Anak Saleh (17)
Oleh: Mohammad Fakhrudin
"Anak saleh bukan barang instan. Dia diperoleh melalui proses yang sangat panjang dan penuh tantangan."
Ada dua hal pokok yang telah diuraikaan di dalam “Anak Saleh” (AS) 16, yakni (1) pengertian istiqamah dan (2) perintah agar muslim mukmin istiqamah. Tidak berlebihan kiranya jika dinyatakan bahwa bagi muslim mukmin yang rajin mengaji, kedua hal tersebut sesungguhnya sudah sangat sering didengar dan/atau dibaca.
Di antara pembaca AS (16) ada yang merespons bahwa merawat keistiqamahan beribadah sangat berat. Benar! Memang demikian! Berkenaan dengan hal itu, di dalam AS (17) diuraikan dua hal pokok, yaitu (1) kendala beristiqamah dan (2) fenomena Tsa’labah bin Khatib masa kini.
Kendala Beristiqamah
Kendala berarti faktor atau keadaan yang membatasi, mengalangi, atau mencegah pencapaian sasaran; kekuatan yang memaksa pembatalan pelaksanaan. Kendala beristiqamah berarti faktor atau keadaan yang membatasi, mengalangi, atau mencegah beristiqamah, bahkan, membatalkan beristiqamah. Kendala itu dapat berupa tantangan, tentangan, dan godaan.
Arti ketiga kata tersebut di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan sebagai berikut. Kata tantangan berarti, antara lain, hal atau objek yang menggugah tekad untuk meningkatkan kemampuan mengatasi masalah. Tentangan berarti penolakan. Godaan berarti sesuatu yang dapat menggoda ketabahan hati. Di dalam konteks istiqamah arti itulah yang dirujuk.
Faktor yang Berpengaruh
Agar dapat mengatasi kendala beristiqamah, perlu dipahami lebih dahulu secara utuh penyebab kendala tersebut. Secara garis besar, faktor yang berpengaruh terhadap keistiqamahan
dibagi menjadi dua, yaitu (1) faktor internal dan (2) faktor eksternal.
1. Faktor Internal
Kuatnya akidah muslim mukmin sangat penting bagi tumbuh berkembangnya keistiqamahan. Dalam konteks akhlak istiqamah, perlu diperhatikan bagaimana akhlaknya terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Jika bagus, dapat dipastikan keistiqamahannya terpelihara dengan baik pula.
Setiap muslim mukmin yang bagus akhlaknya terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya pasti berakhlak istiqamah. Kebagusan akhlaknya itu ditandai dengan, antara lain, kesadaran bahwa berakhlak istiqamah merupakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya yang wajib dilaksanakan. Ada kesadaran pula di hatinya bahwa keutamaan berakhlak istiqamah berguna tidak hanya bagi dirinya sendiri dan muslim mukmin yang lain, tetapi juga bagi seluruh umat manusia, bahkan, alam semesta.
Suami yang bagus akhlaknya terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya dapat diharapkan berakhlak istiqamah dalam beribadah, berakhlak, dan bermualah duaniwi. Dalam beribadah mahdah misalnya shalat dia istiqamah menaati perintah melaksanakan shalat pada awal waktu. Dia pun istiqamah mengerjakan shalat tidak hanya yang wajib, tetapi juga yang sunnah.
Tahajud baginya merupakan saat yang istimewa untuk curhat dan mohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia yakin seyakin-yakinnya bahwa tahajud yang dikerjakannya dengan istiqamah pasti berbuah manis. Demikian pula ibadah mahdah yang lainnya.
Di dalam hatinya ada keyakinan bahwa karena beratnya istiqamah, pasti ada pahala yang sangat besar sebagaimana dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an, antara lain, surat Fushshilat (41): 30-32 berikut ini.
اِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللّٰهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا تَتَنَزَّل عَلَيْهِمُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ اَلَّا تَخَافُوْا وَلَا تَحْزَنُوْا وَاَبْشِرُوْا بِالْجَنَّةِ الَّتِيْ كُنْتُمْ تُوْعَدُوْنَ ٣٠
“Sesungguhnya, orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah,” kemudian tetap (dalam pendiriannya), akan turun malaikat-malaikat kepada mereka (seraya berkata), “Janganlah kamu takut dan bersedih hati serta bergembiralah dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.”
نَحْنُ اَوْلِيَاۤؤُكُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَفِى الْاٰخِرَةِۚ وَلَكُمْ فِيْهَا مَا تَشْتَهِيْٓ اَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيْهَا مَا تَدَّعُوْنَۗ ٣١
“Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat. Di dalamnya (surga) kamu akan memperoleh apa yang kamu sukai dan apa yang kamu minta.”
نُزُلًا مِّنْ غَفُوْرٍ رَّحِيْمٍࣖ ٣٢
“(Semua itu) sebagai karunia (penghormatan bagimu) dari (Allah) Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Surga adalah dambaan setiap muslim mukmin. Hidup abadi di surga atas keridaan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai penghormatan atas keistiqamahannya jelas lebih utama daripada kebahagiaan apa pun di dunia. Berkenaan dengan itu, kalaupun menurut orang lain dia tidak memperoleh balasan di dunia seperti yang diharapkannya, dia tidak surut dari kemantapan hatinya.
Sementaraa itu, di d alam HR al-Bukhari dijelaskan,
قَالَ يَا مَعْشَرَ الْقُرَّاءِ اسْتَقِيمُوا فَقَدْ سَبَقْتُمْ سَبْقًا بَعِيدًا فَإِنْ أَخَذْتُمْ يَمِينًا وَشِمَالًا لَقَدْ ضَلَلْتُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا
"Wahai, ahli Al-Qur’an! Bersikap istiqamahlah kalian! Dengan demikian, kalian telah menjadi pemenang yang jauh. Sebaliknya, jika kalian oleng kanan kiri, kalian telah sesat sesesat-sesatnya.”
Keutamaan yang demikian membuatnya pantang lelah istiqamah, apalagi berhenti. Dia pantang marah. Tetap saja dia ramah menghadapi kenyataan yang tidak selalu sesuai dengan harapan. Dia tetap berdamai dengan orang-orang yang merendahkannya.
Istri yang berakhlak bagus terhadap Allah Suhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya demikian pula. Tidak pernah dia lelah menjadi orang saleh. Di hatinya tertanam kuat keyakinan bahwa ibadah yang dilakukannya secara istiqamah pasti berbuah manis dan dia yakin bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Tahu tentang wujud dan waktu terbaik baginya.
Pasutri yang demikian tentu dikondisikan oleh kesehatan fisik dan mentalnya yang baik. Pasutri yang sakit mentalnya mudah putus asa ketika “kekhusyukan” shalatnya dan ibadah lainnya dirasa tidak mendatangkan hasil seperti yang diharapkannya. Akhirnya, dia shalat sekadar menggugurkan kewajiban. Dia tidak lagi shalat berjamaah meskipun rumahnya dekat dengan masjid. Dia lebih memilih shalat bergantian dengan istri atau suaminya di rumah. Shalat rawatib tidak lagi dikerjakannya, apalagi tahajud. Pikirannya berubah. Logika dangkalnya lebih diutamakan daripada akhlaknya terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Akibatnya, jika sebagai wirausahawan kecil-kecilan, dia berpikir bahwa waktu harus digunakan dengan sebaik-baiknya agar dapat mengembangkan usahanya. Pikirannya pun berubah seiring dengan kebutuhan biaya pendidikan anaknya. Sedekah dianggapnya dapat mengganggu kemampuannya membiayai anaknya, maka sedekahnya pun dikurangi, bahkan, dihentikan sama sekali.
2. Faktor Eksternal
Tantangan, tentangan, dan godaan dapat pula bersifat eksternal. Tantangan, tentangan, dan godaan yang demikian dapat berasal dari orang tua pasutri, saudara, teman, tetangga, film, dan/atau bacaan.
Ilustrasi berikut ini kiranya dengan mudah dapat kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Suami semula rajin mengerjakan shalat tidak hanya yang wajib. Bahkan, shalat berjamaah di masjid atau musala menjadi kegiatan rutin yang terpelihara sangat baik. Dia pun rajin berdoa. Puasa pun dikerjakannya tidak hanya yang wajib. Namun, istrinya tidak demikian halnya. Tambahan lagi, keadaan ekonomi tidak sesuai dengan harapan istri. Keadaan yang demikian sering dijadikan bahan perselisihan pendapat dalam hal cara mengatasinya. Masih ada lagi: mertua mulai membandingkannya dengan anak dan menantunya yang (menurut ukurannya) sukses.
Suami yang akhlaknya terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya belum bagus mudah terpengaruh. Keistiqamahannya mulai goyah. Keuletan menjemput rezeki halal berubah. Dia tidak lagi mempersoalkan halal haramnya rezeki. Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan lagi satu-satunya tempat memohon. Dukun pun dipercaya dapat membukakannya pintu rezeki.
Istri pun dapat mengalami hal yang sama dengan suami. Jika suami belum bagus akhlaknya terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasl-Nya, dia dapat berpengaruh buruk terhadap keistiqamahan istri.
Fenomena Tsa’labah bin Khatib Masa Kini
Bagi muslim mukmin yang rajin mengaji pasti mengetahui kisah Tsa’labah bin Khatib. Dia adalah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ketika miskin mohon berkali-kali didoakan agar diberi harta melimpah. Namun, setelah hartanya melimpah, dia tidak lagi rajin shalat berjamaah di masjid. Bahkan, shalat Jumat pun ditinggalkannya.
Mendengar kabar bahwa Tsa’labah bin Khatib telah memiliki harta yang melimpah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus dua orang agar datang kepadanya untuk memungut zakat. Ternyata Tsa’labah bin Khatib menjadi kikir. Lebih dari itu, dia menghina dua orang utusan tersebut.
Berkenaan dengan perilaku Tsa’labah bin Khatib yang demikian, turun ayat 75-76 surat at-Taubah,
۞ وَمِنْهُمْ مَّنْ عٰهَدَ اللّٰهَ لَىِٕنْ اٰتٰىنَا مِنْ فَضْلِهٖ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُوْنَنَّ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ
“Dan di antara mereka ada orang yang telah berjanji kepada Allah, “Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian dari karunia-Nya kepada kami, niscaya kami akan bersedekah dan niscaya kami termasuk orang-orang yang saleh.”
فَلَمَّآ اٰتٰىهُمْ مِّنْ فَضْلِهٖ بَخِلُوْا بِهٖ وَتَوَلَّوْا وَّهُمْ مُّعْرِضُوْنَ ٧٦
“Akan tetapi, ketika Allah menganugerahkan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka menjadi kikir dan berpaling seraya menjadi penentang (kebenaran).”
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membacakan ayat tersebut di depan para sahabatnya. Selanjutnya, beliau menjelaskan bahwa zakat Tsa’labah bin Khatib tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Penjelasan tersebut disampaikan kepada Tsa’labah bin Khatib oleh kerabatnya yang mendengar penjelasan tersebut. Setelah mendengar kabar itu, Tsa’labah bin Khatib sangat menyesal. Kemudian, dia bermaksud akan membayar zakat. Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam menolaknya. Setelah beliau wafat, sahabat Abu Bakar, Umar bin Khaththab, dan Usman bin Affan mengikuti jejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yakni menolaknya.
Pada masa kini pun ada muslim mukmin yang berakhlak seperti Tsa’labah bin Khatib. Satu tahun menjelang pilpres, pileg, pilgub, pilwal, atau pilbup banyak muslim mukmin yang akan ikut berkompetisi dan timsesnya rajin shalat berjamaah di masjid atau musala, menghadiri majelis taklim, bahkan, hadir ke pondok pesantren. Mereka sering berbagi. Ke mana-mana mereka menebar senyum, salam, dan sapa. Malahan, foto yang tampil dengan senyum ramahnya dipajang di mana-mana. Namun, setelah terpilih, di antara mereka banyak yang tidak istiqamah. Keaktifannya mengaji menurun atau kalaupun hadir, mereka mempunyai maksud tersembunyi, yakni untuk sekadar pamer bersedekah. Kehadirannya tidak sendirian, tetapi bersama wartawan yang langsung memublikasikannya.
Di antara mereka yang tidak jadi, ada yang tidak istiqamah pula. Shalat berjamaah yang semula dikerjakan lima kali sehari semalam, berubah menjadi satu kali sepekan, yaitu shalat Jum'at. Kemudian, berubah lagi: shalat berjamaah dikerjakan hanya dua kali setahun, yakni shalat ‘idain. Akhirnya, shalat Jumat pun tidak lagi dikerjakannya. Pakaian shalatnya disimpan di almari dan baru dipakai jika ada kenduri atau tahlilan.
Di dalam kenyataan ada pengusaha sukses yang tidak lagi istiqamah. Sebelum sukses, dia sering datang kepada kiai untuk mohon didoakan agar sukses. Dia mau melaksanakan petunjuk kiai tersebut. Tidak hanya shalat wajib yang dikerjakannya. Tiap malam tahajud dilanjutkan dengan berdoa dan zikir. Lalu, dia mengerjakan shalat subuh berjamaah di masjid atau musala. Hujan bukan alangan. Shalat duha pun dikerjakannya tiap pagi.
Sementara itu, puasa sunnah dikerjakannya pula. Tidak lupa dia bersedekah. Dia juga tadarus. Secara khusus hampir tiap Kamis malam dibacanya surat al-Kahfi.
Pendek kata, dia sangat "khusyuk" mendekatkan diri pada Allah Subḥanahu wa Ta'ala. Tidak hanya hubungannya dengan Allah Subḥanahu wa Ta'ala yang dilakukannya dengan baik, tetapi juga hubungannya dengan sesama makhluk-Nya.
Setelah sukses, dia kikir. Jarang sekali dia shalat berjamaah di masjid atau musala. Jarang pula dia datang ke rumah kiai. Dia sangat sibuk mengelola bisnisnya.
Apakah perilaku yang demikian tidak mirip dengan Tsa'labah bin Khatib?
Allahu a’lam