Hari Lahir Pancasila, Terus Apa?
Oleh: Aan Ardianto, Anggota MPM PP Muhammadiyah
Pancasila yang oleh Ir. Sukarno disebut sebagai Philosofische Grondslag seharusnya dipraktekkan, tidak hanya dihafal atau menjadi penghias penambah ornamen bangunan. Lebih-lebih dijadikan sebagai palu gadam untuk memukul kelompok atau pihak yang tidak sepemahaman dengan ‘arus utama’. Pancasila lahir dari pengorbanan para tokoh pendahulu bangsa, mereka ingin menjadikan negara ini maju bersama-sama tidak meninggalkan yang lemah, dan maju bersama tidak hanya fisiknya.
Kelima sila dalam Pancasila harus diimplementasikan, tidak boleh diyatimkan – Buya Ahmad Syafii Maarif yang berpulang pada 27 Mei 2022 menjelang Hari Lahir Pancasila 1 Juni seringkali mengingatkan atau mungkin juga mengeluh sebab sila kelima Pancasila “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” seringkali dan masih menjadi sila yang yatim. Padahal kelima sila itu merupakan satu kesatuan pondasi atau dasar bangunan negara berdaulat di atasnya yaitu Republik Indonesia.
Jauh ke belakang, tokoh-tokoh Muhammadiyah bersama unsur perwakilan yang lain menjadi aktor yang membidani lahirnya Pancasila. Sebut saja Ir. Sukarno, Abdul Kahar Muzakir, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo menjadi aktor-aktor kunci lahirnya Pancasila. Bahkan sejarah mencatat penghapusan tujuh kata “.....dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” pada sila pertama adalah hasil pengorbanan yang dilakukan oleh Ki Bagus setelah dibujuk oleh Mr. Kasman atas permintaan Sukarno.
Ki Bagus pada saat itu sepertinya memiliki pandangan yang visioner tentang cita-cita terciptanya negara yang inklusif dan nyaman untuk semua. Meskipun Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam di atas 80 persen, tapi besaran angka itu tidak kemudian menjadikan umat Islam ini pongah dan mengangkangi negeri Zamrud Khatulistiwa ini sendirian. Muhammadiyah sebagai representasi umat Islam Indonesia, tentu dengan yang ormas Islam lain menginginkan Indonesia menjadi negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur - gemah ripah loh jinawi dengan segala potensi yang ada.
Pancasila Dasar Negara dengan Agama dan Budaya Luhur Bangsa
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah 2015-2022 dan 2022-2027, Haedar Nashir dalam setiap kesempatan seringkali menyebutkan tiga entitas ini yaitu Pancasila, Agama, dan Budaya Luhur Bangsa dalam satu kesatuan irama nafas. Ketiga entitas ini menjadi dasar ideal membangun Indonesia Berkemajuan, ketiganya menjadi sumber inspirasi dari moralitas dan spiritualitas Bangsa Indonesia. Ketiga entitas tersebut saling mengisi dan tidak saling bertentangan, ketiganya sekaligus sebagai jangkar atas setiap dinamika yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia.
Dalam situasi politik global yang terjadi sekarang membutuhkan moralitas dan spiritualitas. Bahkan moralitas dan spiritualitas ini tidak hanya dibutuhkan oleh negara berbasis agama, tapi juga negara-negara sekuler hanya saja dengan tumpuan nilai yang berbeda. Tidak hanya menjadi jangkar solusi atas masalah di dalam politik global, moralitas dan spiritualitas juga dibutuhkan di setiap sendi kehidupan. Moralitas dan spiritualitas sebagai jangkar juga meniscayakan untuk menjadi rem bagi ambisi manusia untuk kekuasaan.
Pancasila melahirkan moral-spiritual ideologis, agama melahirkan moral-spiritualitas yang religius, dan kebudayaan melahirkan moral-spiritualitas sosial. Idealisme, religiusitas, dan kepekaan sosial ini menjadi bekal Bangsa Indonesia untuk menghadapi dinamika global. Di dunia yang semakin sulit ditebak, perubahan iklim akibat kerakusan dan diperbudak hawa nafsu, korupsi, konflik berkepanjangan, sampai masalah menipisnya pangan menjadikan manusia butuh pijakan etis untuk menghadapi segala persoalan tersebut. Maka nilai-nilai utama Pancasila, agama, dan budaya luhur bangsa menjadi tumpuan dan harapan besar bagi keberlangsungan kebaikan umat manusia.
Tantangan Mewariskan Pancasila
Dunia yang tanpa sekat meniscayakan manusia untuk saling berinteraksi melintas batas. Teritorial sebuah negara menjadi kabur garis-garis batasnya, mungkin bagi generasi Baby Boomers sampai Milenial masih memiliki semangat nasionalisme, tapi apakah bisa menjamin semangat tersebut dapat diwariskan kepada Gen Z dan Alpha?. Terkait dengan pudarnya nasionalisme tradisional seperti yang disebutkan Yuval Noah Harari (2018) disebabkan diantaranya karena meningkatnya mobilitas global dan komunikasi yang lebih cepat telah mengubah identitas warga bangsa.
Saat ini banyak orang mulai mengidentifikasi diri mereka dengan komunitas global atau supranasional. Ini menciptakan identitas yang lebih kompleks dan mengurangi loyalitas terhadap negara bangsa tradisional. Di depan mungkin akan muncul entitas global yang mengambil alih banyak fungsi tradisional negara. Organisasi internasional, perusahaan global, dan jaringan teknologi mungkin akan menjadi pemain utama dalam tata kelola global, menggantikan peran negara bangsa.
Kenyataan tersebut tidak hanya terjadi di Uni Eropa, tapi juga di Indonesia. Sebagai contoh anak-anak Gen Z dan Alpha di Indonesia sudah dapat tersambung dengan mudah melalui game online dengan anak-anak sebaya atau mungkin lebih muda atau lebih tua yang berasal dari seluruh dunia. Dari berbagai permainan yang disediakan tersebut, mereka bisa saling berkomunikasi, bersepakat, berperang, membangun sistem bertahan atau menyerang, dan itu tidak terbatas. Mundialitas ini menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia.
Mewariskan Pancasila kepada generasi penerus bangsa tidak cukup dengan simbolisasi yang dangkal makna – mewariskan Salam Pancasila tentu bukan Solusi. Mewariskan Pancasila kepada penerus bangsa adalah tanggung jawab bersama yang harus dilakukan dengan kesadaran dan komitmen yang kuat. Melalui pendidikan, keteladanan, penguatan budaya lokal, pemanfaatan teknologi, dialog antar generasi, dan kegiatan sosial, nilai-nilai Pancasila dapat terus hidup dan menjadi pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, generasi mendatang akan memiliki fondasi yang kuat untuk menjaga keutuhan dan kejayaan Indonesia.