Hidup yang Berkelanjutan
Oleh: Suko Wahyudi, pegiat literasi tinggal di Yogyakarta
Al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan Allah SWT sebagai pedoman hidup yang menyeluruh bagi manusia. Ia tidak hanya mengatur persoalan ibadah dan akhlak, tetapi juga mengajarkan prinsip-prinsip kehidupan yang selaras, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Dalam pandangan Al-Qur’an, manusia tidak ditempatkan sebagai penguasa absolut atas bumi, melainkan sebagai khalifah yang diberi amanah untuk memelihara dan mengelolanya dengan bijaksana. Amanah itu melekat dalam fitrah manusia sebagai hamba Allah yang bertanggung jawab atas segala tindakannya di muka bumi.
Allah berfirman, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A‘raf [7]: 56). Ayat ini menjadi dasar etika ekologis Islam: menjaga bumi berarti menegakkan kebaikan dan memelihara rahmat Allah. Kerusakan alam bukan sekadar masalah lingkungan, melainkan tanda hilangnya kesadaran spiritual manusia terhadap amanah kekhalifahan yang ia emban.
Alam semesta diciptakan Allah SWT dalam keseimbangan dan keteraturan. “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (QS. Al-Qamar [54]: 49). Setiap ciptaan tunduk kepada hukum keseimbangan ini. Maka, pelanggaran terhadap keseimbangan itu — baik dalam bentuk keserakahan ekonomi, eksploitasi sumber daya, maupun gaya hidup konsumtif — adalah bentuk pelanggaran terhadap hukum Allah SWT. Krisis lingkungan yang dihadapi dunia modern sesungguhnya adalah akibat dari rusaknya kesadaran tauhid manusia terhadap Tuhannya dan ketidakmampuannya menempatkan diri sebagai makhluk yang terbatas di hadapan Sang Pencipta.
Al-Qur’an menegaskan bahwa bumi bukan diciptakan sia-sia. “Dan tidaklah Kami menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan sia-sia.” (QS. Shad [38]: 27). Setiap ciptaan memiliki fungsi dan tujuan dalam sistem kehidupan. Kesadaran terhadap hal ini melahirkan rasa hormat terhadap ciptaan Allah dan menumbuhkan tanggung jawab moral untuk menjaganya. Maka, menjaga keberlanjutan kehidupan bukanlah proyek duniawi semata, melainkan bagian dari ibadah kepada Allah.
Tauhid dan Etika Keberlanjutan
Konsep keberlanjutan dalam pandangan Islam berakar pada tauhid. Tauhid tidak hanya bermakna mengesakan Allah secara teologis, tetapi juga mengakui keterpaduan seluruh ciptaan dalam satu sistem yang tunduk kepada kehendak-Nya. Dalam kesatuan ini, manusia memiliki peran moral untuk hidup seimbang dengan alam dan makhluk lain. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 190).
Orang berakal dalam pandangan Al-Qur’an bukan hanya mereka yang berpikir logis, tetapi mereka yang mampu membaca tanda-tanda Tuhan dalam alam. Pandangan ini menumbuhkan rasa takjub dan syukur, bukan sikap eksploitatif. Oleh sebab itu, Islam mendorong gaya hidup yang sederhana, moderat, dan tidak berlebihan. Allah mengingatkan, “Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A‘raf [7]: 31). Moderasi dalam konsumsi adalah kunci keberlanjutan.
Sikap hemat, efisien, dan tidak boros bukan hanya etika ekonomi, melainkan manifestasi dari iman. Kesederhanaan melatih manusia untuk menghargai nikmat Allah dan menjaga keberlangsungan sumber daya bagi generasi mendatang. Di sinilah relevansi nilai wasathiyyah — jalan tengah — yang diajarkan Islam sebagai prinsip hidup. Hidup yang berkelanjutan tidak dapat terwujud tanpa keseimbangan antara kebutuhan spiritual dan material, antara hak individu dan kepentingan bersama.
Keadilan Ekologis dan Amanah Kekhalifahan
Al-Qur’an menegaskan bahwa manusia diangkat sebagai khalifah di bumi. “Kemudian Kami jadikan kamu khalifah-khalifah di bumi setelah mereka, supaya Kami melihat bagaimana kamu berbuat.” (QS. Yunus [10]: 14). Makna kekhalifahan ini bukan kekuasaan tanpa batas, tetapi tanggung jawab untuk menegakkan keadilan di antara seluruh ciptaan. Alam memiliki haknya sendiri yang tidak boleh dilanggar. Maka, eksploitasi alam secara berlebihan dan ketidakpedulian terhadap kerusakan lingkungan adalah bentuk kezaliman terhadap makhluk Allah.
Allah mengingatkan, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum [30]: 41). Kerusakan ekologis yang terjadi di berbagai belahan dunia — perubahan iklim, banjir, kekeringan, dan pencemaran — adalah cermin dari perilaku manusia yang melupakan nilai-nilai tauhid dan amanah. Ayat ini sekaligus menjadi panggilan untuk bertobat dan memperbaiki hubungan dengan alam sebagai bagian dari hubungan dengan Sang Pencipta.
Dalam pandangan Al-Qur’an, keberlanjutan hidup mencakup tiga dimensi: spiritual, sosial, dan ekologis. Dimensi spiritual menumbuhkan kesadaran bahwa segala sesuatu adalah ciptaan Allah yang harus dihormati. Dimensi sosial menuntut keadilan dalam distribusi sumber daya agar kesejahteraan dirasakan bersama. Dimensi ekologis mengajarkan tanggung jawab terhadap bumi agar tetap layak dihuni oleh generasi mendatang. Ketiganya saling berjalin dalam satu kesatuan nilai yang melahirkan peradaban rahmatan lil ‘alamin.
Dalm konteks kehidupan modern, ajaran Al-Qur’an tentang keberlanjutan menjadi semakin relevan. Gaya hidup konsumtif, industrialisasi yang tak terkendali, dan orientasi ekonomi yang menuhankan keuntungan telah menjauhkan manusia dari prinsip keseimbangan. Oleh karena itu, umat Islam perlu tampil sebagai teladan dalam membangun peradaban berkelanjutan — peradaban yang menyeimbangkan kemajuan dengan kelestarian, teknologi dengan moralitas, serta kemakmuran dengan keberkahan.
Langkah-langkah sederhana seperti menanam pohon, menghemat energi, mengelola sampah dengan bijak, dan tidak mubazir dalam penggunaan sumber daya adalah wujud nyata dari amal saleh ekologis. Islam mengajarkan bahwa sekecil apa pun kebaikan akan bernilai di sisi Allah. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Jika kiamat terjadi sementara di tangan salah seorang dari kalian ada bibit tanaman, maka tanamlah ia.” (HR. Ahmad). Hadits ini menunjukkan optimisme Islam terhadap kehidupan dan tanggung jawab untuk terus menanam kebaikan hingga akhir.
Al-Qur’an juga menegaskan, “Dia telah menciptakan kamu dari bumi dan menjadikan kamu pemakmurnya.” (QS. Hud [11]: 61). Kata isti‘mār dalam ayat ini berarti memakmurkan, bukan merusak. Manusia diperintahkan untuk membangun, mengembangkan, dan melestarikan bumi dengan ilmu dan iman. Kesadaran ini melahirkan sikap tanggung jawab lintas generasi — kesadaran bahwa bumi bukan warisan dari nenek moyang, tetapi titipan untuk anak cucu.
Pada akhirnya, hidup yang berkelanjutan dalam pandangan Al-Qur’an bukan hanya agenda ekologis, melainkan panggilan iman. Siapa yang menjaga bumi berarti menjaga amanah Allah; siapa yang berbuat baik kepada alam berarti berbuat baik kepada dirinya sendiri. Allah menegaskan, “Barang siapa yang berbuat baik, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri, dan barang siapa yang berbuat jahat, maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan Tuhanmu tidaklah berlaku zalim kepada hamba-hamba-Nya.” (QS. Fushilat [41]: 46).
Maka, marilah kita menjadikan hidup berkelanjutan sebagai bagian dari kesalehan sosial dan spiritual. Dengan meneladani pesan Al-Qur’an, umat Islam dapat menumbuhkan peradaban yang berkeadilan, beradab, dan berkelanjutan — peradaban yang berpijak pada tauhid, tumbuh dalam akhlak, dan berbuah pada kemaslahatan seluruh makhluk. Itulah wujud nyata dari rahmatan lil ‘alamin, kehidupan yang diberkahi dan lestari di bawah naungan cahaya wahyu. (hanan)


