Saf Shalat di Antara Dua Tiang, Masjid Bertingkat dan Shalat Tersekat Dinding

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
49
Dok Istimewa

Dok Istimewa

Saf Shalat di Antara Dua Tiang, Masjid Bertingkat dan Shalat Tersekat Dinding

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Saat ini sudah ada masjid mengubah kebiasaan yaitu, sengaja mengosongkan saf shalat karena tempat saf shalat tersebut diapit beberapa tiang masjid (sesuai dengan foto terlampir). Padahal ada problem ketika shalat Jumat beberapa masjid shalatnya meluber karena keterbatasan tempat.

Pertanyaan saya:

1.      Bagaimana pandangan Majelis Tarjih dan Tajdid, apakah sudah ada fatwa yang demikian?

2.      Jika masjid bertingkat tentu tidak ada di zaman Rasulullah saw dan saf shalat di luar bangunan induk tersekat dinding masjid, apakah dapat di-qiyas-kan dengan tiang masjid?

Ir. H. Ispandi Noor, Anggota PDM Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan (Disidangkan pada Jumat, 25 Jumadilakhir 1443 H/28 Januari 2022 M)

Jawaban:

Wa ‘alaikumus-salam wr. wb.

Kami ucapkan terima kasih atas kepercayaan kepada kami untuk menjawab pertanyaan bapak/saudara. Berikut adalah jawabannya.

Pertama, pertanyaan mengenai saf di antara tiang sudah pernah difatwakan dan dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah. Saf shalat yaitu barisan antara jamaah yang satu dengan jamaah yang lain di dalam shalat. Pada shalat yang diikuti oleh banyak jamaah biasanya memiliki saf lebih dari satu. Satu saf yaitu barisan antara jamaah yang satu dengan jamaah yang lain dari ujung kanan sampai ujung kiri baik tersekat oleh tiang dan dinding maupun tidak. Menyempurnakan saf shalat (rapat dan lurus) merupakan salah satu dari kesempurnaan shalat, sebagaimana hadis Rasulullah saw,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: ... وَأَقِيمُوا الصَّفَّ فِي الصَّلَاةِ فَإِنَّ إِقَامَةَ الصَّفِّ مِنْ حُسْنِ الصَّلَاةِ [رواه البخاري].

Dari Abu Hurairah (diriwayatkan) dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda: … dan luruskanlah saf, karena lurusnya saf merupakan bagian dari sempurnanya shalat [H.R. al-Bukhari no. 680].

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقِيمُوا الصُّفُوفَ فَإِنَّمَا تَصُفُّونَ بِصُفُوفِ الْمَلَائِكَةِ وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ وَسُدُّوا الْخَلَلَ وَلِينُوا فِي أَيْدِي إِخْوَانِكُمْ وَلَا تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللهُ [رواه أحمد].

Dari Abdullah bin Umar (diriwayatkan) bahwa Nabi saw bersabda: luruskanlah saf (barisan), karena kalian berbaris dengan barisan para malaikat. Setarakanlah pundak-pundak kalian, tutuplah barisan yang lowong, dan berlunaklah terhadap tangan saudara kalian, dan jangan biarkan barisan yang lowong untuk dimasuki setan. Barangsiapa menyambung barisan shalat, Allah akan menjalin hubungan terhadapnya, sebaliknya barangsiapa memutuskan saf, Allah juga memutus hubungan terhadapnya [H.R. Ahmad no. 5724].

Ada dua pendapat tentang hukum membuat saf pada tempat shalat yang diapit beberapa tiang. Pendapat pertama tidak memperbolehkan, berdasar pada hadis dari Abdullah bin Umar di atas, yaitu bahwa shalat di antara dua tiang termasuk memutuskan saf shalat. Selain itu berdasar pula pada riwayat Anas berikut, 

عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ مَحْمُودٍ قَالَ صَلَّيْنَا خَلْفَ أَمِيرٍ مِنْ الْأُمَرَاءِ فَاضْطَرَّنَا النَّاسُ فَصَلَّيْنَا بَيْنَ السَّارِيَتَيْنِ فَلَمَّا صَلَّيْنَا قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ كُنَّا نَتَّقِي هَذَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ [رواه الترمدي].

Dari Abdul Hamid bin Mahmud ia berkata; Kami pernah shalat di belakang salah seorang pemimpin kami, lalu orang-orang mendesak (mempersempit) hingga kami shalat di antara dua tiang. Setelah kami selesai shalat Anas bin Malik berkata; Kami menghindari hal seperti ini pada masa Rasulullah saw [H.R. at-Tirmidzi no. 212].

Pendapat kedua membolehkan saf shalat yang diapit beberapa tiang, karena hal tersebut bukan termasuk memutus saf seperti yang dimaksud dari hadis Abdullah bin Umar di atas. Maksud dari memutuskan saf pada hadis itu adalah ketidakadaan kesatuan tempat karena masih ada kesatuan tempat antara makmum yang satu dengan makmum yang lain walaupun disekat tiang. Selain itu, hadis dari Abdul Hamid bin Mahmud menurut para ulama tidak bisa dijadikan dalil ketidakbolehan saf shalat di antara tiang. Serta mengosongkan tempat saf dapat menimbulkan kesusahan bagi jamaah untuk mendapatkan tempat shalat ketika banyak jamaah yang datang. 

Kedua, saf di masjid bertingkat dan saf di luar bangunan induk yang disekat dinding apakah dapat di-qiyas-kan dengan tiang masjid? Dengan kata lain, apakah antara saf di masjid bertingkat dan saf di luar bangunan induk yang tersekat dinding sama hukumnya dengan saf di antara tiang?

Tentang saf yang tersekat dinding telah terdapat Fatwa Tarjih dalam buku Tanya Jawab Agama (TJA) Jilid II halaman 92-93 dengan judul “Makmum Di Ruang Samping”. Pada fatwa tersebut dijelaskan bahwa membuat saf yang disekat dinding berlubang-lubang boleh dilakukan dengan syarat makmum masih bisa mengikuti imam dengan baik, dengan memperhatikan suara imam dan gerak-geriknya melalui makmum lainnya di belakang imam. Hal yang demikian tidak menyebabkan shalat menjadi tidak sah karena masih adanya ketersambungan antara jamaah yang di luar masjid dengan jamaah yang di dalam masjid dan kesatuan tempat antara imam dengan makmum meski terhalang dinding atau yang lain. Fatwa ini didasarkan pada hadis Nabi saw tentang keharusan makmum mengikuti gerakan imam dan sudah barang tentu mengikuti gerakan imam itu dilakukan dengan cara melihat gerakan imam atau makmum lain di belakang imam atau mendengar suara imam bertakbir. Hadis tersebut adalah,

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ قَالَ إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وَإِذَا صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ [رواه البخاري].

Dari Anas bin Malik (diriwayatkan) bahwa Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya imam dijadikan untuk diikuti, jika ia shalat dengan berdiri maka shalatlah kalian dengan berdiri, jika ia rukuk maka rukuklah kalian, jika ia mengangkat kepalanya maka angkatlah kepala kalian, dan jika ia mengucapkan sami’allahu liman hamidah, maka ucapkanlah; rabbanaa wa lakal hamdu, dan jika ia shalat dengan berdiri maka shalatlah kalian dengan berdiri, dan jika ia shalat dengan duduk maka shalatlah kalian semuanya dengan duduk [H.R. al-Bukhari no. 648].

Isi fatwa di atas juga dikuatkan dengan peristiwa yang terjadi pada masa Nabi Muhammad saw, bahwa beliau menjadi imam shalat di balik tabir sedangkan makmum terpisah dengan tabir dan makmum mengikuti imam dari suara beliau. Hal ini diterangkan dalam hadis berikut,

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَتْ لَنَا حَصِيرَةٌ نَبْسُطُهَا بِالنَّهَارِ، وَنَحْتَجِرُهَا بِاللَّيْلِ، فَصَلَّى فِيهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَسَمِعَ الْمُسْلِمُونَ قِرَاءَتَهُ، فَصَلُّوْا بِصَلَاتِهِ … [رواه أحمد].

Dari ‘Āisyah (diriwayatkan) ia berkata: Kami mempunyai sehelai tikar yang kami bentangkan di siang hari dan kami jadikan dinding di malamnya, maka Rasulullah saw shalat pada suatu malam di tempat yang didindingi tikar itu, seketika kaum muslimin mendengar bacaannya dan mereka pun shalat dengan mengikuti shalatnya Nabi (dari balik tabir) … [H.R. Aḥmad].

Kasus yang sama juga terjadi pada masa sahabat yang dilakukan oleh Anas bin Malik, peristiwa ini digambarkan dalam riwayat berikut,

عَنْ صَالِحِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ: رَأَيْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ صَلَّى الْجُمُعَةَ فِي بُيُوتِ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفِ، فَصَلَّى بِهِمْ بِصَلَاةِ الْإِمَامِ فِي الْمَسْجِدِ، وَبَيْنَ بُيُوتِ حُمَيْدٍ وَالْمَسْجِدِ الطَّرِيقُ [رواه الشافعي].

Dari Sālih bin Ibrāhīm (diriwayatkan) ia berkata: Aku melihat Anas bin Mālik shalat Jumat di rumah Humaid bin ‘Abdurraḥmān bin ‘Auf, maka ia shalat bersama mereka mengikuti shalat imam yang berada di masjid, sedangkan di antara rumah-rumah Humaid dan masjid ada jalan [H.R. asy-Syāfi‘ī].

Dari kedua riwayat tersebut dapat dipahami bahwa shalat jamaah dapat dilakukan di luar masjid dengan tetap mengikuti induk shalat dan pada kesatuan tempat. Oleh karena itu shalat jamaah yang dilaksanakan mengikuti induk jamaah, meskipun terhalang dinding, ruang, jalan atau sungai, selama masih terhubung dengan jamaah induknya, maka shalat jamaah tersebut tetap sah. Dalam kondisi tertentu untuk membantu ketertiban shalat berjamaah dapat pula digunakan alat penghubung antara imam dan makmum berupa media layar yang menampilkan gambar seperti LCD/LED dan media lain dalam bentuk suara seperti loud speaker atau lainnya.

Adapun tentang shalat di masjid bertingkat juga sudah ada fatwanya pada buku TJA Jilid III halaman 93-94 dengan tema “Shalat Jumat di Masjid Bertingkat”. Pada fatwa tersebut dijelaskan bahwa imam diperbolehkan berada lebih tinggi dari makmum, berdasarkan hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Sahal bin Sa’ad sebagai berikut,

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السّاعديِّ قال : رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَلَسَ عَلَى اْلمِنْبَرِ أَوَّلَ يَوْمٍ وُضِعَ فَكَبَّرَ وَهُوَ عَلَيْهِ ثُمَّ رَكَعَ ثُمَّ نَزَلَ اْلقَهْقَرِى وَسَجَدَ فيِ أَصْلِ الْمِنْبَرِ ثُمَّ عَادَ، فَلَمَّا فَرَغَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فقَالَ : أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا صَنَعْتُ هَذَا لِتَأْتَمُّوا بِي وَلِتَعَلَّمُوا صَلَاتِي [رواه أحمد والبخارى ومسلم].

Dari Sahl bin Sa’ad As-Saa’idi ia berkata: “Aku pernah melihat Nabi saw duduk di atas mimbar pada awal hari mimbar itu diletakkan, lalu takbir di atasnya, kemudian rukuk, kemudian turun (dari mimbar) dengan mundur, lalu sujud di pangkal mimbar, lalu mengulanginya sampai selesai. Ketika selesai shalat beliau menghadap kepada orang-orang lalu bersabda: Wahai orang-orang, sesungguhnya saya melakukan ini agar kalian dapat mengikutiku dan mempelajari shalatku [H.R. Ahmad, al-Bukhari dan Muslim].

Dalam fatwa ini juga diterangkan bahwa meskipun ada hadis riwayat ad-Daruquthny dari Abu Mas’ud yang secara tekstual melarang imam berdiri di atas sesuatu, sehingga makmum berada di bawah. Namun antara hadis ini dengan hadis sebelumnya tidak terdapat nasikh mansukh, sehingga pengertian kedua hadis tersebut dapat dikumpulkan (al-jam’u), bahwa kebolehan imam dan makmum berada di tempat setingkat .

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَقُومَ الْاِمَامُ فَوْقَ شَيْءٍ وَالنَّاسُ خَلْفَهُ يَعْنِي أَسْفَلَ مِنْ [رواه الدارقطني].

Dari Abu Mas’ud (bahwasanya) Rasulullah saw melarang seorang imam berdiri di atas sesuatu sedangkan makmum ada di belakangnya, yakni di bawahnya [H.R. ad-Daruquthni].

Sama halnya dengan fatwa Tarjih pada buku TJA Jilid II, pada fatwa ini riwayat tentang Nabi saw menjadi imam dari balik bilik atau tabir sementara para makmum terpisah dengan tabir juga dijadikan dalil tentang kebolehan shalat di tempat yang tersekat dinding termasuk lantai bertingkat.

Selain fatwa pada TJA Jilid III di atas, terdapat juga fatwa dengan judul “Shalat Berjamaah Pada Masjid Bertingkat” yang dimuat dalam Majalah Suara Muhammadiyah No. 15 tahun 2014. Kedua fatwa tersebut tidak ada kontradiksi, bahkan saling menguatkan dan sama-sama membolehkan shalat jamaah di masjid bertingkat walaupun imam dan sebagian jamaah di lantai pertama serta sebagiannya di lantai kedua. Pada fatwa tersebut dijelaskan bahwa di antara syarat supaya shalat berjamaah itu sah adalah bersambungnya antara imam dan makmum. Maksudnya, jarak antara imam dan makmum tidak jauh  (masih dalam satu kawasan), haiah atau keadaan imam dapat diketahui oleh makmum, imam dapat dilihat oleh makmum saf pertama, suara imam dapat didengar oleh sekurang-kurangnya oleh makmum saf pertama. Dalilnya, hadis berikut,

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى فِي أَصْحَابِهِ تَأَخُّرًا فَقَالَ لَهُمْ : تَقَدَّمُوا فَأْتَمُّوا بِي، وَلْيَأْتَمَّ بِكُمْ مَنْ بَعْدَكُمْ، لاَ يَزَالُ قَوْمٌ يَتَأَخَّرُونَ حَتَّى يُؤَخِّرَهُمُ اللهُ [رواه مسلم].

Dari Abu Said al-Khudri (diriwayatkan) bahwa Rasulullah saw melihat saf para sahabatnya jauh di belakang, lalu beliau bersabda kepada mereka: Majulah kalian dan ikutilah perbuatanku, dan hendaklah orang-orang yang di belakang mengikuti kalian. Ada kaum yang masih suka jauh safnya dari imam sehingga Allah menjadikan mereka paling belakang [H.R. Muslim].

Dijelaskan dalam fatwa itu pula, bahwa berdasar pada ketentuan di atas, dalam pembangunan masjid atau mushalla yang bertingkat biasanya dibuat bagaimana supaya jamaah bagian atas mengetahui apa yang dilakukan jamaah atau imam di bagian bawah. Di antaranya dibuat lubang dan diberi pengeras suara. Perlu ditekankan pula bahwa saf pertama lantai atas agar tidak menyamai saf imam, tetapi sejajar dengan saf pertama lantai bawah.

Sebagai kesimpulan, saf di antara tiang, saf di luar bangunan induk masjid, dan masjid bertingkat, hukumnya boleh dan tidak menyebabkan shalat menjadi tidak sah, selama antara imam dan makmum berada dalam kesatuan tempat serta haiah atau keadaan imam bisa diketahui dan suara imam bisa didengar oleh makmum sehingga gerakan imam dapat diikuti dengan baik.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 08 Tahun 2022


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Tanya Jawab Agama

Saf Shalat di Antara Dua Tiang, Masjid Bertingkat dan Shalat Tersekat Dinding Pertanyaan: Assalamu....

Suara Muhammadiyah

5 August 2025

Tanya Jawab Agama

Hukum Shalat Jumat di Lokasi Offshore atau di dalam Masjid Mobil Pertanyaan: Assalamu ‘alaik....

Suara Muhammadiyah

12 June 2024

Tanya Jawab Agama

Pernikahan Anak Hasil Zina Pertanyaan: Setelah pernikahan anaknya lebih dari 5 tahun, ibu (mertua)....

Suara Muhammadiyah

4 October 2024

Tanya Jawab Agama

Menyikapi Undangan Tahlilan Menurut Muhammadiyah Pertanyaan: Assalamu ‘alaikum w.w. Berkait....

Suara Muhammadiyah

27 February 2025

Tanya Jawab Agama

Doa Setelah Shalat Jenazah dan Bacaan Shalawat Sebelum Azan Pertanyaan: Assalamu ‘alaikum wr....

Suara Muhammadiyah

23 July 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah