Isu GEDSI dalam Pilkada dan Pembangunan Daerah yang Inklusif
Oleh: Dr. Amalia Irfani, M.Si, LPPA PWA Kalbar/Sekretaris LPP PWM Kalbar
Pilkada serentak tinggal menghitung hari akan digelar dipenjuru Indonesia. Laporan data dari KPU, total daerah yang mengikuti Pilkada serentak 27 November 2024 sebanyak 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota. Tentu banyak persiapan yang harus dilakukan oleh penyelenggara pemilu untuk menghantarkan pesta demokrasi yang jujur dan adil kelima dalam sejarah era pilkada secara langsung.
Rakyat pun harus digiring untuk mengunakan hak suara sesuai dengan porsinya. Seluruh rakyat pasti berharap, di masa awal kepemimpinan Presiden kedelapan Indonesia, Pak Prabowo bersama kabinet Merah Putih, dapat menciptakan kedamaian dalam berdemokrasi. Menciptakan iklim pemerintahan yang memberi rasa aman dan nyaman. Dimana kesejahteraan rakyat semakin baik dan merata.
Sejarah mencatat, mulai 2005, 2010, 2015, dan 2020 dalam pesta demokrasi banyak hal yang harusnya dijadikan rujukan perbaikan. Karena selalu ada temuan yang berimplikasi merugikan. Pemilihan kepala daerah sejatinya bukanlah pesta rakyat biasa tanpa tujuan berarti, tetapi sebuah pesta demokrasi terbesar dimana disitulah hak-hak warga negara dipertaruhkan.
Watak calon pemimpin akan terlihat jelas, apakah murni karena ingin merubah keadaan lebih baik atau hanya sekedar panggilan mendapatkan kekuasaan. Dua hal yang menurut penulis harus bersama kita cermati sebagai pemilih agar tidak memunculkan penyesalan dikemudian hari. Nasib penerus bangsa kelak adalah tanggung jawab mutlak seluruh elemen masyarakat. Dimana degradasi moral generasi semakin merosot ditengah himpitan kecanggihan teknologi tanpa pernah bisa diprediksi.
Maka, bukan lagi masanya berpangku tangan dan berujar bukan urusan kita sebagai rakyat. Tetapi bersama kita jadikan momen Pilkada sebagai gerakan sosial perubahan berkeadilan untuk Indonesia emas yang didambakan.
Misalnya, bagaimana calon pemimpin dalam melihat, memahami, peduli dan akhirnya menjadikan kebutuhan masyarakat terpenuhi. Isu tentang GEDSI singkatan dari Gender Equality, Disability, and Social Inclusion. GEDSI adalah pendekatan yang bertujuan untuk menghilangkan hambatan, meningkatkan akses, dan diharapkan memungkinkan partisipasi dari populasi yang terpinggirkan bahkan seringkali diabaikan oleh masyarakat karena dianggap kelompok kurang layak, tidak mampu memainkan peran sosial.
Keterbatasan fisik acap kali membuat stigma "dikasihani" lewat norma di masyarakat. Padahal, jika merujuk pada keadilan sosial, amanah Pancasila di sila kedua "Kemanusiaan yang adil dan beradab". Sila ini mengandung butir pertama yang menyatakan bahwa setiap manusia memiliki persamaan derajat, hak, dan kewajiban dalam payung hukum dan dilindungi seluruhnya oleh negara.
GEDSI dan Pembangunan Daerah yang Inklusif
Pembangunan daerah yang inklusif didefinisikan sebagai pembangunan yang melibatkan seluruh warga negara dan komponen bangsa secara bermakna, tanpa diskriminasi, namun dirangkul atas dasar hak yang sama sebagai warganegara.
Dalam sejarahnya inklusi sosial pertama kali muncul di Prancis tahun 1970-an atas keadaan krisis kesejahteraan di negara Eropa. Mengutip dari Azyumardi Azra, 2016, di Indonesia setidaknya ada enam kelompok yang rentan mengalami eksklusi sosial: pertama, korban diskriminasi; kedua, intoleransi dan kekerasan berbasis agama; ketiga, korban pelanggaran HAM berat; keempat, waria; kelima, masyarakat adat dan lokal terpencil yang tergantung pada sumber daya alam; dan keenam, disabilitas, serta anak dan remaja rentan.
Kelompok disabilitas mungkin dapat dikategorikan sebagai sebuah fenomena sosial masyarakat yang membutuhkan perhatian khusus dan tidak dipandang sebelah mata, termasuk hak-hak mereka dalam berbangsa dan bernegara. Hak-hak ini perlu terus didengungkan dalam sebuah tatanan hidup sehat bermasyarakat, tidak saja melalui perlakuan sosial tetapi hak hidup, termasuk dalam menyampaikan aspirasi dalam ranah demokrasi.
'Aisyiyah sendiri sebagai organisasi perempuan sejak kelahirannya konsisten memberikan edukasi dan sosialisasi tentang isu GEDSI sebagai bagian tanggung jawab dan dakwah kepada sesama untuk semesta. Dibuktikan dengan berbagai PKM dalam bentuk bantuan materi dan pendampingan, seminar, webinar serta tersebarnya kader militan yang tiada henti melakukan edukasi sosial di tempatnya masing-masing.
Maka, perlu edukasi massal bahwa, disabilitas bukanlah momok memalukan. Bukan pula menjadikan hak hidup tergadaikan. Jika negara (daerah) dapat memberikan ruang bagi para warga disabilitas maka akan berdampak positif pada kesejahteraan hidup, include didalamnya kesehatan dan ekonomi.