Harta dan Perempuan: Melampaui Bias Klasik
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Saya ingin menelaah surat An-Nisa, ayat lima, “Janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta benda mereka yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan mereka. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik." Lantas, apa yang seringkali disalahpahami mengenai ayat ini?
Menariknya, dalam kitab-kitab tafsir klasik seperti karya Ibnu Katsir yang sangat dihormati di kalangan umat Islam, terdapat penafsiran yang perlu kita cermati. Kata kunci dalam ayat ini adalah "sufaha’", yang sering diterjemahkan sebagai "tidak kompeten" atau "belum sempurna akalnya". Namun, "sufaha’" juga bisa berarti "bodoh", seperti yang kita temui dalam ayat lain di Al-Qur`an, yaitu surah Al-Baqarah ayat 142.
Dalam konteks ayat yang kita bahas, pesan yang disampaikan adalah, "Jangan berikan kekayaan yang telah Allah amanahkan kepadamu kepada orang-orang bodoh." Ini adalah peringatan yang jelas untuk tidak mempercayakan pengelolaan harta kepada mereka yang tidak memiliki kemampuan atau kebijaksanaan untuk mengelolanya dengan baik.
Ketika membahas siapa yang dimaksud dengan "orang-orang bodoh" atau "tidak kompeten" dalam ayat ini, para penafsir klasik memberikan berbagai pandangan. Beberapa menyebutkan pelayan, anak-anak, anak yatim, dan bahkan perempuan. Yang menarik, banyak dari mereka, seperti Ibnu Katsir yang mengutip Qatadah, Mujahid, dan Ibn Abi Hatim, secara eksplisit menyebut "perempuan" sebagai salah satu kelompok yang dimaksud, kecuali perempuan yang taat kepada wali mereka.
Penafsiran semacam ini menempatkan perempuan dalam posisi subordinat dalam masyarakat, terutama di bawah kendali suami mereka. Seolah-olah perempuan tidak mampu mengelola harta mereka sendiri dan membutuhkan orang lain untuk melakukannya. Padahal, ayat-ayat sebelumnya dengan jelas menyatakan bahwa perempuan berhak memiliki dan mengelola harta mereka sendiri, termasuk mahar yang diberikan suami kepada mereka.
Namun, entah mengapa, para penafsir ini mengabaikan fakta tersebut ketika membahas ayat ini. Mereka seolah-olah memperlakukan ayat ini secara terpisah dari konteksnya, tanpa memperhatikan ayat-ayat sebelumnya yang menegaskan hak perempuan atas harta mereka. Bahkan, mereka juga mengabaikan ayat-ayat selanjutnya yang akan memperjelas makna sebenarnya dari ayat ini.
Hal ini menunjukkan adanya bias dan ketidakadilan dalam penafsiran klasik terhadap ayat-ayat Al-Qur`an yang berkaitan dengan perempuan. Penting bagi kita untuk membaca Al-Qur`an secara holistik dan kontekstual, serta menghindari interpretasi yang merendahkan atau membatasi hak-hak perempuan.
Ayat selanjutnya, ayat nomor enam, sebenarnya memberikan penjelasan yang lebih jelas tentang ayat sebelumnya. Ayat lima memperingatkan agar tidak menyerahkan pengelolaan harta kepada orang yang tidak kompeten, sementara ayat enam menjelaskan bagaimana menguji anak yatim hingga mereka mencapai usia menikah dan dianggap mampu mengelola harta mereka sendiri.
Namun, ketika ayat-ayat ini ditafsirkan secara terpisah, tanpa memperhatikan konteks dan hubungan di antara keduanya, maka muncullah kesalahpahaman. Para penafsir klasik yang secara terpisah menafsirkan ayat lima akhirnya menyimpulkan bahwa perempuan termasuk dalam kategori "orang yang tidak kompeten". Meskipun mungkin tidak ada niat buruk di baliknya, hasil akhirnya adalah penafsiran yang merendahkan perempuan.
Meskipun saat ini mungkin tidak ada yang secara terbuka mendukung penafsiran seperti itu, kita tidak bisa mengabaikan kemungkinan bahwa beberapa orang masih memegang pandangan tersebut secara diam-diam. Pandangan yang bias ini dapat mempengaruhi cara mereka memperlakukan dan memandang perempuan secara umum.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk selalu membaca dan memahami Al-Qur`an secara utuh dan kontekstual. Kita harus menghindari interpretasi yang sempit dan bias, serta selalu berusaha mencari makna yang sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan yang diajarkan oleh Islam.
Kita tidak bisa mengabaikan peran penting kitab-kitab tafsir klasik dalam memahami Al-Qur`an. Karya-karya monumental seperti Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Al-Qurtubi adalah titik awal yang berharga dalam perjalanan kita memahami wahyu Ilahi. Namun, kita juga harus membaca dengan kritis dan bijaksana.
Saat ini, banyak dari kitab-kitab tafsir klasik ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, termasuk Tafsir Ibnu Katsir dalam bentuk ringkasan. Meskipun beberapa bagian yang kontroversial mungkin telah dihilangkan dalam terjemahan, kita tetap perlu membaca dengan cermat dan menggunakan filter kritis. Tafsir Al-Qurtubi juga sedang diterjemahkan secara bertahap, memberikan kita akses lebih luas ke pemikiran para ulama klasik.
Penting untuk membaca karya-karya ini dengan rasa hormat dan penghargaan terhadap upaya besar para ulama dalam menyusunnya. Namun, kita juga harus menyadari bahwa mereka adalah produk dari zaman dan konteks sosial mereka sendiri. Kita tidak boleh menerima begitu saja setiap interpretasi yang mereka tawarkan, tetapi harus selalu mengujinya dengan akal sehat, konteks sejarah, dan prinsip-prinsip universal Islam.
Jika kita mengabaikan kitab-kitab tafsir klasik ini, kita akan seperti kapal tanpa kompas di tengah lautan luas, tersesat tanpa arah. Namun, jika kita membacanya tanpa filter kritis, kita berisiko terjebak dalam interpretasi yang usang atau bias.
Oleh karena itu, kita perlu menemukan keseimbangan antara menghargai warisan intelektual para ulama klasik dan menggunakan akal sehat serta pemahaman kontekstual dalam menafsirkan Al-Qur`an. Lalu, bagaimana kita bisa membaca kitab-kitab tafsir klasik dengan filter yang tepat? Bagaimana kita, sebagai pembaca awam, dapat memahami dan menilai interpretasi yang disajikan?
Kunci utamanya adalah dengan selalu mempertanyakan hubungan antara ayat Al-Qur`an dan tafsir yang diberikan. Kita harus bertanya, "Apakah interpretasi ini benar-benar sesuai dengan makna ayat tersebut? Bagaimana penafsir sampai pada kesimpulan ini?"
Misalnya, dalam kasus ayat yang membahas tentang "orang-orang bodoh", beberapa penafsir klasik menyimpulkan bahwa itu merujuk pada perempuan. Kita perlu mempertanyakan, bagaimana mereka bisa menghubungkan kedua hal tersebut? Apakah ada dasar yang kuat dalam ayat itu sendiri, atau apakah itu hanya didasarkan pada asumsi dan prasangka budaya pada masa itu?
Kita juga perlu mempertimbangkan konteks sosial dan budaya saat ayat tersebut diturunkan, serta konteks sosial dan budaya kita saat ini. Pada masa lalu, mungkin ada anggapan bahwa perempuan secara umum kurang kompeten dibandingkan laki-laki. Namun, pandangan seperti itu tidak lagi relevan di zaman modern, di mana perempuan telah membuktikan kemampuan mereka dalam berbagai bidang.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk membaca kitab-kitab tafsir klasik dengan sikap kritis dan analitis. Bukan untuk mencari-cari kesalahan, tetapi untuk memahami berbagai perspektif dan memastikan bahwa interpretasi yang kita terima sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan yang diajarkan oleh Islam. Dengan demikian, kita dapat mengambil manfaat dari kekayaan intelektual para ulama klasik sambil tetap menjaga relevansi dan keadilan interpretasi kita terhadap Al-Qur`an.