Hukum Membaca Basmalah dan Kunut Dalam Shalat
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr.wb.
Saya mau bertanya, kami keluarga besar Muhammadiyah Kecamatan Tinombo, terkadang imam kita di masjid saat shalat membaca basmalah dan terkadang tidak. Lalu, bagaimana kalau imam membaca kunut Subuh hari ini dan besok Subuh dia tidak membacanya? Bagaimana hukum dan tanggapan atas hal tersebut?
Wassalamu ‘alaikum w.w.
Moh. Rizki (Disidangkan pada Jumat, 1 Rabiulawal 1443 H/8 Oktober 2021 M)
Jawaban:
Wa ‘alaikumussalam wr. wb.
Terima kasih atas kepercayaan saudara kepada Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk menjawab pertanyaan saudara. Pertanyaan yang hampir sama pernah dijawab dan diulas dalam beberapa rujukan, antara lain:
1. Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah Jilid 1, halaman 366-367, Keputusan Muktamar Tarjih Wiradesa
2. Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah Jilid 3 cetakan I tahun 2018 halaman 193-195 dan halaman 546-550.
3. Tanya Jawab Agama Jilid 2 Suara Muhammadiyah cetakan VIII Tahun 2015 halaman 53-54
4. Tanya Jawab Agama Jilid 4 Suara Muhammadiyah cetakan VIII Tahun 2015 halaman 82-89 dan halaman 101
5. Majalah Suara Muhammadiyah No. 17 tahun 2008.
Namun demikian, ada baiknya pada kesempatan kali ini, kami jelaskan kembali secara singkat bagaimana hukum dan tanggapan terhadap hal tersebut.
Sebelumnya perlu diketahui bahwa pertanyaan yang saudara ajukan adalah dalam wilayah ibadah. Dalam masalah ibadah berlaku ketentuan:
الْأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ الْبَطْلَانُ حَتَّى يَقُوْمَ الدَّلِيْلُ عَلَى الْأَمْرِ
Pada dasarnya dalam ibadah semuanya batal sampai ada dalil yang memerintahkannya.
1. Penjelasan tentang bacaan Basmalah
Dalam Putusan Tarjih yang sudah ada (HPT jilid 1, halaman 77 dan 86) disebutkan bahwa sebelum membaca al-Fatihah dalam setiap rakaat shalat, dibaca basmalah. Basmalah merupakan bagian dari surah al-Fatihah dan harus dibaca dalam shalat. Sedangkan membaca surah al-Fatihah termasuk rukun shalat. Kemudian, yang menjadi permasalahan adalah cara membaca basmalah, apakah dibaca jahar atau sir. Majelis Tarjih berpendapat, hukum dalam membaca basamalah ini ada tanawwu’, maksudnya boleh dibaca jahar dan boleh dibaca sir, karena hadis-hadis tentang bacaan basmalah yang jahar maupun sir adalah sahih semua. Jadi, jika ada imam yang terkadang membaca basmalah secara jahar dan terkadang secara sir, maka hal itu tidak masalah. Hadis-hadis itu adalah sebagai berikut,
a. Hadis tentang basmalah dibaca secara jahar memiliki beberapa jalur, antara lain,
1) Jalur Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i, al-Baihaqi, ad-Daruquthni dan Ibnu Khuzaimah dan statusnya sahih.
عَنْ نُعَيْمٍ الْمُجْمِرِ قَالَ صَلَّيْتُ وَرَاءَ أَبِيْ هُرَيْرَةَ فَقَرَأَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ ثُمَّ قَرَأَ بِأُمِّ الْقُرْآنِ حَتَّى إِذَا بَلَغَ "غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّآلِّيْنَ" فَقَالَ آمِيْنَ فَقَالَ النَّاسُ آمِيْنَ وَيَقُوْلُ كُلَّمَا سَجَدَ اللهِ أَكْبَرُ وَإِذَا قَامَ مِنَ الْجُلُوْسِ فِى الْإِثْنَتَيْنِ قَالَ اللهِ أَكْبَرُ وَإِذَا سَلَّمَ قَالَ وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ إِنِّيْ لِأَشْبَهُكُمْ صَلَاةً بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Dari Nu’aim al-Mujmir (diriwayatkan) ia berkata: aku shalat di belakang Abu Hurairah, ia membaca ‘bismillahir-rahmanir-rahim’, kemudian membaca ‘Ummul-Qur’an’ (al-Fatihah) hingga sampai ‘ghairil-maghdhubi ‘alaihim waladh-dhallin’, lalu mengucapkan ‘amin’ dan jamaah pun mengucapkan ‘amin’. Setiap kali sujud, ia mengucapkan ‘Allahu Akbar’ dan setiap kali bangkit dari duduk dari dua sujud ia mengucapkan ‘Allahu Akbar’. Ketika selesai mengucapkan salam, ia mengatakan, “Demi Allah, yang diriku berada di tangan-Nya, sesungguhnya aku adalah orang yang shalatnya paling menyerupai shalat Rasulullah saw [H.R. an-Nasa’i, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Baihaqi, ad-Daruquthni, at-Thahawi, Ibnu ‘Abd al-Barr, dan al-Khatib al-Baghdadi. Disahihkan oleh al-Hakim serta disetujui oleh az-Zahabi dan disahihkan juga oleh al-Arnauth, tetapi didaifkan oleh al-Albani].
2) Jalur Ummu Salamah yang juga berstatus sahih, yaitu,
عَنْ أُمُّ سَلَمَةَ أَنَّهَا سُئِلَتْ عَنْ قِرَاءَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ كَانَ يُقَطِّعُ قِرَاءَتَهُ آيَةً آيَةً (بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ).
Dari Ummu Salamah (diriwayatkan) ia ditanya tentang bacaan Rasulullah saw, lalu ia (Ummu Salamah) menjawab: “Beliau memotong-motong bacaannya satu ayat satu ayat: Bismillahir-rahmanir-rahim, Alhamdulillahi rabbil-‘alamin, ar-Rahmanir-rahim, Maliki yaumid-din [H.R. Ahmad no. 25371, Abu Dawud, at-Tirmidzi, al-Hakim, al-Baihaqi, Ishaq bin Rahawaih, ad-Daruquthni, Ibnu Abi Syaibah, at-Thabrani, at-Thahawi, Ibnu ‘Abd al-Barr, dan Khatib al-Baghdadi. Diriwayatkan bahwa hadis ini sahih li ghairih menurut Syu’aib al-Arma’uth].
b. Hadis tentang basmalah dibaca secara sir, memiliki banyak jalur, antara lain,
1) Jalur ‘Aisyah yang berstatus sahih, yaitu,
عَنْ أَبِي الْجَوْزَاءِ عَنْ عَأئِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَفْتِحُ الصَّلَاةَ بِالتَكْبِيْرِ وَالْقِرَاءَةَ بِالْحَمْدُ لِلهِ.
Dari Abu al-Jauza, dari ‘Aisyah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Adalah Rasulullah saw memulai shalat dengan takbir dan qiraat dengan al-hamdu lillah [H.R. Muslim, dan ini lafalnya, Ahmad, Abu Awanah, al-Baihaqi, Abu Dawud at-Tayalisi, ‘Abd ar-Razzaq, dan at-Tabrani. Diriwayatkan bahwa hadis ini shahih menurut Syu’aib al-Arnauth].
2) Jalur hadis riwayat Anas yang berstatus sahih, yaitu,
عَنْ أَنَسٍ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَلَمْ أَسْمَعْ أَحَدًا مِنْهُمْ يَقْرأُ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ.
Dari Anas (diriwayatkan) ia berkata: Aku shalat di belakang Rasulullah saw, Abu Bakar, Umar, dan Usman, maka aku tidak mendengar seorang pun dari mereka membaca Bismillahir-Rahmanir-Rahim [H.R. Muslim dan ini lafalnya, Ahmad no. 13386, 12345, 19637 dan 4531, an-Nasa’i no. 897, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Abu Uwanah, al-Baihaqi, Abu Dawud, at-Timidzi, al-Hakim, al-Baihaqi, Abd Ibn Humaid, dan at-Tabrani . Hadis ini diriwayatkan dengan sanad yang sahih menurut Syu’aib al-Arna’uth].
Hadis Abu Hurairah dan Ummu Salamah menunjukkan bahwa basmalah dibaca jahar dalam shalat jahar. Hadis ‘Aisyah dan Anas menunjukkan bahwa basmalah dibaca sir baik dalam shalat jahar maupun dalam shalat sir. Masing-masing hadis pada dua kelompok itu adalah sahih, Perbedaan itu bukan ta’arud (pertentangan), melainkan dapat diselesaikan secara al-jam’u (dikumpulkan dan dikompromikan), sehingga keduanya dapat diamalkan dan tidak ada yang diabaikan sesuai dengan kaidah fikih,
إِعْمَالُ الْكَلَامِ أَوْلَى مِنْ إِهْمَالِهِ
Mengamalkan suatu pernyataan lebih utama daripada mengabaikannya.
Kesimpulan
Setelah dilacak, tentang bacaan basmalah pada surah al-Fatihah dalam shalat, ditemukan hadis-hadis yang menyebutkan bacaan basmalah dibaca secara jahar dan hadis-hadis yang menyebutkan bacaan basmalah dibaca secara sir. Kedua cara membaca ini hadis-hadisnya adalah sahih. Hanya saja, hadis yang menyebutkan bacaan basmalah dengan sir lebih banyak jalurnya. Dalam Himpunan Putusan Tarjih, bacaan basmalah pada shalat yang dilakukan dengan bacaan al-Fatihah secara jahar dapat dilakukan dengan tanawwu’. Dengan demikian, yang dilakukan oleh imam di tempat saudara dapat dibenarkan karena ada dalilnya. Sangat boleh jadi, imam bertindak dengan demikian untuk bersikap tasamuh kepada makmum yang terbiasa dengan bacaan basmalah secara jahar atau sir.
2. Penjelasan tentang kunut
Sebelum menanggapi pertanyaan di atas, alangkah baiknya diketahui pengertian dan dalil-dalil yang berkaitan dengan kunut.
Pengertian kunut adalah tunduk kepada Allah swt dengan penuh kebaktian. Selain itu, dari beberapa hadis kunut juga bisa diartikan dengan thulul-qiyam (طُولُ اْلقِيَامِ/berdiri lama). Dalam Himpunan Putusan Tarjih disebutkan bahwasanya yang dimaksud dengan thulul-qiyam adalah berdiri lama untuk membaca dan berdoa di dalam shalat sesuai dengan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Kunut yang seperti inilah yang disyariatkan (masyru’). Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam hadis Nabi saw,
عَنْ جَابِرٍ قَالَ قِيْلَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الصَّلاَةِ أَفْضَلُ قَالَ طُولُ اْلقُنُوتِ.
Dari Jabir (diriwayatkan) ia berkata, pernah ditanyakan kepada Nabi, “shalat bagaimanakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “lama dalam berdiri” [H.R. Muslim, Ahmad, Ibnu Majah dan at-Tirmidzi no. 353. Diriwayatkan hadis ini sahih].
Sedangkan untuk kunut Subuh, Muhammadiyah berpendirian bahwa kunut yang dilakukan khusus pada shalat Subuh tidak disyariatkan karena dalilnya lemah. Hadis-hadis yang mendukung pendirian Muhammadiyah tersebut adalah sebagai berikut,
a. Hadis riwayat Imam Ahmad
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: مَا زَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّي فَارَقَ الدُّنْيَا.
Dari Anas bin Malik (diriwayatkan) ia berkata, Rasulullah saw terus melakukan kunut pada shalat Subuh sampai ia meninggal dunia [H.R. Ahmad 12196. Diriwayatkan bahwa hadis ini ber-isnad daif menurut Syu’aib al-Arna’uth].
b. Hadis riwayat Imam Ahmad
عَنْ مُحَمَّدٍ يَعْنِي ابْنَ سِيرِينَ، قَالَ: سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ، هَلْ قَنَتَ عُمَرُ؟ قَالَ: نَعَمْ، وَمَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْ عُمَرَ، رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، بَعْدَ الرُّكُوعِ.
Dari Muhammad yaitu Ibnu Sirin (diriwayatkan) ia berkata, aku bertanya kepada Anas bin Malik, apakah Umar melakukan kunut? Anas bin Malik r.a. menjawab: Ya. Orang yang lebih baik dari ‘Umar yaitu Rasulullah saw juga melakukannya setelah rukuk [H.R. Ahmad no. 12708. Diriwayatkan bahwa hadis ini ber-isnad daif menurut Syu’aib al-Arna’uth].
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad, Ibnu Majah dan at-Tirmidzi disebutkan bahwa kunut yang dimaksud adalah thulul-qiyam (berdiri lama ketika shalat), kemudian pada hadis dari Anas bin Malik yang diriwayatkan oleh al-Bukhari memberitahukan kepada kita bahwa Nabi saw telah menjalankan kunut selama satu bulan dan tidak ada penjelasan bahwa kunut hanya terbatas pada shalat Subuh. Bahkan dalam hadis riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah lebih jelas Nabi saw tidak melaksanakan kunut hanya pada shalat Subuh, melainkan juga pada shalat Zuhur, Asar, Magrib dan Isya.
Kesimpulan
Dari dalil-dalil yang sudah dipaparkan, diketahui bahwa terdapat perbedaan pendapat, yaitu ada yang mengatakan dalilnya daif dan ada yang sahih. Dalam sebuah kaidah disebutkan,
الْجَرْحُ مُقَدَّمٌ عَلَى التَّعْدِيْلِ
Mendahulukan jarh (penilaian buruk) daripada ta’dil (penilaian baik).
Berdasarkan hadis-hadis di atas, Muhammadiyah berpendapat bahwa hukum membaca kunut dalam shalat Subuh adalah daif atau tidak kuat dalilnya sehingga tidak dapat diamalkan. Kecuali dalam kunut nazilah itu pun ada syarat yang perlu diperhatikan. Tentang imam yang sesekali membaca kunut dan sesekali tidak, hal ini tidak sesuai dengan tuntunan shalat Subuh dalam pemahaman Muhammadiyah.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM No 04 Tahun 2022