Karakteristik Ayat-ayat Puasa (4): Ramadhan Menumbuhkan Budaya Suka Berbagi

Publish

28 March 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
467
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Karakteristik Ayat-ayat Puasa (4): Ramadhan Menumbuhkan Budaya Suka Berbagi

Oleh Ust. M. Rifqi Rosyidi, Lc., M.Ag., Mudir Pondok Modern Muhammadiyah Paciran, Dewan Pakar Sahabat Misykat Indonesia

Ada dua jenis keshalehan yang harus dijaga keseimbangannya dalam kehidupan manusia khususnya bagi umat Islam, yaitu keshalehan individu dan keshalehan sosial.

Keshalehan individu diwujudkan dengan taat menjalankan ibadah yang nilai hablun min Allāhnya lebih dominan. Sedangkan keshalehan sosial diwujudkan dengan menjalankan perintah agama yang muatan hablun min al-nās lebih dominan.

Keduanya harus dikembangan secara berimbang karena masing-masing saling mempengaruhi dan sekaligus menjadi penentu bagi tingkat kualitas keshalehan yang lain. 

Ketaatan seseorang dalam beribadah yang menjadi indikator keshalehan individu harus menggerakkannya menjadi orang  yang peduli terhadap lingkungan sosialnya. Sementara tingkat kepedulian seseorang terhadap lingkungan sosialnya menjadi ukuran seberapa berpengaruh ibadah itu menyadarkannya untuk peduli dan menebar kebaikan di lingkungan sosialnya.

Dalam al-Quran surat al-Lail [92]: 5 terminologi keshalehan individu disebut dengan ittaqā sedangkan keshalehan sosial disebut dengan a'thā: "Fa ammā man a'thā wa ittaqā".

Berkaitan dengan ayat tersebut, Ibnu Taymiyyah mengatakan bahwa keduanya adalah  inti dari ajaran agama, dan akan berkembang secara seimbang apabila seseorang mampu menjaga kualitas tauhidnya. Pernyataan ini sesuai dengan penegasan pada  ayat selanjutnya, wa shaddaqa bi al-husnā. Sehingga dari rangkaian tiga ayat di atas bisa disimpulkan bahwa kualitas keimanan seseorang dapat dilihat dari kemampuannya untuk menyeimbangkan antara kedua keshalehannya: a'thā wa ittaqā.

Rasulullah bersabda: "orang beriman yang taat beribadah dan tetap sabar bertahan melakukan proses interaksi dengan lingkungan sosialnya yang dianggap rusak kualiatas imannya jauh lebih baik daripada yang hanya taat beribadah tetapi menjauh dari lingkungannya karena tidak sabar dengan dinamika sosial yang terjadi".

Salah satu tujuan ibadah puasa kita di bulan Ramadhan ini adalah mengembangkan kedua keshalehan tersebut secara berimbang. Ramadhan tidak hanya identik dengan puasa, baca Quran, shalat tarawih yang lebih berpengaruh kepada keshalehan individu saja. Tetapi Ramadhan juga membangun keshalehan sosial kita melalui pembiasaan saling berbagi kebaikan dalam bentuk tafthīr al-shā'im: memberi sesuatu yang bisa dijadikan berbuka puasa pada waktunya. Kita biasa menyebutnya bengan istilah berbagi ta`jīl. 

Perintah tafthīr al-shā'im atau berbagi ta'jīl yang diapresiasi dengan imbalan senilai pahala orang yang puasa ini tidak pernah dikaitkan dengan syarat batas minimal kepemilikan harta baik batasan waktu hawl maupun nishāb, sebagaimana yang diberlakukan di dalam perintah zakat wajib.

Tafthīr al-shā'im itu murni dipengaruhi oleh kualitas iman yang membentuk karakter suka berbagi. Sehingga ketika seseorang yang karakter dermanya sudah terbentuk akan selalu ingin memberi meskipun terkadang tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan.

Sebaliknya seseorang yang ibadahnya bermasalah tidak akan mampu membentuk karakter dermawan dan akan tetap pada karakter asalnya sebagai makhkuk sosial yang pelit. Wa kāna al-insānu qatūran (Q.S. al-Isra [17]: 100).

Sehingga, sebanyak apapun yang dimilikinya akan tetap merasa berat untuk berbagi. 

Ibadah di bulan Ramadhan harusnya menumbuhkan karakter suka memberi dalam diri kita, salah satunya dengan membiasakan berbagi ta'jīl sebagaimana telah disinggung di atas. Bukan malah sebaliknya menumbuhkembangkan budaya suka meminta dalam bentuk berburu ta'jīl. 

Pilihan untuk membayar fidyah, fidyatun tha'āmu miskīn (Q.S. al-Baqarah [2]: 184) bagi yang tidak mampu berpuasa juga bagian dari program pembentukan karakter filantropi ini.

Kalau kita cermati komposisi perbandingannya di Q.S. al-Ma'un akan kita temukan bahwa Ibadah yang bersifat sosial ini ternyata lebih banyak mendapat perhatian dalam ajaran Islam, sekaligus menjadi tolok ukur penting bagi keimanan seseorang.

Maka Rasulullah s.a.w. ketika dihadapkan kepada dua pilihan antara beri'tikaf di masjid ataukah membersamai saudaranya dalam menyelesaikan hajat hidupnya, ternyata beliau lebih memilih keluar masjid meninggalkan i'tikaf untuk bisa membantu saudaranya menyelesaikan kebutuhan hidupnya.

Perilaku nabi ini sekaligus menunjukkan bahwa pengaruh ibadah seseorang tidak boleh berhenti hanya untuk kebaikan dirinya sendiri. Tetapi ibadah yang baik adalah yang mampu menggerakkan seseorang untuk memberikan kontribusi sosial bagi lingkungannya.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Hendra Apriyadi , M.Pd (Wakil Ketua 1 STIKes Muhammadiyah Tegal /Kandidat Doktor PBI Uhamka) ....

Suara Muhammadiyah

19 January 2024

Wawasan

Puasa Menuntun Hawa Nafsu Manusia Oleh: Rumini Zulfikar (Gus Zul), Penasehat PRM Troketon "Maka pe....

Suara Muhammadiyah

20 March 2024

Wawasan

Bani Israil dan Tanah yang Dijanjikan Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas A....

Suara Muhammadiyah

1 January 2024

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Allah menyuruh kita memahami lingkungan di mana kita berada (qul sîr&ucir....

Suara Muhammadiyah

27 October 2023

Wawasan

Posisi Manusia dan Kemerdekaan Diri Oleh: Agusliadi Massere Kemerdekaan diri, baik kemerdekaan pik....

Suara Muhammadiyah

4 November 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah