Hati yang Terkunci: Takdir Ilahi atau Konsekuensi Pilihan?
Oleh: Donny Syofyan/Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Bayangkan sebuah pertanyaan mendasar yang telah lama menggelayuti benak para teolog dan cendekiawan Muslim: sejauh mana campur tangan Tuhan dalam menentukan keimanan seseorang? Untuk mencari jawabannya, mari kita bersama-sama menelusuri beberapa ayat suci Al-Qur'an, khususnya yang terdapat di bagian awal Surah Al-Baqarah. Di sana, kita diperkenalkan dengan dua kelompok yang menarik perhatian: kaum kafir yang secara tegas menolak risalah kebenaran, dan kaum munafik yang menampilkan wajah keimanan di luar, namun menyimpan keraguan dan kepalsuan di dalam hati.
Para mufasir klasik telah menafsirkan ayat-ayat ini seolah-olah Tuhanlah yang secara langsung menetapkan status keimanan mereka. Seolah-olah takdir telah digariskan: "kelompok ini akan menjadi kafir karena kehendak ilahi, dan kelompok itu akan menjadi munafik atas izin-Nya".
Ambil contoh ayat keenam dan ketujuh Surah Al-Baqarah. Dipermukaan, ayat ini seolah menyatakan bahwa kaum kafir tertutup hatinya untuk keimanan, terlepas dari upaya peringatan yang diberikan. Allah digambarkan telah 'mengunci' pendengaran dan penglihatan mereka, serta memasang 'tabir' penghalang.
Namun, benarkah demikian? Jika Tuhan telah 'mengunci' hati seseorang, menghilangkan kemampuan mereka untuk memilih, bagaimana mungkin mereka dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak? Bukankah mereka dapat berdalih, 'Ya Tuhan, Engkaulah yang telah menutup hatiku"? Di sinilah kita perlu menggali lebih dalam. Al-Qur'an sendiri memberikan petunjuk lain, mengisyaratkan bahwa 'penguncian' hati ini bukanlah tindakan sepihak dari Tuhan, melainkan konsekuensi dari akumulasi dosa dan perbuatan buruk yang diibaratkan seperti 'karat' yang perlahan-lahan menggerogoti dan menutup hati
manusia dari hidayah."
Jadi, dapat kita pahami bahwa tindakan-tindakan manusialah yang secara bertahap 'mengkaratkan' hati. Analogi ini serupa dengan apa yang kita saksikan dalam dunia mekanika modern, di mana bagian-bagian mesin yang terus-menerus terpapar karat pada akhirnya akan macet dan tak berfungsi. Begitu pula dengan hati; ia tidak berkarat dalam artian fisik, melainkan secara metaforis, akibat akumulasi dosa, pelanggaran, ketidaktaatan kepada Tuhan, dan terutama kekafiran.
Seiring waktu, 'karat' spiritual ini menumpuk dan mengeras, hingga akhirnya 'mengunci' hati tersebut. Dengan demikian, bukanlah Tuhan yang secara sepihak mengunci hati seseorang, melainkan orang kafir itulah yang, melalui kegigihan dan keengganannya untuk meninggalkan dosa dan kekafiran, telah menyebabkan hatinya sendiri tertutup.
Al-Qur'an seringkali menyajikan perspektif yang melampaui pemahaman awam kita. Dari sudut pandang manusia, kita memahami tindakan fisik dan pilihan yang kita buat. Namun, kita mungkin kurang menyadari bahwa di balik setiap kejadian, terdapat kuasa dan kehendak Allah yang bekerja. Sebagai contoh sederhana, ketika saya memutuskan untuk bangun tidur, dalam keyakinan Muslim, kekuatan untuk melakukannya sesungguhnya berasal dari Allah.
Saya hanya menyampaikan niat, dan Allahlah yang mewujudkannya. Demikian pula, setiap tindakan manusia memiliki dua sisi: pilihan dan usaha dari pihak manusia, dan izin serta kuasa dari Allah yang memungkinkan tindakan itu terjadi. Namun, kita tidak boleh terjebak dan melupakan bahwa manusialah yang pada dasarnya membuat pilihan dan bertanggung jawab penuh atas tindakannya. Terkadang, karena kita cenderung fokus pada tindakan manusia dan melupakan peran Allah di baliknya, Allah 'menyisipkan' perspektif ilahi ini dalam narasi Al-Qur'an. Inilah mengapa, sekilas, mungkin terdengar seolah-olah Allahlah yang 'mengunci' hati seseorang dan menjadikannya kafir.
Padahal, hakikatnya, individu itulah yang memilih jalan kekafiran dan menyebabkan hatinya tertutup. Pada titik inilah, Allah menegaskan kekuasaan-Nya dengan berfirman, 'Tuhanlah yang melakukan ini' – sebuah pengingat akan kendali mutlak-Nya atas segala sesuatu.
Intinya, 'karat' yang menggerogoti hati bukanlah takdir yang dipaksakan, melainkan hasil dari pilihan dan tindakan manusia itu sendiri. Layaknya mekanisme yang rusak akibat karat seiring berjalannya waktu, hati pun menjadi tumpul dan tertutup karena akumulasi dosa, pelanggaran, dan penolakan terhadap kebenaran. Jadi, bukan kehendak Allah yang pertama-tama mengunci hati seseorang, melainkan kegigihan individu dalam kekafiran dan perbuatan dosa yang secara bertahap menutup pintu hatinya.
Al-Qur'an seringkali memberikan kita pemahaman yang melampaui batas pandangan manusiawi kita. Kita cenderung melihat tindakan dari sudut pandang pelaku, dari pilihan dan usaha yang kita lakukan. Namun, seringkali kita luput menyadari bahwa di balik setiap tindakan, ada izin dan kuasa Allah yang bekerja. Misalnya, keinginan saya untuk bangun di pagi hari baru bisa terwujud atas izin dan kekuatan yang diberikan oleh Allah. Saya hanya memiliki niat, dan Allah-lah yang memungkinkannya terjadi. Dalam setiap perbuatan
manusia, terdapat dua sisi mata uang: ikhtiar dan pilihan kita, serta qudrat dan iradah (kehendak) Allah.
Penting untuk kita pahami bahwa meskipun Allah memiliki kuasa mutlak, manusialah yang pada dasarnya membuat pilihan dan harus bertanggung jawab atas konsekuensinya. Terkadang, untuk mengingatkan kita akan kekuasaan-Nya yang meliputi segala sesuatu,
Allah 'menyisipkan' perspektif ilahi dalam narasi Al-Qur'an. Hal inilah yang mungkin membuat kita keliru memahami seolah-olah Tuhanlah yang secara langsung mengunci hati seseorang dan menjadikannya kafir. Namun, kebenaran yang diajarkan Al-Qur'an adalah bahwa individu itu sendirilah yang memilih jalan kekafiran dan menyebabkan hatinya tertutup.
Meskipun demikian, pada saat yang sama, Allah menegaskan bahwa segala sesuatu terjadi atas izin dan kekuasaan-Nya, 'Tuhanlah yang melakukan ini'– sebuah penegasan akan kendali-Nya yang sempurna. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami keseluruhan proses ini secara utuh, melihatnya dari dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Di satu sisi, terdapat tindakan dan pilihan bebas manusia; di sisi lain, ada kekuatan ilahi yang menjadi landasan dan mewujudkan segala sesuatu. Jadi, seseorang menjadi kafir bukanlah karena takdir ilahi yang telah ditentukan sebelumnya.
Sebaliknya, rencana Allah adalah menciptakan manusia dalam fitrah yang suci, mengajak mereka menuju keimanan yang tulus, namun memberikan kebebasan bagi mereka untuk menyimpang, merusak hati mereka sendiri hingga berkarat, bahkan menguncinya rapat dengan kekafiran. Senada dengan pembahasan kita, kini kita beralih kepada kaum munafik. Ayat ke-10 menyatakan bahwa di dalam hati mereka terdapat penyakit, dan Allah menambah penyakit itu.
Di sini pun, pemahaman yang tepat adalah bahwa kaum munafik itu sendirilah yang menyebabkan penyakit di hati mereka semakin bertambah. Semakin mereka berkeras dalam kemunafikan dan perbuatan-perbuatan munafik mereka, semakin dalam pula akar penyakit
itu tertanam. Jadi, merekalah yang secara aktif memperparah kondisi hati mereka. Namun, di balik semua itu, Allah ingin mengingatkan kita bahwa Dia tetap memegang kendali penuh atas segala yang terjadi. Meskipun Allah memiliki kuasa untuk bertindak lain, Dia
mengizinkan penyakit itu bertambah sebagai konsekuensi dari tindakan kaum munafik itu sendiri.
Lalu, bagaimana kita memahami ayat ke-21 dari surah yang sama? Ayat ini dibuka dengan seruan universal, 'Wahai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu'. Kemudian dilanjutkan dengan frasa dalam bahasa Arab, yang diterjemahkan secara sederhana menjadi 'agar kamu menjadi orang-orang bertakwa.’ Apa implikasi dari bagian ini? Istilah dalam bahasa Arab tersebut mengandung makna potensi dan harapan akan keselamatan. Tuhan menciptakan kita dan generasi sebelumnya dengan harapan agar kita bertakwa, berbuat baik, dan dengan demikian, terhindar dari azab-Nya.
Namun, seorang mufasir klasik terkemuka, Al-Qurtubi, mengajukan pertanyaan penting. Beliau berpendapat bahwa tidak mungkin Tuhan menciptakan manusia dengan 'harapan' mereka akan selamat, sebab menurut pandangan predestinasi, Tuhan telah menetapkan takdir setiap individu: siapa yang beriman dan selamat, serta siapa yang kafir dan celaka. Beliau kemudian menafsirkan frasa 'agar kamu menjadi bertakwa’ sebagai konsekuensi dari perintah 'sembahlah Tuhanmu' – 'sembahlah Tuhanmu, maka kamu akan aman'. Menurut kerangka predestinasi, Tuhan tidak menciptakan sebagian orang agar mereka selamat, karena Dia telah menentukan sebagian dari mereka untuk masuk neraka.
Namun, kita memiliki pemahaman yang berbeda. Mengapa kita harus menerima penafsiran yang bertentangan dengan inti ajaran agama kita, yang menegaskan bahwa kita memiliki kebebasan untuk memilih jalan hidup kita? Tuhan telah memberikan kita pilihan antara surga
dan neraka. Jika seseorang akhirnya memilih jalan yang salah, itu bukanlah karena Tuhan menciptakannya untuk tujuan itu. Sebaliknya, Tuhan menciptakan kita dengan harapan yang tulus agar kita memilih jalan kebaikan yang menuntun menuju surga.
Dia telah menganugerahkan kita kekuatan untuk membuat pilihan yang bertanggung jawab, memilih jalan yang selaras dengan hati nurani kita dan mengarah pada keselamatan. Ayat ini adalah salah satu dari sekian banyak ayat Al-Qur'an yang seringkali disalahartikan dalam kerangka predestinasi. Saatnya kita melepaskan diri dari penafsiran yang dipaksakan tersebut dan memahami ayat-ayat ini dalam konteks yang lebih luas, yang mencerminkan kebijaksanaan, keadilan, dan kasih sayang Tuhan kepada seluruh ciptaan-Nya.