Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (9)
Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Iyus Herdiana Saputra
Banyak masalah potensial yang telah dikemukakan dengan solusi alternatif penyelesaiannya di dalam Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (8). Di dalam kenyataan dapat kita ketahui bahwa ada keluarga kandas mencapai kebahagiaan karena gagal menghadapi berbagai masalah. Kebanyakan penyebab utamanya adalah kurangnya bekal ilmu, terutama, pada suami istri.
Akibat terlalu sedikitnya bekal ilmu, ketika terjadi masalah, suami istri merasa telah menempuh jalan yang benar, padahal tidak demikian halnya. Buktinya, masalah yang dihadapinya tidak terselesaikan, tetapi justru bertambah besar dan hal ini berefek buruk ganda.
Sementara itu, pasangan suami istri yang berbekal ilmu (dalam arti luas), dapat menyelesaikan masalah dengan baik. Bahkan, mereka dapat mengambil pelajaran sehingga dapat menghindari keberulangan masalah yang dihadapinya.
Kata kunci penyelesaian atas berbagai masalah di dalam keluarganya adalah memilih solusi yang diridai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kecerdasan intelektual yang dimilikinya tidak membuatnya merasa tidak perlu berdoa dan didoakan. Berdoa secara serius justru menjadi andalannya sehingga ketika belum dapat menyelesaikan masalah, tidak ada kegelisahan. Mereka tetap optimistis bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti mempunyai rencana yang terbaik. Jika dapat menyelesaikan masalah, rasa syukurnya makin bertambah dan inilah yang menjadi sumber keberkahan di dalam keluarga. Itulah yang membuat keluarganya mendapat ketenteraman.
Di dalam Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (9) ini dikemukakan lagi masalah potensial dan solusi alternatif penyelesaiannya.
Perubahan Kebiasaan Makan
Kebiasaan makan sehari-hari di rumah merupakan hal biasa. Boleh jadi, ada yang menganggapnya sepele. Namun, bagi suami istri tertentu, dapat menikmati makan sehari-hari di rumah dengan penuh kenyamanan memerlukan waktu penyesuaian cukup lama.
Mengapa demikian? Tidak semua orang dapat menikmati misalnya petai, jengkol, kemangi, buncis, sawi, ayam pedaging, atau ikan asin. Oleh karena itu, suami istri perlu saling memahami dan untuk itu diperlukan waktu mungkin tidak cukup sepekan dua pekan.
Jika istri suka jenis sayuran tertentu, sedangkan suami tidak, sangat bagus jika suami mau belajar menyukainya. Untuk itu, suami perlu mencari tahu tentang manfaat dan mudaratnya. Di pihak lain, istri tidak memaksa suami agar dalam tempo sesingkat-singkatnya dapat menyesuaikan.
Dengan cara seperti itu, suami yang pada awalnya tidak suka menjadi sekurang-kurangnya "mau" atau ikut menikmatinya atau "memahami." Tentu perubahan pada suami tersebut sangat bermanfaat ketika hadir di rumah mertua dan dijamu makan dengan lauk yang sama dengan yang sering disajikan istri.
Perlu diketahui sejak dini bahwa sesuai dengan sunatullah, kemampuan mulut mengunyah makanan makin berkurang. Hal itu dapat disebabkan oleh berkurangnya gigi. Kondisi tersebut dapat menjadi pengubah kebiasaan makan.
Perubahan kebiasaan makan itu dapat terjadi juga karena suatu penyakit. Berkenaan dengan penyakit tertentu, ada jenis makanan yang oleh dokter dianjurkan agar tidak dikonsumsi atau dikurangi porsinya. Malahan, bagi penderita Diabetes Mellitus (DM), misalnya, ada perubahan jenis, volume, dan waktu makan. Perubahan tersebut dapat menimbulkan masalah bagi suami istri jika mereka tidak terkondisikan mempunyai pemahaman yang benar dan sama.
Di dalam kenyataan dapat terjadi kasus berikut. Karena penyakitnya, istri dianjurkan oleh dokter agar membatasi lauk yang berlemak seperti daging sapi dan daging kambing. Namun, suami sangat senang satai, gulai, tengkleng, dan sop kambing. Suami muslim yang selalu ingin mencari rida Ilahi, dalam menghadapi keadaan yang seperti ini, dia memilih solusi yang menenteramkan hati istri. Dia dengan suka rela “menyesuaikan” dengan menu makanan istri meskipun tidak berarti 100% sama benar.
Sementara itu, istri tidak menuntut suami agar makan dengan menu yang sama benar. Dia makan sesuai dengan petunjuk dokter, tetapi tetap berusaha menyediakan menu makan kesukaan suami.
Dalam hubungannya dengan takaran atau porsi makan nasi, suami mengondisikan istrinya makan sesuai dengan anjuran dokter. Biasanya porsi makan nasi dibatasi. Akibatnya, meskipun kebutuhan tubuh terpenuhi, tetap ada pengaruh terhadap kebugaran fisik. Secara umum kebugaran fisik penderita DM menurun. Hal itu dapat berpengaruh buruk terhadap aspek psikologis.
Mengapa demikian? Akibat merasa lemah fisik, istri merasa mengecewakan suami. Perasaan yang demikian dapat berkembang jika tidak diatasi dengan baik. Jika suami menyikapinya dengan penuh kearifan, istri mampu mengelola dengan baik kekecewaan pada dirinya. Dia terhindar dari rasa bersalah yang berkepanjangan apalagi frustrasi.
Masih ada lagi yang perlu dipahami berkaitan dengan pola makan. Selain jenis dan porsi adalah waktu makan. Bagi penderita DM, ada perubahan jadwal dari makan malam menjadi makan sore dan perubahan tersebut berlaku sangat ketat. Makan terakhir dilaksanakan sekitar pukul 17.00-18.00. Setelah itu, tidak ada lagi makan yang mengandung karbohidrat.
Ketaatan pada jadwal yang demikian perlu mendapat dukungan dari suami. Sangat bagus jika suami mengubah jadwal makan dari malam menjadi sore untuk menemani istri.
Bagi suami atau istri yang cerdas intelektual dan cerdas spiritual, jadwal tersebut tidak menjadi kendala untuk menunaikan ibadah puasa Ramadan. Dia yakin seyakin-yakinnya bahwa dengan berdoa dan berikhtiar secara cerdas, dia dapat mengelola kesehatannya dengan baik sehingga tetap dapat melaksanakan ibadah Ramadan sebulan penuh tanpa meninggalkan sahur.
Penderita DM kadang-kadang mendadak mengalami perubahan kondisi kesehatan fisik. Biasanya perubahan itu ditandai dengan keluarnya keringat dingin membasahi tubuh, tangan gemetar, dan tidak berdaya. Jika mengetahui kondisi istrinya seperti ini, tidak ada jalan lain yang dilakukan oleh suami, kecuali menyiapkan makanan atau minuman manis yang bermanfaat untuk menaikkan gula darah istrinya. Bagaimana halnya dengan istri? Dia tidak memaksakan diri untuk melanjutkan puasa.
Sudah dipahami oleh masyarakat bahwa penderita DM mengalami penurunan kebugaran. Secara fisik, ada di antara mereka yang menjadi kurus dan ada pula yang sebaliknya. Siapa pun yang mengalaminya dan bagaimana pun keadaannya harus diperlakukan dengan baik. Mereka tidak direndahkan atau dicela sebab perubahan itu bukan atas kehendaknya.
Mencari Keutamaan Melalui Makan dan Minum
Bagi keluarga muslim yang taat, makan dan minum pun mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak hanya kehalalan zatnya yang dipertimbangkan, tetapi juga kebaikannya bagi kesehatan. Mereka merujuk pada firman Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam Al-Qur'an surat an-Nahl (16): 144,
فَكُلُوْا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّٰهُ حَلٰلًا طَيِّبًا ۖ وَّا شْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ اِنْ كُنْـتُمْ اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ
"Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya."
Dengan merujuk pada ayat tersebut suami istri makan dari rezeki yang halal dan baik. Sudah dipahami secara umum bahwa di antara makanan, ada yang halal dan baik bagi kesehatan orang tertentu, tetapi tidak baik bagi kesehatan orang lain. Daging halal yang mengandung lemak tinggi, baik-baik saja bagi kesehatan orang yang tidak mempunyai sakit hipertensi. Namun, bagi orang yang mempunyai hipertensi? Bagi suami istri beriman dan bertakwa, ayat tersebut dijadikan rujukan utama. Dengan demikian, jika ada di antara mereka yang menderita hipertensi, tidak timbul masalah.
Mereka memperhatikan juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qu’an surat al-A’raf (7): 31.
يٰبَنِيْۤ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَا شْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْا ۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ
"Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan."
Suami istri beriman dan bertakwa, menjadikan ayat tersebut sebagai tuntunan takaran dalam hal makan dan minum. Apa pun yang berlebihan berakibat buruk. Makan dan minum pun demikian.
Dalam hubungannya dengan makan dan minum yang baik bagi kesehatan, contoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditaati dengan baik. Mereka selalu mencari keutamaan.
Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam makan sambil duduk. Hal ini dijelaskan di dalam HR al-Bukhari berikut ini.
لاَ آكُلُ مُتَّكِئًا إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ آكُلُ كَمَا يَأْكُلُ الْعَبْدُ وَأَجْلِسُ كَمَا يَجْلِسُ الْعَبْدُ.
“Aku tidak pernah makan sambil bersandar, aku hanyalah seorang hamba, aku makan sebagaimana layaknya seorang hamba dan aku pun duduk sebagaimana layaknya seorang hamba.”
Menurut penelitian medis, makan atau minum sambil berdiri tidak baik bagi kesehatan, terutama bagi ginjal. Suami istri beriman dan bertakwa memahami dan mengamalkan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala aspek kehidupan dengan penuh kesabaran. Makan atau minum sambil berdiri tidak memperoleh keutamaan, maka mereka makan atau minum dengan duduk. Hadis berikut dijadikannya sebagai rujukan.
1. HR Muslim
عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ نَهَى أَنْ
يَشْرَبَ الرَّجُلُ قَائِمًا
"Dari Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya beliau melarang seseorang minum sambil berdiri. "Qatadah berkata bahwa mereka kala itu bertanya (pada Anas), "Bagaimana dengan makan (sambil berdiri)?" Anas menjawab: "Itu lebih parah dan lebih jelek."
2. HR Muslim yang diceritakan Abu Hurairah radiyallahu 'anhu
لاَ يَشْرَبَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ قَائِمًا فَمَنْ نَسِىَ فَلْيَسْتَقِئْ
"Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian minum sambil berdiri. Apabila dia lupa maka hendaknya dia muntahkan."
3. Hadis yang diceritakan Al Jarud bin Al 'Ala radiyallahu 'anhu
أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن الشرب قائما
"Bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam melarang minum sambil berdiri."
(HR at Tirmizi, beliau berkata: hadis ini gharib dan hasan. Syaikh Al Albani mensahihkan dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 1880).
4. HR Muslim yang diceritakan Abu Sa'id Al-Khudri radiyallahu 'anhu
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَجَرَ عَنِ الشُّرْبِ قَائِمًا
"Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam sungguh melarang minum sambil berdiri.
Berdasarkan hadis tersebut, makan atau minum sambil duduk lebih utama daripada sambil berdiri.
Demi ketaatannya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai-sampai jika menghadiri undangan resepsi pernikahan, suami istri istiqamah untuk makan atau minum sambil duduk. Jika acara resepsi diselenggarakan dengan standing party, setelah mendoakan pengantin, mereka lebih memilih tidak mengikuti standing party, tetapi makan di warung makan agar dapat menikmati makan dan minum sambil duduk.
Langkah suami istri tersebut dapat menambah keberkahan dan mendatangkan ketenteraman di dalam keluarganya. Masalah tetap ada, tetapi mereka dapat menyelesaikannya dengan baik sehingga keluarganya tenteram.
Allahu a’lam
Mohammad Fakhrudin,
warga Muhammadiyah,
tinggal di Magelang Kota
Iyus Herdiyana Saputra,
dosen al-Islam dan Kemuhammadiyah,
Universitas Muhammadiyah Purworejo