. menyebutkan,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّلَاحَ فَلَيْسَ مِنَّا، وَمَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا [رواه مسلم]
Dari Abu Hurairah (diriwayatkan), bahwa Rasulullah saw bersabda: “Siapa saja yang mengangkat senjata (memerangi) kami, maka ia tidak termasuk dari kami dan siapa yang menipu kami, ia pun tidak termasuk dari kami [HR Muslim].
Selain itu, pada hadis lain juga disebutkan bahwa umat Islam harus taat dan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah ia sepakati. Dalam al-Muwaṭṭa`, disebutkan sebuah hadis dari Sahabat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda,
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ [رواه مالك]
Umat Islam harus sesuai dengan syarat-syarat yang telah mereka sepakati [HR Malik].
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa dalam proses pelaksanaannya berhaji dengan visa nonhaji mengandung banyak hal yang bisa digolongkan sebagai bentuk kefasikan yang dilarang dalam pelaksanaan haji. Dalam potongan ayat 197 surah al-Baqarah (2) disebutkan,
… فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّ …
…Siapa yang mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, janganlah berbuat rafaṡ, berbuat maksiat, dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji…
Demikian pula dalam hadis yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah disebutkan,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ، وَلَمْ يَفْسُقْ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ [رواه الترمذي]
Dari Abu Hurairah (diriwayatkan) berkata, Rasulullah saw bersabda: Siapa saja yang berhaji dan tidak melakukan perkara keji (rafaṡ) dan tidak melakukan kefasikan, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu [HR at-Tirmidzi].
Berdasarkan paparan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu: Pertama, berhaji wajib hukumnya menggunakan visa haji resmi, karena merupakan bagian dari istiṭā‘ah idāriyyah (kemampuan administratif) yang dipersyaratkan. Kedua, berangkat haji dengan visa nonhaji adalah perbuatan terlarang karena menyebabkan banyak mafsadah, di antaranya merugikan diri sendiri dan orang lain, tindakan ketidakadilan karena mengambil hak orang lain, serta termasuk dari penipuan.
Selanjutnya, perlu disampaikan beberapa rekomendasi berikut ini: Pertama, meminta kepada Pemerintah agar segera mengambil tindakan pencegahan dan menutup jalan terjadinya penyalahgunaan visa ziarah untuk melanggar regulasi haji. Kedua, Pemerintah Republik Indonesia perlu membangun koordinasi dengan Pemerintah Arab Saudi yang terkait, dalam hal ini, keterlibatan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia dan Kementerian Luar Negeri Arab Saudi. Ketiga, selain dengan pihak Arab Saudi, Pemerintah Republik Indonesia juga perlu meningkatkan koordinasi antar tiga kementerian terkait, yaitu Kementerian Agama, Kementerian Hukum dan HAM serta Kementerian Perhubungan, dan instansi terkait lain, agar secara serius mencegah peluang pihak mana pun bisa berhaji tanpa menggunakan visa haji. Salah satunya dengan tidak mengeluarkan visa ziarah bagi siapa saja yang dikhawatirkan memanfaatkannya untuk berhaji secara ilegal. Keempat, Pemerintah hendaknya melakukan edukasi yang masif kepada masyarakat tentang kewajiban menggunakan visa haji resmi untuk berhaji dan terlarangnya menggunakan visa nonhaji.
B. Murūr di Muzdalifah
Terkait ketentuan murūr di Muzdalifah, Majelis Tarjih telah memberikan keterangan, baik melalui Tuntunan Manasik Haji, maupun Keputusan terkait haji yang termuat dalam Himpunan Putusan Tarjih jilid III. Dalam HPT Jilid III disebutkan dua poin penting. Pertama, Muzdalifah didatangi jamaah haji ketika matahari pada 9 Zulhijah telah terbenam. Selama perjalanan dari Arafah menuju Muzdalifah, dituntunkan untuk membaca talbiyah dan berdoa. Selama mabit, salat Magrib dan Isya ditunaikan secara jama’ ta`khīr dan qaṣar. Istirahat tidur dilakukan hingga waktu fajar. Praktik ini sesuai dengan tuntunan Nabi saw, salah satunya, hadis Nabi saw dari Sahabat Jabir yang diriwayatkan oleh Muslim,
عَنْ جَابِرٍ…حَتَّى أَتَى الْمُزْدَلِفَةَ، فَصَلَّى بِهَا الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ بِأَذَانٍ وَاحِدٍ وَإِقَامَتَيْنِ، وَلَمْ يُسَبِّحْ بَيْنَهُمَا شَيْئًا، ثُمَّ اضْطَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى طَلَعَ الْفَجْرُ، وَصَلَّى الْفَجْرَ حِينَ تَبَيَّنَ لَهُ الصُّبْحُ بِأَذَانٍ وَإِقَامَةٍ …[رواه مسلم]
Dari Jabir (diriwayatkan), ia berkata, … sampai di Muzdalifah beliau melakukan salat Magrib dan Isya dengan satu kali azan dan dua ikamah dan beliau tidak melakukan salat antara keduanya, kemudian Rasulullah saw tidur hingga terbit fajar, lalu beliau salat Subuh ketika waktu subuh tiba dengan azan dan ikamah [HR Muslim].
Kedua, sementara untuk yang berhalangan, diperkenankan berhenti sejenak di Muzdalifah dengan tetap di kendaraan atau turun dari kendaraan dan meninggalkan Muzdalifah sebelum fajar. Hal ini sesuai hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Aisyah r.a.,
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: نَزَلْنَا الْمُزْدَلِفَةَ، فَاسْتَأْذَنَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوْدَةُ أَنْ تَدْفَعَ قَبْلَ حَطْمَةِ النَّاسِ، وَكَانَتِ امْرَأَةً بَطِيئَةً، فَأَذِنَ لَهَا، فَدَفَعَتْ قَبْلَ حَطْمَةِ النَّاسِ،وَأَقَمْنَا حَتَّى أَصْبَحْنَا نَحْنُ، ثُمَّ دَفَعْنَا بِدَفْعِهِ، فَلَأَنْ أَكُونَ اسْتَأْذَنْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا اسْتَأْذَنَتْ سَوْدَةُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ مَفْرُوحٍ بِهِ [رواه البخاري]
Dari Aisyah r.a. (diriwayatkan) berkata, kami sampai di Muzdalifah, kemudian Saudah meminta izin kepada Nabi saw untuk berangkat mendahului rombongan. Saudah sendiri merupakan perempuan yang lambat (karena gemuk). Lalu Nabi mengizinkannya, sehingga ia berangkat mendahului rombongan, adapun kami tetap di sana (bermalam di Muzdalifah) sampai pagi hari, baru kemudian kami menyusul. Sungguh, meminta izin bagiku ke Rasulullah saw sebagaimana meminta izinnya Saudah adalah sesuatu yang paling aku cintai daripada hal yang menyenangkan [HR al-Bukhari].
Dua poin yang dijelaskan di atas menunjukkan bahwa, pada prinsipnya mabit dilaksanakan di Muzdalifah hingga fajar sebagaimana yang dikerjakan oleh Rasulullah saw. Namun, apabila ada kesulitan yang menjadi alasan (uzur) yang dibenarkan oleh syariat (syar‘i) maka anjuran bermalam (mabit) boleh diganti dengan melewati (murūr) lalu turun atau tetap di atas kendaraan.
Poin kedua sekaligus menjadi dasar kebolehan skema murūr yang direncanakan oleh Pemerintah sebagai pengganti mabit di Muzdalifah bagi kelompok risiko terkena penyakit (riski), lansia, difabel dan para pendamping. Dalam skema yang dirilis oleh Pemerintah disebutkan, murūr akan berlangsung pada 9 Zulhijah dari pukul 19.00-22.00 waktu Arab Saudi. Jamaah akan bergerak dari Arafah, melewati Muzdalifah, tidak turun dan langsung menuju Mina.
Uzur, dalam hal ini tidak hanya dilihat dari aspek kondisi jamaah yang memiliki fisik lemah, baik karena rentan terserang penyakit, maupun karena lansia, juga karena keadaan-keadaan tertentu. Misalnya saja, para pendamping kaum difabel, yang bisa jadi mereka secara fisik sehat dan sempurna, tapi karena mendampingi, maka diperkenankan untuk murūr. Termasuk juga keadaan area yang kian sempit disebabkan oleh pembangunan beberapa fasilitas di area Muzdalifah. Apalagi, di tahun 2024, 21% jamaah haji dari Indonesia terdiri dari kelompok lansia, rentan sakit dan difabel. Kepadatan jamaah yang dibarengi dengan sempitnya space menyebabkan semakin tingginya potensi sakit bagi jamaah kelompok risiko terkena penyakit, lansia, dan difabel.
Dalam sebuah kaidah fikih disebutkan,
إِذَا تَعَذَّرَ الْأَصْلُ يُصَارُ إِلى الْبَدَلِ
Apabila hukum asal (pokok) sulit untuk direalisasikan, maka bisa beralih kepada hukum pengganti.
Kaidah ini menjadi dasar peralihan dari mabit ke murūr. Dalam konteks haji, mabit berada dalam kedudukan al-aṣl, dan murūr dalam kedudukan al-badl. Dengan demikian, jika mabit sebagai asal hukum sukar untuk dilaksanakan karena ada alasan syar‘ī maka penunaiannya bisa dengan melaksanakan murūr sebagai pengganti dari hukum pokok.
Dasar kaidah ini juga menunjukkan bahwa jamaah yang memenuhi syarat untuk melaksanakan murūr, ia tidak terkena dam sebagai denda. Sebab hakikatnya ia tidak meninggalkan atau tidak mengerjakan salah satu dari rangkaian haji sehingga layak terkena dam. Ia tetap dianggap melaksanakan seluruh rangkaian, dengan mabit di Muzdalifah diganti dengan murūr melewati Muzdalifah.
Jamaah yang boleh murūr juga bisa melewati Muzdalifah di malam tersebut, kapan saja dengan tidak terbatas pada awal, tengah maupun akhir malam. Hal ini didasari dari analisis secara bahasa pada hadis tentang Saudah yang telah disebutkan sebelumnya. Dalam hadis tersebut disebutkan bahwa Saudah berangkat duluan sebelum Rasulullah saw dan rombongan yang lain tanpa ada perincian kapan Saudah berangkat ke Mina. Redaksi hadis menggunakan kata qablahu wa qabla ḥaṭmah an-nās, sementara qablah adalah kata yang menunjukkan waktu secara umum yang meniadakan informasi spesifik waktu keberangkatan Saudah. Dengan demikian, Aisyah r.a. sebagai periwayat tidak memberikan penjelasan (tark al-istifṣāl) atas waktu Saudah diizinkan Rasulullah untuk bertolak dari Muzdalifah. Dalam sebuah kaidah usul disebutkan,
حِكَايَةُ الْحَالِ اِذَا تَرَكَ فِيهَا الْاِسْتِفْصَالُ تَقُومُ مَقَامَ الْعُمُوْمِ فِي الْمَقَالِ
Penyampaian informasi terkait suatu keadaan tanpa ada perincian menunjukkan berlakunya keumuman pada keadaan tersebut.
Telaah kebahasaan ini mengantarkan pada kesimpulan bahwa waktu malam (al-lail) pada hadis yang menerangkan Saudah bertolak dari Muzdalifah, adalah seluruh malam, baik awal, pertengahan maupun akhir malam. Dengan demikian, murūr yang dilaksanakan pun juga tidak terikat pada awal, tengah atau akhir malam.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan: Pertama, pada prinsipnya, secara normal jamaah haji dituntunkan untuk bermalam di Muzdalifah pada malam 10 Zulhijah hingga terbit fajar, baru kemudian berangkat ke Mina. Kedua, bagi yang mengalami kesulitan (uzur) baik karena kondisi fisik, maupun keadaan, boleh baginya untuk mengganti mabit di Muzdalifah dengan murūr. Ketiga, jamaah yang memenuhi kriteria kebolehan murūr bisa melakukan murūr kapan saja, awal, tengah atau akhir malam dan tidak terkena dam.
C. Tanāzul ke Hotel setelah berada di Mina
Disebutkan dalam HPT Jilid III, setelah mabit dan melaksanakan berbagai ibadah di Muzdalifah, jamaah dituntunkan menuju Mina. Di Mina, jamaah melempar jamrah aqabah sebanyak 7 kali lemparan menggunakan batu kerikil. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam salah satunya hadis Nabi saw dari Sahabat Ibn Abbas r.a. yang diriwayatkan oleh Muslim,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ الْفَضْلِ بْنِ عَبَّاسٍ وَكَانَ رَدِيفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، أَنَّهُ قَالَ فِي عَشِيَّةِ عَرَفَةَ وَغَدَاةِ جَمْعٍ لِلنَّاسِ حِينَ دَفَعُوا: عَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ، وَهُوَ كَافٌّ نَاقَتَهُ حَتَّى دَخَلَ مُحَسِّرًا - وَهُوَ مِنْ مِنًى - قَالَ: عَلَيْكُمْ بِحَصَى الْخَذْفِ الَّذِي يُرْمَى بِهِ الْجَمْرَةُ، وَقَالَ: لَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُلَبِّي حَتَّى رَمَى الْجَمْرَةَ [رواه مسلم]
Dari Ibn Abbas, dari al-Fadl ibn Abbas-ketika ia membonceng di belakang Rasulullah saw (diriwayatkan) bahwa beliau berkata kepada orang-orang di sore hari Arafah dan pagi hari di Jamak saat mereka berangkat. “hendaklah kalian berjalan dengan tenang.” Ia senantiasa menjalankan untanya dengan pelan-pelan hingga memasuki lembah Muhassir, dan saat itu ia datang dari Mina. Ia berkata, “hendaklah kalian mengambil kerikil untuk melempar jamrah” [HR Muslim].
Terkait pelaksanaan ibadah haji di Mina ini, Pemerintah juga merencanakan skema tanāzul dalam rangka mengantisipasi kepadatan jamaah. Meskipun area di Mina lebih luas dari Muzdalifah, space untuk setiap jamaah masih relatif sempit, hanya mendapat 0,79 cm. Pelaksanaannya, setelah dari Muzdalifah pada tanggal 10 Zulhijah kembali ke penginapan. Jamaah selanjutnya kembali ke Mina keesokan harinya untuk melaksanakan rangkaian ibadah di Mina. Hal ini menunjukkan, pada hakikatnya tanāzul yang dimaksud oleh Pemerintah adalah pulang ke hotel di sela-sela melaksanakan ibadah yang dituntunkan selama di Mina, termasuk di antaranya melempar jamrah, baik melempar sendiri atau diwakilkan, sementara yang diwakili tetap berada di tenda Mina.
Dalam konteks ini, prinsip kemudahan dengan asas memelihara agama (hifẓ ad-dīn) dan memelihara jiwa (hifẓ an-nafs) sejatinya menjadi dasar kebolehan skema tanāzul bagi pihak yang dikhawatirkan akan mengalami kesulitan bahkan membahayakan jika ikut berdiam di Mina. Prinsip kemudahan ini memang ditetapkan Allah pada setiap pelaksanaan ibadah-ibadah yang disyariatkan. Di antara dalil yang menunjukkan hal itu adalah,
1. Potongan ayat ke-78 surah al-Hajj (22),
…وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ …
… dan (Allah) tidak menjadikan kesulitan untukmu dalam agama…
2. Potongan ayat 185 surah al-Baqarah (2),
…يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖ…
… Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran…
3. Hadis riwayat al-Bukhari dari Aisyah r.a.,
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ: مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا، فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ، وَمَا انْتَقَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ إِلَّا أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللَّهِ، فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ بِهَا [رواه البخاري]
Dari Aisyah r.a. (diriwayatkan) bahwa ia berkata, Rasulullah saw tidak pernah memilih salah satu antara dua hal, kecuali beliau memilih yang paling mudah di antara keduanya selama yang mudah itu bukanlah dosa. Jika itu adalah dosa, maka sungguh beliau adalah manusia yang paling menjauhinya. Nabi saw pun tidak pernah membenci karena pertimbangan diri sendiri, kecuali berkaitan dengan kehormatan Allah, sehingga beliau membenci sesuatu karena Allah swt [HR al-Bukhari].
Dalil-dalil ini juga sejalan dengan beberapa kaidah fikih. Di antaranya,
اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيرُ
Kesulitan menghendaki adanya kemudahan.
Juga kaidah lain,
إِذَا ضَاقَ الْأَمْرَ اِتَّسَعَ
Sesuatu jika dirasa sempit (sulit) maka beralih menjadi longgar (mudah).
Dalam kitab Jāmi’ al-Masā`il fī ‘Ilm al-Uṣūl wa al-Maqāṣid, disebutkan bahwa masyaqqah yang dimaksud di sini adalah beban dan kesukaran yang dialami oleh seseorang dalam pelaksanaan hukum syariat. Oleh karena itu, keadaan tubuh seseorang yang lemah karena usia renta, fisik yang rentan terserang penyakit, termasuk keadaan difabel pada seseorang sangat layak dikategorikan sebagai masyaqqah yang menyulitkan pelaksanaan haji secara normal. Dengan demikian, murūr dan tanāzul yang menjadi skema untuk mengatasi kesukaran ini merupakan bagian dari kemudahan (taisīr) dan bentuk pelonggaran (ittisā’) yang diperbolehkan. (Tuntunan Manasik Haji, Bab 9, Ibadah di Muzdalifah, butir 2)
Perlu diperhatikan bahwa jamaah yang melaksanakan skema tanāzul, tidak dikenai dam selama tanāzul karena hakikatnya tidak ada ibadah yang ditinggalkannya ketika melakukan tanāzul. Begitu pula jika jamaah melakukan tanāzul dan mewakilkan lempar jamrah kepada jamaah lain yang masih muda, ia pun tidak dikenai dam. Hal ini sesuai dengan pendapat jumhur kecuali mazhab maliki yang tetap mewajibkan dam.
Hal yang berbeda, jika seorang jamaah sama sekali tidak ke Mina dan karena itu meninggalkan ibadah yang dianjurkan seperti melempar jamrah, maka jamaah itu dikenai kewajiban membayar dam. Hal ini karena ia telah meninggalkan salah satu kewajiban dari rangkaian ibadah haji. Dalam HPT Jilid III disebutkan bahwa salah satu yang menyebabkan wajibnya dam/hadyu adalah meninggalkan satu kewajiban haji seperti melempar jamrah, ihram dari mikat, mabit di Muzdalifah, mabit di Mina atau tawaf wadak. Ketentuan ini berdasakan pada surah al-Baqarah (2) ayat 196,
وَاَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّٰهِ ۗ فَاِنْ اُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ…
Sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Akan tetapi, jika kamu terkepung (oleh musuh), (sembelihlah) hadyu yang mudah …
Berdasarkan keterangan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan: Pertama, pada prinsipnya ibadah yang dituntunkan dalam haji adalah mabit di Mina setelah dari Muzdalifah dan melempar jamrah serta melaksanakan ibadah-ibadah selanjutnya. Kedua, tanāzul diperbolehkan bagi jamaah yang memiliki uzur syar‘i, baik terkait kondisi fisik, seperti risiko sakit, lansia, dan difabel, maupun uzur yang terkait dengan keadaan tempat dan kondisi pelaksanaan. Kebolehan tanāzul ini didasari atas prinsip taisīr yang menghendaki adanya kemudahan. Ketiga, tanāzul yang dimaksud di sini adalah pulang-balik dari Mina ke hotel di sela-sela melaksanakan ibadah di Mina. Jadi ketika jamaah bertanāzul, bukan berarti sama sekali tidak di Mina dan tidak mengerjakan ibadah selama di Mina. Keempat, bagi jamaah yang bertanāzul dan ketika waktu melempar jamrah ia berada di tenda Mina dan mewakilkan pada jamaah lain, ia tidak dikenai dam. Kelima, jamaah haji yang sama sekali berhalangan ke Mina dan tidak melaksanakan ibadah yang disyariatkan di Mina, ia dikenai dam, karena telah meninggalkan salah satu kewajiban haji.
Demikian fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengenai penggunaan visa nonhaji, murūr dan tanāzul. Semoga bermanfaat dan mencerahkan.
Yogyakarta, 5 Zulhijah 1445 H/12 Juni 2024 M
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Ketua, Dr. H. Hamim Ilyas, M.Ag.
Wakil Sekretaris, Atang Solihin, S.Pd.I.. M.S.I.