Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (10)

Publish

9 November 2023

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
495
Masjid Istiqlal Sumber Foto Unsplash

Masjid Istiqlal Sumber Foto Unsplash

Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (10)

Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Iyus Herdiana Saputra

Di dalam Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (9) telah diuraikan perubahan kebiasaan makan. Hal yang perlu mendapat penekanan kembali adalah dalam hubungannya dengan makan dan minum yang baik bagi kesehatan, contoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wajib kita taati. Kita wajib selalu mencari keutamaan. sebagaimana yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Satu contoh lagi kebiasaan beliau yang wajib kita contoh adalah tidak pernah mencela makanan sebagaimana dijelaskan di dalam hadis berikut ini.

عَنْ أبِي هُرَيْرَةَ قالَ: ما عابَ النَّبِيُّ – ﷺ – طَعامًا قَطُّ، إنِ اشْتَهاهُ أكَلَهُ، وإنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ.

“Dari Abu Hurairah radiyallahu 'anhu, berkata, Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah mencela makanan. Jika beliau menyukainya, beliau memakannya; jika tidak, beliau meninggalkannya.”

Dari hadis tersebut kita tahu bagaimana seharusnya kita jika tidak menyukai makanan. Dapat terjadi suatu ketika istri menyiapkan masakan yang tidak disukai oleh suami. Jika menghadapi kenyataan itu, suami wajib mencontoh tindakan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana dijelaskan di dalam hadis tersebut. 

Mungkin ketika berkunjung ke rumah mertua, ada jamuan makan yang tidak sesuai dengan selera. Jamuan makan itu pun harus disikapi sebagaimana dicontohkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Di dalam kajian pragmatik, ada topik kesantunan berbahasa. Salah satu maksim (bidal, nasihat) kesantunan berbahasa adalah maksim keperkenanan. Maksim ini menasihati kita agar menyetujui atau mengikuti apa yang diharapkan oleh penutur.

Berdasarkan maksim itu, jika dijamu makan, kita dinyatakan santun jika mengatakan, misalnya, Masyaallah! Semuanya enak. Terima kasih  dan menikmatinya dengan senang. Namun, kita dinyatakan tidak santun jika bertutur misalnya, Wah. Maaf. Saya tidak suka ikan asin. apalagi mengatakan Sepertinya tidak ada yang enak.

Mungkin sebelum menikah tidak pernah terlintas pada pikiran bahwa dalam hal selera makan pun ternyata tidak hanya ada perbedaan, tetapi juga dapat terjadi kebiasaan yang berlawanan. Jika suami istri tidak mencontoh Rasulullah shallallau ‘alaihi was sallam sebagaimana dijelaskan di dalam hadis tersebut, kesalahpahaman suami istri dapat terjadi.  Oleh karena itu, sangat bagus jika masa "pranikah" digunakan sebaik-baiknya, terutama untuk membekali diri dengan ilmu yang sebanyak-banyaknya.

Di dalam Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (10) diuraikan perubahan kebiasaan berpakaian. Mungkin ada yang menganggap hal itu sepele, tetapi di dalam kenyataan tidak demikian halnya. 

Pergi ke Masjid Berpakaian Bagus

Perlu kita pahami kembali firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an surat A’raf (7): 31,

يٰبَنِيْۤ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَا شْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْا ۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ

"Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan."

Sudah diuraikan pada Shalat untuk Menjemput Rahmat (1) bahwa untuk salat, kebiasaan berpakaian suci, menutup aurat, dan bagus harus dilakukan sejak kecil. Namun, cukup banyak orang tua yang kurang memperhatikan hal itu. Sampai usia SMP/MTs pun anak kurang mendapat perhatian dalam hal berpakaian untuk salat. Akibatnya, boleh jadi celana dalamnya tidak suci. 

Semestinya, mereka mempersiapkan celana dalam untuk ganti sebagai kelengkapan bekal. Jadi, bekal berangkat ke tempat beraktivitas tidak hanya makan dan minum. Pakaian salat pun harus disiapkan dengan baik.

Sudah diuraikan juga bahwa untuk salat di tempat bekerja, menuntut ilmu, atau bepergian (safar), di antara muslim ada yang lebih memilih pinjam mukena musala atau masjid di tempat bekerja, di sekolah atau kampus, atau rest area. Namun, bekal yang lain disiapkannya dengan lengkap. Boleh jadi, mukena di tempat-tempat itu, kurang terjaga kesuciannya karena pemakainya belum tentu ikut menjaga kesuciannya. 

Sementara itu, ada fenomena menarik yang dapat kita lihat juga. Pedagang jajanan keliling dan tukang reparasi keliling cukup banyak yang membawa pakaian khusus untuk salat dan di antara mereka ada yang mandi lebih dulu sebelum salat. Masya-Allah!

Fenomena yang memprihatinkan adalah kebiasaan berpakaian bagus ketika pergi ke pesta pernikahan atau acara "keduniaan" yang lain, tetapi ketika ke masjid?  Belum tentu! Ada yang salat dengan pakaian yang baru saja digunakan untuk berolahraga. Terhadap kebiasaan yang demikian istri yang sangat taat pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana telah dikutip, tentu tidak suka. Dia ingin agar suaminya pergi ke masjid dengan pakaian yang  sesuai dengan tuntunan tersebut. Dia selalu menyiapkan pakaian terbagus untuk suaminya yang akan pergi ke masjid. Dia pun tidak segan-segan dengan ramah “menegur”  atau menghentikan langkah suaminya menuju ke masjid dengan pakaian yang tidak bagus.

Suami yang mau mengubah kebiasaan buruknya itu,  justru dengan senyum senang mau menerima tindakan istrinya. Inilah yang seharusnya! Namun, sangat mungkin ada suami yang tidak senang terhadap tindakan istrinya yang demikian. Mungkin ada suami yang menganggapnya sebagai tindakan berlebihan!
Berkenaan dengan sikapnya yang demikian, apa yang dilakukannya? Dia marah pada istrinya. 

Jika istrinya mempunyai bekal ilmu yang cukup, dia memilih bersabar. Dia tetap menasihati suaminya dengan cara yang lebih baik lagi dan mendoakannya agar Allah Subhanahu wa Ta’ala memberinya hidayah. Mungin tidak cukup satu pekan dua pekan. Satu bulan dua bulan. Satu tahun dua tahun. 

Apa yang terjadi jika istrinya membalas kemarahan suaminya dengan kemarahan juga? Tidak mustahil perbedaan kebiasaan berpakaian menjadi salah satu penyebab perceraian! Nauzubillah! 

Gegara Berpakaian Bengkel

Berikut ini disajikan kisah nyata yang perlu kita jadikan pelajaran. 

Ada istri yang mempunyai kebiasaan berpakaian sesuai dengan aktivitas yang dilakukannya. Ketika berolahraga, dia berpakaian olahraga. Ketika menemui tamu, dia berpakaian rapi. Ketika ke luar rumah, dia berpakaian rapi. Lebih-lebih ketika salat; dia tidak hanya berpakaian rapi, tetapi juga lebih bagus daripada ketika menemui sesama manusia. Meskipun salat di rumah, dia tidak memakai daster yang baru saja digunakannya untuk memasak!  Mukena yang dipakainya benar-benar suci, bagus, dan tidak berbau apak (bahasa Jawa: apek). Dia selalu berpakaian rapi meskipun di rumah lebih-lebih jika suami di rumah. 

Sementara itu, suaminya, yang bekerja sebagai bengkel, mempunyai kebiasaan yang berbeda sama sekali. Ketika istrinya memintanya agar berganti pakaian yang rapi karena akan menemui tamu, dia tidak mau. Malahan, ketika mengantar istrinya ke tempat tertentu yang menurut istrinya lebih baik berpakaian rapi, dia tetap mengenakan pakaian bengkel, padahal sudah lewat jam kerja dan ada waktu untuk mandi serta berganti pakaian. Ketika datang ke rumah mertuanya pun, dia berpakaian tidak rapi, padahal dia tahu bahwa mertuanya sama sekali tidak suka pada orang yang berpakaian kumal. Dia menganggap bahwa berpakaian rapi tidak penting dan dia membanggakan dirinya karena bekerja sebagai bengkel, tetapi beristrikan orang dari keluarga “terhormat.” 

Timbul konflik tidak hanya antara suami dan istri, tetapi juga  antara istri dengan ibu kandungnya. Timbul konflik juga antara dia dengan mertuanya. Mertuanya sejak awal tidak suka, makin tidak suka. 

Berkenaan dengan itu, istri dihadapkan pada pilihan dan harus memilih salah satu: ibunya atau suaminya! Ibunya yang dipilih. Perceraian pun terjadi! 

Kebiasaan berpakaian sangat penting. Bagi orang beriman dan bertakwa, kebiasaan berpakaian pun merujuk pada tuntunan Al-Qur’an dan as-Sunah. Yang bagus menurut kedua sumber rujukan itu dilakukan, sedangkan yang buruk ditinggalkan!

Allahu a’lam

Mohammad Fakhrudin, 
warga Muhammadiyah, 
tinggal di Magelang Kota 

Iyus Herdiyana Saputra, 
dosen al-Islam dan Kemuhammadiyah, 
Universitas Muhammadiyah Purworejo


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

"Islam" dalam Al-Qur`an: Memahami Makna Sejati Ketundukan kepada Tuhan Oleh: Donny Syofyan, Dosen F....

Suara Muhammadiyah

23 August 2024

Wawasan

Dakwah Menjawab Jiwa Zaman: Belajar Dari KH Ahmad Dahlan Keharusan Peta Dakwah Oleh: Saidun Derani....

Suara Muhammadiyah

7 February 2024

Wawasan

Hijrah Kontemporer, Hijrah Yang Transformatif (Bagian I): Memberdayakan Aset Informasi Persyarikatan....

Suara Muhammadiyah

8 July 2024

Wawasan

Oleh: Wakhidah Noor Agustina, S.Si. (Ketua Cabang ‘Aisyiyah Kota 3 Kudus dan Pengajar Biologi....

Suara Muhammadiyah

2 October 2024

Wawasan

Oleh: Abdul Rohman, Mahasiswa Institut Agama Islam Al Ghuraba Jakarta Media sosial saat ini sudah t....

Suara Muhammadiyah

7 December 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah