Oleh: Cristoffer Veron P
Setelah menikmati lelap tidur panjang berikut menyaksikan bunga mimpi nan indah, kita membelalakan mata menyaksikan kehidupan. Membuka jendela rumah dengan pancaran pendar mentari terang benderang. Udara segar disertai kicauan burung-burung berlalu lalang di atas petala cakrawala. Sesaat kemudian, kita menyaksikan pemberitaan lewat media baik massa elektronik maupun media cetak. Berita bersifat aktualitas yang berkembang secara kontemporer.
Saat ini publik disuguhkan dengan aneka pemberitaan di tingkat daerah, wilayah, nasional, bahkan sampai menembus tingkat internasional. Semua begitu cepat diperoleh lewat topangan teknologi digital yang super canggih. Dapat dikatakan era kekinian telah mentransformasi seluruh rotasi pergerakan aktivitas manusia ke arah digitalisasi. Itu adalah sebuah keniscayaan.
Dentuman digitalisasi menjalar ke penjuru buana. Tiada lagi aktivitas manusia tidak bernapaskan digitalisasi. Semuanya telah tersusupinya, demikian jua halnya dengan pemberitaan.
Sudah masanya pemberitaan bersifat digital. Era di mana suguhan pemberitaan beralih ke digital. Walaupun tidak menutup kemungkinan masih ada di antara kita lebih nyaman menikmati suguhan pemberitaan bersifat cetak. Tetapi, nyatanya digital telah menggurita, tak pelak banyak media beralih ke versi digital menyesuaikan zaman. Sebut saja Republika yang berhenti memberitakan versi cetaknya pada 31 Desember 2022 dan beralih memberitakan ke digital pada awal tahun 2023.
Berkaca dari fenomena Republika ini, maka mau tidak mau, umat manusia harus beraklimatisasi dengan digitalisasi. Jangan sampai tergopoh-gopoh dengan digitalisasi. Untuk itu, sekali lagi, diperlukan kekuatan mental untuk menyesuaikan diri dengan era ini. Era baru dan gaya baru dengan keterbukaan pemberitaan sebagai buah dari reformasi.
Perangkap Hoaks
Tak dapat dipungkiri, begitu terbukanya kehidupan kita dan suburnya digitalisasi menyebabkan proses penyaringan makin sukar dilakukan. Hal-hal buruk tidak terbendung masuk dan menjadi suguhan kita sehari-hari. Lewat pemberitaan yang diterima atau diperoleh, kita sering terperosok dalam tubir hoaks (isya’ah).
Berita hoaks sudah tidak dapat dihindari lagi. Menukil data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia ditemukan bahwa dalam rentang periode Agustus 2018 hingga Maret 2023, terdeteksi dalam radar total pemberitaan hoaks mencapai 11.357. Betapa ngerinya kita memperoleh berita hoaks yang begitu melimpah ruah disantap oleh masyarakat luas.
Belum lagi, jelang Pemilu 2024 pada 14 Februari mendatang. Adalah satu hal yang perlu kita waspadai dalam menyantap suguhan pemberitaan seputar Pemilu. Belajar dari peristiwa Pemilu 2019 yang lalu, di mana Kementerian Komunikasi dan Informatika merilis hasil temuan sebaran hoaks di berbagai platform media sosial. Hasilnya cukup mengejutkan, ada ribuan hoaks sejak Agustus 2018 hingga 30 September 2019. Plt. Kepala Biro Humas Sekretariat Jenderal Kementerian Kominfo Ferdinandus Setu mengatakan, jumlah hoaks yang berhasil ditelusuri oleh Tim AIS Kementerian Kominfo berjumlah 3.356 hoaks.
Ditambahkan pula, Ferdinandus menjelaskan, jumlah hoaks terbanyak ditemukan pada bulan April 2019 yang bertepatan dengan momentum pesta demokrasi Pilpres dan Pileg. Khusus bulan April 2019, kata Ferdinandus, hoaks yang ditemukan sebanyak 501 hoaks, disusul bulan Maret berjumlah 453 dan bulan Mei 402 hoaks (kominfo.go.id).
Melihat data-data di atas, hatta sebagai insan Indonesia, bijak dan cerdaslah dalam memilih pemberitaan. Bijak dan cerdaslah dalam memilih media. Jangan sampai, rujukan media yang setiap hari kita nikmati, ternyata abal-abal dan gadungan. Media yang hanya menyeret kita jadi korban keganasan virus hoaks. Ibarat pandemi yang amat sukar untuk dibumihanguskan.
Hoaks memang menjadi pernak-pernik baru kehidupan kekinian. Tidak dapat dinafikan memang penyebaran virus busuk ini terus menjalar luas. Pun demikian ditambah dengan ketidakmampuan kita dalam memfiltrasi atau menyeleksi secara saksama hal ihwal pemberitaan yang diterima atau diperoleh. Di sinilah sesungguhnya jantung permasalahan kita, sehingga menjadikan virus ini riang gembira berdansa dengan bebas dan tidak menutup kemungkinan bisa menyerang akal sehat kita.
Itulah hoaks. Biang keladi permusuhan dan keterkoyakan keharmonian bangsa majemuk. Proses memproduksi virus hoaks dengan menggunakan mesin super canggih. Mesin ini melalui perangkat media sosial seperti Instagram, Twitter, Facebook, dan paling besar memproduksinya lewat grup-grup WhatsApp. Inilah dibalik layar penyebaran virus hoaks begitu masif. Virus nyata, tetapi sifatnya memanipulasi pandangan dan pikiran sang korban. Terlihat autentik, keren, tetapi nyatanya jauh panggang dari api.
Pelaku pembuat virus ini mungkin saja pada awalnya bisa bergembira. Karena berhasil dalam berkarya: menciptakan permusuhan. Namun, tidak lama dirinya akan dijemput kendaraan khusus yang mengangkut untuk dijebloskan ke dalam bui. Hidup terkerangkeng, jauh dari keluarga dan anak terkasih. Karena jeratan pelaku penyebar hoaks sangat ekstrem dan mengerikan.
Merujuk Pasal 28 Ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), di situ diterangkan, “Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong (hoaks) dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik dapat diancam pidana berdasarkan Pasal 45A ayat (1) UU 19/2016, yaitu pidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.”
Tentu akibat perbuatan mereka, banyak di antara kita jadi korban dari ganasnya serangan virus ini. Vaksinasi memang harus gencar dilakukan agar di kemudian hari kita tidak terpapar virus itu. Virus yang merusak kesehatan berpikir manusia. Pikiran manusia menjadi konservatif, oleng, jumud, kerdil, bias, dan terjadi disorientasi dalam hidupnya. Virus mematikan kecerdasan dan menerbitkan kedunguan tingkat akut. Itulah hoaks. Virus sangat berbahaya bagi umat manusia di muka bumi.
Karakteristik Hoaks
Sebagai virus perusak kesehatan berpikir manusia, sudah pasti sangat ditakutkan bagi kita. Kita tentu tidak ingin diri kita menjadi korban dari ganasnya virus tersebut. Maka dari itu, agaknya perlu ada percikan embun edukasi untuk mencerahkan pikiran kita. Yakni mengetahui secara saksama hal ihwal karakteristik dari hoaks itu.
Menurut Dewan Pers Indonesia sebagaimana dinukil Achmad San (2019) disebutkan mengenai karakteristik dari berita hoaks. Pertama, begitu disebar hoaks bisa mengakibatkan kecemasan, permusuhan, dan kebencian dalam diri masyarakat. Kedua, ketidakjelasan sumber berita. Pemberitaan ini tidak atau sulit terverifikasi. Ketiga, isi pemberitaan tidak berimbang dan cenderung menyudutkan pihak tertentu. Keempat, sering bermuatan fanatisme atas nama ideologi. Biasanya bisa dilihat dari judulnya yang provokatif, tapi tanpa data dan fakta. Karena sudah termakan judul yang sarat hasutan itu, masyarakat terutama yang gampang marah alias sumbu pendek, dengan mudah berkomentar ini itu dan menyebar ulang di media sosial masing-masing.
Berkembangnya hoaks dan ujaran kebencian di media sosial menjadi ancaman tersendiri bagi ketahanan NKRI. Melalui ujaran kebencian dan berita hoaks, rakyat bisa terbelah dalam banyak kepentingan sehingga dapat menimbulkan konflik horizontal dan anarkis. Melalui media sosial orang begitu mudah menghasut dan memobilisasi masa untuk kepentingan tertentu dan berakibat negatif pada munculnya konflik yang melibatkan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) (Fikih Informasi, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah, 2019).
Panduan Keagamaan
Dengan tergopoh-gopohnya manusia dalam menghadapi banjir pemberitaan di ruang media sosial, agama telah hadir memberikan panduan secara komprehensif. Lebih-lebih agama Islam begitu rupa dan konkret melukiskan ihwal panduan tersebut yakni dengan melakukan tabayyun atau mengecek ulang kembali (QS al-Hujurat [49]: 6). Redaksi ayat ini merepresentasikan seruan umat Islam untuk membuka ruang sensitivitasnya dalam menyeleksi dan melakukan klarifikasi terhadap setiap berita.
Langkah ini sangat penting agar diri kita tidak terperosok ke dalam tubir kesengsaraan. Yakni merasa bersalah sudah menyebarkan berita hoaks. Penjernihan berita hoaks harus dilakukan, dan bagi masyarakat berpendidikan, harus mengedukasi masyarakat awam. Didiklah mereka agar bisa mengetahui seluk-beluk hoaks, karakteristik, dampak, bahkan sampai pandangan keagamaan. Dan juga panduan keagamaan dalam menghadapi pesatnya virus hoaks ini.
Karenanya, Rasulullah Muhammad Saw mewanti-wanti kepada kita agar cerdas dan bijak dalam menyikapi pemberitaan yang tersebar luas. Dia bahkan mengatakan kalau ingin menyebarkan berita, pastikan autentik, faktual, bahkan sesuai dengan realita kejadian di lapangan kehidupan. Bukan berita yang dibangun berdasarkan prasangka dan asumsi semata.
Bahkan pemikir antroposentrisme dari Yunani, Socrates mengatakan “Jika berita ini belum tentu baik dan bermanfaat, lantas untuk apa disampaikan kepada publik?”
Dari sini kita dapat menyimpulkan, pentingnya tabayyun. Klarifikasi sebagai kaidah utama untuk menilai suatu pemberitaan dengan sumber-sumber lain yang telah diakui kredibilitasnya. Dalam menghadapi masa depan, panduan keagamaan ini perlu jadi pijakan utama kita. Dengan demikian dapat terhindar dari virus hoaks yang bisa mematikan sistematisasi kesehatan berpikir kita semua.
Cristoffer Veron P, Sekretaris Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Jetis Yogyakarta. Alumnus SMK Muhammadiyah 1 Yogyakarta