YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Menjadi pondasi penting yang mendasari kehidupan, tauhid dianggap sebagai asas dasar bagi umat Islam dalam beragama. Dalam perkembangannya tauhid mengalami penyempitan makna di mana umat Islam seringkali membatasi tauhid hanya dalam lingkup ketuhanan atau hubungan manusia dengan Allah. Perlunya rekonstruksi tauhid dipandang penting dan konsep ketuhanan dalam agama Islam tidak selalu terkait dengan teosentrik dan dogmatik, namun juga menggabungkan tiga paradigma yaitu iman, ilmu dan amal.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr H Haedar Nashir, MSi kepada seluruh dosen dan seluruh pejabat struktural Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dalam agenda Pengajian Ramadan 1445 H pada Senin sore (25/3).
“Dalam pandangan Islam berkemajuan, Muhammadiyah berupaya untuk memperkaya kembali pemaknaan bahwa tauhid tidak hanya berbicara mengenai hubungan manusia dengan Allah. Namun juga hubungan antar sesama manusia. Ada banyak ayat Al-Qur’an dan riwayat hadits yang menjelaskan mengenai hubungan manusia dengan sesamanya. Hal ini dikarenakan manusia memiliki kecenderungan kepada egoisme dan individualisme,” ungkapnya.
Haedar berpesan salah satu ujian bagi manusia dalam bertauhid bukan sekadar sadar untuk bertuhan. Namun juga sadar untuk menjalin hubungan yang baik dengan manusia lain. Islam, menurut Haedar adalah agama yang seimbang dalam semua aspek kehidupan dan umat Islam tidak dianjurkan untuk merasa paling benar dalam beragama dan melupakan dunia. Karena sejatinya tauhid mengajarkan umat Islam untuk bersikap peduli terhadap kemanusiaan dan lingkungan.
“Jika ingin menjadikan tauhid sebagai konsep yang direkonstruksi, jadikanlah tauhid sebagai bagian dari proses perubahan diri menjadi lebih baik, terutama dalam momen bulan Ramadan tahun ini. Akan ada tiga pengaruh terhadap orang yang bertauhid tinggi, diantaranya merasa dirinya diawasi Allah, senantiasa mengintrospeksi diri, dan bersungguh-sungguh dalam menjalani hidup,” imbuhnya.
Guru besar UMY di bidang ilmu sosiologi ini menambahkan bahwa proses tersebut yang harus menjadi tujuan dalam bertauhid, dan tidak mengarah kepada perasaan paling benar sendiri dalam beragama. Tauhid, menurut Haedar juga akan menjadikan seseorang tidak sewenang-wenang dalam menjalani hidup sebagai bentuk pembebasan dari segala belenggu.
“Dengan kembali pada makna tauhid yang sesungguhnya maka umat Islam di masa sekarang dapat membangun kehidupan yang lebih berkeadaban, termasuk dalam hal kecerdasan, kemajuan dan lebih bermartabat. Maka, momentum bulan puasa harus dimanfaatkan untuk memperhalus hati melalui pengendalian emosi, sekaligus mempertajam pikiran melalui pemilahan informasi agar tetap kritis,” pungkasnya. (ID/Cris)