Idul Fitri dan Penafsiran Budaya
Oleh: Fokky Fuad Wasitaatmadja, Associate Professor, Universitas Al Azhar Indonesia
Budaya Manusia dan Religi
Manusia adalah subjek yang berkehendak. Manusia membentuk kelompok untuk secara bersama-sama mewujudkan tujuan yang dikehendakinya. Manusia dengan kelengkapan budayanya berupaya pula menterjemahkan makna-makna religius dalam kehidupannya. Budaya menjadi sebuah sarana bagaimana manusia melaksanakan kewajiban yang dibebankan Tuhan kepadanya. Seni budaya khususnya pada kalangan ahli tasawuf menjadi sebuah sarana meningkatkan kualitas jiwa manusia (Riyadi & Amrullah, 2022).
Idul Fitri menjadi salah satu perayaan keagamaan dalam ajaran Islam yang tidak luput dari cara manusia memaknainya melalui sebuah festival Lebaran. Idul Fitri sebagai sebuah hari kemenangan setelah seorang muslim mampu menahan ego, nafsu, dan kehendak kebinatangannya melalui sebuah proses mempuasakan dirinya dalam bulan Ramadhan (Qs.2:183). Puasa Ramadhan juga mengajarkan sifat-sifat Allah yang tidak makan dan minum bagi manusia (Nata, t.t.).
Ramadhan yang hadir untuk melakukan pembentukan kembali struktur tubuh manusia memiliki peran penting untuk meluruhkan segenap kerusakan sistem manusia baik fisik maupun non-fisik. Idul Fitri menjadi sebuah perayaan kemenangan manusia atas ego yang berhasil ia tundukkan melalui puasa Ramadhan. Puasa menjadi metode pengendalian diri manusia (Muhammad, 2023).
Idul Fitri sebagai sebuah rangkaian ibadah religi ini coba untuk dimaknai dan diterjemahkan oleh manusia yang berbudaya melalui festival lebaran. Jika Idul Fitri dilaksanakan melalui kegiatan Sholat Ied secara jamaah kolektif, maka Lebaran sebagai in concreto Idul Fitri dilaksanakan melalui beragam perilaku budaya manusia. Pada masyarakat Nusantara ekspresi budaya lebaran tersebut berwujud: pulang kampung (mudik), pembuatan hidangan khas seperti ketupat, opor, kue-kue lebaran, saling berkunjung antar anggota keluarga juga ke lingkungan tetangga, mengunjungi makam orangtua dan leluhur, hingga membagi sejumlah rupiah tertentu kepada keponakan dan anak-anak tetangga.
Muhammadiyah dan Penafsiran Kolektif Kultural Idul Fitri
Penafsiran atas kewajiban menjalankan perintah Tuhan berupa perayaan religi Idul Fitri melalui Lebaran dapat seringkali diwujudkan dalam perayaan yang bersifat kolektif. Kesadaran kolektif muncul untuk memaknai arti Idul Fitri melalui penafsiran budaya lokal. Aktualisasi ajaran agama dalam bentuk perilaku budaya di Indonesia terwujud dalam bentuk ritual budaya mudik dan halal bil halal. Keduanya menjadi sebuah karakter khas religi dan kultural manusia Indonesia.
Masyarakat Nusantara secara kolektif dan massif akan melakukan sebuah prosesi mudik ke kampung halaman. Jutaan manusia secara serentak dalam hitungan minggu bergerak menuju kampung halaman masing-masing. Para pelaku ritual mudik ini dapat saja tak menjalankan kewajiban puasa selama Bulan Ramadhan, tetapi kesadaran kultural kolektif ini menyadarkannya bahwa kalaupun ia tak menjalankan perintahNya, tetapi ia memiliki sebuah kewajiban budaya untuk wajib pulang mudik.
Pada saat tertentu, lebaran juga menyadarkan manusia bahwa ia adalah makhluk historis. Bahwa kembalinya ia ke kampung halaman merupakan sebuah pengingat akan sebuah perjuangan masa lalu. Tetapi pada sisi lain juga melahirkan sebuah ajang unjuk keberhasilan anak manusia atas pencapaiannya selama ini kepada orang lain di kampung halamannya.
Ramadhan hakikatnya memproses ulang struktur tubuh manusia, agar manusia kembali kepada fitrahnya (factory reset) sebagai makhluk bertuhan yang mampu melepaskan ego menguasai dan memiliki (Qs.51:56). Pada sisi lain penerjemahan kultural atas peristiwa Idul Fitri menjadi berbeda. Lebaran pada satu sisi memunculkan sebuah kesadaran kolektif untuk mengenakan pakaian baru di saat Idul Fitri. Maka jutaan manusia tersebut juga menyerbu puluhan mall atau melalui platform online membeli beragam pakaian baru untuk dikenakan selama festival lebaran.
Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan juga ikut berkontribusi dalam kesadaran kultural kolektif ini. Muhammadiyah telah menyelenggarakan kegiatan yang disebut alal-bil alal yang terpublikasi dalam Suara Muhammadiyah tahun 1924 M. Suara Muhammadiyah telah memperkenalkan kegiatan yang kini dikenal dengan halal-bil halal sebagai bentuk mengaktualisasikan ajaran Islam ke dalam wujud budaya (https://web.suaramuhammadiyah.id/2021/05/16/suara-muhammadiyah-sudah-memperkenalkan-halal-bihalal-sejak-1924/).
Relasi kultural Islam Indonesia melalui Muhammadiyah membuktikan bahwa organisasi ini bukanlah sekedar menghadirkan gagasan pemikiran puritan, tetapi lebih jauh membuktikan bahwa Muhammadiyah terlibat pula dalam relasi kebudayaan di Indonesia. Muhammadiyah mampu memberikan kontribusi kultural bagi terciptanya masyarakat Indonesia yang religius sekaligus tidak meninggalkan akar budayanya. Budaya religius manusia Indonesia ini telah diwariskan secara turun-temurun dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan warga Muhammadiyah (https://staidagresik.ac.id/idul-fitri-muhammadiyah/ https://staidagresik.ac.id/idul-fitri-muhammadiyah/).
Manusia dengan segenap kompleksitasnya telah memproduksi lebaran sebagai sebuah aktivitas kebudayaan. Tulisan ini tidak hendak mengkritik perilaku budaya sebagai penafsiran nilai beragama manusia. Adanya kebudayaan sebagai sarana menterjemahkan sebuah ritual keagamaan menunjukkan bahwa budaya juga memiliki koneksitas yang erat dengan keyakinan beragama manusia.
Setiap kelompok budaya manusia memiliki cara yang berbeda dalam menterjemahkan apa yang dikehendaki oleh Tuhan baginya. Ritual mudik dan halal bil halal hingga membeli baju baru juga menyediakan hidangan opor lebaran belum tentu akan dijumpai di negara muslim lainnya. Hadirnya budaya manusia adalah juga merupakan kehendak Tuhan (Qs.49:13), bahwa manusia dilengkapi dengan berbagai instrumen kelengkapan manusia. Budaya berupaya menunjukkan sekaligus membuktikan bahwa Tuhan Maha Indah dan mencintai keindahan. Tuhan sebagai pusat dari segenap keindahan (Taslim, 2021).
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (Qs. Al-Hujurat [49]: 13)