Homo Digitalis Kehilangan Titik Referensi

Publish

10 November 2023

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
999
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Homo Digitalis Kehilangan Titik Referensi

Oleh: Agusliadi Massere

Dalam narasi-narasi semiotik Yasraf Amir Piliang, dunia yang kita tempati telah menjadi (bagaikan) “dunia yang dilipat” bahkan sebagai “dunia yang berlari”. Salah satu hal urgen yang ada di dalamnya, manusia mengalami ekstasi kecepatan. Hal ini disebabkan karena kita sedang berada dalam kondisi kehidupan di mana ruang dan waktu telah ditaklukkan oleh kekuatan elektromagnetik. Menjelajahi dunia hari ini, cukup dengan perangkat digital dalam genggaman yang dikendalikan oleh jari.

Kondisi di atas adalah sebagai konsekuensi logis dari perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi digital. Perkembangan ini pula yang melahirkan satu keniscayaan berupa revolusi digital. Tidak berhenti hanya sampai revolusi digital, ternyata melahirkan dampak berkelanjutan, revolusi digital pun merevolusi manusia dari homo sapiens ke homo digitalis. 

Makna homo digitalis dalam konteks tulisan ini berbeda dengan makna manusia digital yang pernah saya tulis dan jelaskan via video. Manusia digital dalam tulisan-tulisan sebelumnya, pada substansinya, saya menggambarkan proses derivasi makna serta internalisasi spirit dan nilai dari angka satu dan nol—yang merupakan bilangan biner, basis utama perkembangan teknologi digital—sebagai  bentuk penguatan nilai ketauhidan dan penyucian hati.

Membaca buku bestseller F. Budi Hardiman, Aku Klik maka Aku Ada: Manusia dalam Revolusi Digital, saya bisa memahami bahwa homo sapiens tentu dikenal dengan kemampuan berpikirnya, sebagaimana aksioma Descartes “Aku berpikir, maka aku ada” (Cogito ergo sum). Dan termasuk kebijaksanaannya. Sedangkan, homo digitalis, yang dalam pengertian epitemologisnya bisa dipahami sebagai “manusia jari”. Selain itu, aksioma yang bisa dilekatkan terhadapnya adalah “Aku klik, maka aku ada” (premo ergo sum).

Ketika homo sapiens identik dengan “I think”, maka homo digitalis identik dengan “I browse”. Selain ini, Hardiman pun menegaskan bahwa homo digitalis dapat menjelma menjadi homo brutalis. Bahkan guru besar filsafat pada Universitas Pelita Harapan ini, menegaskan pula bahwa “Di era digital ini radikalisme dipupuk dari gawai para peternak massa tanpa demogogi di auditorium. Setiap gawai bisa menjadi ruang indokrinasi untuk ‘kebahlulan suci’ yang merusak persatuan. Aktor utamanya ini adalah para homo digitalis, yang jati diri ke-homo sapiens-nya telah hilang pada dirinya.

Hal lain yang perlu dipahami, meskipun saya sendiri mendapatkan pemahaman yang baik dari para penulis buku Muslim Milenial, dan termasuk buku-buku karya Yasraf, salah satunya buku Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, adalah homo digitalis kehilangan titik referensi. Lebih tegasnya, saya mengatakan kehilangan titik referensi yang jelas, kokoh, dan memiliki otoritas keilmuan. 

Kehidupan hari ini, membangun kesan tentang dunia yang selalu menampilkan hal paradoks, selain kehilangan batas-batas kehidupan. Manusia hari ini ibarat pusat galaksi yang dikitari jutaan sampai miliaran informasi setiap harinya, bahkan setiap detik. Kondisi ini pun yang menjadi pemantik, di mana manusia mengalami satu proses transformasi—yang berpotensi memperburuk keadaan, selain kehilangan titik referensi tersebut—dari kehidupan ekspansif ke kehidupan inersia. Kehidupan inersia, secara sederhana bisa dimaknai malas tabayyun. 

Selain itu yang menjadi faktor penyebab manusia kehilangan titik referensi—sebagaimana yang saya maknai di atas—dalam hal tahapan nilai dalam perkembangan masyarakat, di mana Yasraf terinspirasi dari buku Baudrillard, The Transparancy of Evil, menegaskan bahwa kini telah sampai ke tahapan keempat, yang disebutunya fraktal atau viral. Saya memaknainya di sini, rujukan utama adalah apa yang viral, sehingga ada dua hal yang terjadi: pertama, manusia kini telah kehilangan titik referensi; dan kedua seringkali landasan kebenaran itu, berdasarkan yang viral. 

Hal lainnya, sebagaimana saya mendapatkan pemahaman dari Bernando J. Sujibto, adalah kini manusia lebih banyak menghabiskan waktunya di dunia virtual. Padahal, telah dipahami bersama, seringkali di ruang ini kesadaran kritis kalah oleh luapan emosi dan hamburan opini. Orang-orang dan/atau para netizen  jarang lagi mengedepankan kesadaran faktual berbasis ilmu pengetahuan, atau pun dari orang-orang dan institusi yang memiliki otoritas. Emosi dan opini (dangkal) lebih mendominasi.

Karakter homo digitalis yang “I browse”  diperparah lagi oleh karakter instan, kecenderungan atau mengalami ekstasi kecepatan. Hal ini, yang menyebabkan referensi-referensi yang digunakan seringkali basis otoritas keilmuannya sangat lemah, bahkan lebih cenderung yang viral saja yang dijadikan dasar kebenaran. Apatah lagi algoritma teknologi—telah menjadi sejenis lingkaran pengaruh—sehingga ketika seseorang mencari referensi melakukan browsing, maka yang pertama ditawarkan, seringkali apa yang lebih banyak dikunjungi atau kembali lagi pada istilah, apa yang viral. 

Manusia yang kehilangan titik referensi yang kokoh, dan otoritatif bisa dipastikan ilmu pengetahuannya pun kurang matang, apatah lagi hanya berdasarkan dari informasi yang viral, padahal seringkali hal itu adalah produk opini dan ide instan, dari seseorang yang tidak pernah pula melakukan pemikiran mendalam dan pengkajian referensi otoritatif, hanya modal baca singkat atau dari hal-hal viral sebelumnya. Mampu merebut pengaruh bukan karena substansi kedalaman nilai pesannya, tetapi lebih pada kemasan dan followers-nya. 

Kondisi di mana manusia kehilangan titik referensi inilah yang salah satu penyebabnya sehingga lahir apa yang dimaknai dengan post truth, pasca kebenaran. Menjadi ruang produksi dan reproduksi hoax, dan fake news. Selain itu termasuk pula menjadi ruang subur merawat matinya kepakaran. Bahkan—sebagai contoh situasi—pada masa pandemi Covid-19, instititusi otoritatif sekalipun, mengalami keruntuhan otoritasnya, bahkan di tangan kader-kadernya sendiri. 

Pada saat pandemi, fatwa MUI, dan himbauan Muhammadiyah, oleh sebagian umat Islam, dan oleh kader-kadernya itu tidak didengar lagi, karena yang lebih mendominasi di alam pikirannya adalah korona itu tidak ada, itu hanya konspirasi untuk mencapai kepentingan pihak tertentu. Padahal korona adalah sesuatu yang nyata dan menelan banyak korban, yang minimal membutuhkan empati. Informasi keliru lebih viral, sehingga itu yang dipandang sebagai kebenaran sedangkan pandangan ulama, lembaga-lembaga otoritatif tidak percayainya. Tulisan saya pada saat itu, bahkan menyebut—sebagai refleksi dan keprihatinan—adalah “matinya sang ulama”. 

Hal lainnya, kondisi dan lahirnya manusia yang disebut homo digitalis menyebabkan percakapan yang memiliki legitimasi dan merupakan grand narration, jarang lagi terjadi. Saya memandang, apa yang pernah disampaikan oleh Mohd. Sabri dalam salah satu video via channel Youtube, “Generasi milenial mengalam kekosongan kognisi Pancasila”, itu adalah efek lanjutan dari homo digitalis. Interaksi dan dinamika kehidupan manusia hari ini lebih cenderung ke arah yang dangkal, lucu, resistensi, dan chaos. 

Kelahiran homo digitalis ini, saya pun menemukan satu potensi yang akan sangat memprihatikan dampaknya pada masa yang akan datang. Meskipun ini, mungkin luput dari perhatian sebagian besar para pemerhati pendidikan. Hal yang saya maksud—karena homo digitalis itu identik dengan “I browse”, dan ini sudah sering terjadi pada siswa yang mendapatkan tugas dari gurunya—tanpa berpikir lagi mereka langsung melakukan browsing, seketika tugas langsung selesai. Apatah lagi hari ini, didukung dengan kecanggihan AI (Artificial intelligence, kecerdasan buatan). Hal berpotensi besar, menumpulkan daya analisa otak. 

Meskipun, kecanggihan teknologi itu menjanjikan kemudahan, efektivitas, dan efesiensi kerja, bahkan menjadi solusi problem secara instan, tetapi pada dasarnya ketika kita memahami eksistensi manusia dan proses perjalanan panjang manusia hingga hari ini, daya analisa otak masih sangat dibutuhkan. Karena kecanggihan teknologi pun itu berawal karena adanya kemampuan daya analisa otak yang tinggi. Jika ke depannya, dan analisa otak semakin tumpul, bisa dipastikan teknologi pun akan jalan di tempat, tanpa ada perubahan dan kemajuan. Karena tidak ada lagi homo sapiens yang senantiasa mengedepankan “I think”, senantiasa mengedepankan kekuatan analisa dan pikirannya. 

Agusliadi Massere, Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PD. Muhammadiyah Bantaeng


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas   Sekitar 1400 tahun sila....

Suara Muhammadiyah

16 September 2024

Wawasan

Oleh : Chabibul Barnabas, Bendahara Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PWM Jawa Tengah Kenaikan ....

Suara Muhammadiyah

19 August 2024

Wawasan

111 Tahun Muhammadiyah Oleh Ruminizulfikar Setiap bulan November bagi warga, kader, dan pimpinan P....

Suara Muhammadiyah

16 November 2023

Wawasan

Oleh: Drh. H. Baskoro Tri Caroko Bekerja adalah suatu keadaan yang diinginkan oleh semua orang. Kar....

Suara Muhammadiyah

13 November 2023

Wawasan

Mengoptimalkan Eksistensi Buku Oleh : Dr. Nasrullah, M.Pd., Alumni Program Doktor (S3)  Pendid....

Suara Muhammadiyah

17 May 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah