Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (16)

Publish

21 December 2023

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
230
Sumber Foto Unsplash

Sumber Foto Unsplash

Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (16) 

Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Iyus Herdiana Saputra

Secara garis besar, ada tiga hal yang diuraikan di dalam “Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah” (IAMKS) ke-15. yakni perintah berakhlak mulia, keutamaan berakhlak mulia, dan pedoman dalam akhlak. Perintah dibedakan menjadi dua, yaitu perintah mengamalkan akhlak baik dan perintah meninggalkan akhlak buruk. Teladan hidup muslim termasuk di dalam akhlak adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan mencontoh akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, muslim mendapat rahmat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dengan rahmat-Nya itulah muslim masuk surga.

Baik buruknya akhlak dapat diketahui  melalui bahasa. Demikianlah ajaran Islam. Oleh karena itu, jika ada muslim yang berprinsip, “Meskipun bicaranya kasar, hatinya halus”  tidak sesuai dengan ajaran Islam.  Mengapa demikian?  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ART pun santun! Nabi Harun dan Nabi Musa kepada Fir’aun, penguasa yang sangat sombong, pun diperintah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala agar berbicara lemah lembut. 

Akhlak dapat diketahui juga melalui perilaku, yakni tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan dan tanggapan itu bersifat spontan. Misalnya, ketika seseorang mengendarai mobil melalui jalan kampung dan melihat ada orang (lebih-lebih orang yang dikenalnya) di depan rumahnya, secara spontan dia membuka jendela mobil lalu menyapanya. Itulah contoh perilaku yang mencerminkan bahwa orang itu berakhlak mulia. Dikatakan demikian karena dia berperilaku sopan. 

Muslim yang mempunyai akhlak mulia memperoleh keutamaan, baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia dia dicintai dan dihormati, bahkan, didoakan tidak hanya oleh sesama muslim, tetapi juga orang non-Islam. Di akhirat timbangan kebaikannya lebih berat dan dijamin oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa dia berada di dalam kehidupan yang memuaskan (senang). 

Bagi warga Muhammadiyah laki-laki dan perempuan, telah ada pedoman di dalam akhlak. Pedoman tersebut semestinya menjadi bingkai berakhlak, baik sebagai pribadi, warga masyarakat, maupun warga negara. 

IAMKS (16) ini berisi uraian lanjutan kriteria kedua yang harus dimiliki  oleh calon suami, yakni mempergauli istri dengan baik sebagai bagian dari akhlak mulia dengan merujuk kepada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an surat an-Nisa (4): 19. Di dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) pada butir (1) dijelaskan “Setiap warga Muhammadiyah dituntut untuk meneladan perilaku Nabi dalam mempraktikkan akhlak mulia sehingga menjadi uswah hasanah, yang diteladan oleh sesama berupa sifat siddiq, amanah, tabligh, dan fathanah.”

Shidiq

Di dalam buku Kuliah Akhlaq (hlm. 82-85), Yunahar Ilyas menjelaskan rincian bentuk shidiq. Ada lima macam bentuk shidiq, (yaitu (1) benar perkataan (shidq al-hadits), (2) benar pergaulan (shidq al mu’amalah), (3) benar kemauan (shidq al-’azam), (4) benar janji (shidq al-wa’ad), dan (5) benar kenyataan (shidq al-hal). 

Berkata benar dapat dipahami sekurang-kurangnya dari dua sisi, yakni benar substansi dan benar cara menyampaikannya. Berikut ini diuraikan secara ringkas kedua-duanya. 

Benar Substansi

Di dalam kajian pragmatik terdapat tindak tutur konstatif, yakni tindak tutur yang isinya dapat dibuktikan kebenarannya. Jika laki-laki bertutur misalnya, “Saya Kolonel Adi” isi tuturan itu dapat dibuktikan kebenarannya bahwa dia berpangkat kolonel dan bernama Adi. Jika lelaki itu mengatakan, “Lulus Akmil 1998” isi tuturan itu pun dapat dibuktikan kebenarannya bahwa dia lulus Akmil pada tahun itu. Demikian seterusnya: jika dia mengatakan, “Saya tinggal di Jalan Nanas 21, Pajangan, Kramat Selatan, Magelang Utara, Magelang Kota” isi tuturan itu pun dapat dibuktikan kebenarannya bahwa dia memang tinggal di alamat yang disebutkan. Jadi, alamat itu bukan alamat palsu! 

Jika laki-laki mengatakan gajinya Rp5.000.000,00, isi perkataan itu harus dapat dibuktikan kebenarannya bahwa pada struk gajinya tertulis gajinya sebesar itu. Jika dia mengatakan mempunyai utang, isi tuturan itu pun dapat dibuktikan kebenarannya misalnya pada kuitansi atau bukti lain yang sah menurut hukum. Demikian seterusnya. 

Jika apa yang dikatakannya tidak dapat dibuktikan kebenarannya, berarti dari sisi substansi perkataannya tidak benar. Cukup banyak calon istri menjadi korban penipuan. Hal itu terjadi karena calon istri tidak menguji kebenaran substansi perkataan calon suami. Tidak tertutup kemungkinan keluarga calon istri menjadi korban juga.

Mereka mengalami kerugian yang sangat besar. Malahan, ada yang mengalami kerugian materiel dan nonmateriel. Kerugian materiel berupa uang mencapai Rp10.000.000,00 atau bahkan ada yang mencapai Rp100.000.000,00 lebih, sedangkan kerugian nonmateriel berupa menanggung malu yang luar biasa sebab pernikahan tidak jadi berlangsung. Mengapa? Calon pengantin laki-laki tidak datang pada hari pernikahan tanpa kabar, padahal undangan sudah tersebar luas. 

Pertanyaan yang timbul adalah bagaimana cara menguji kebenaran substansi perkataan? Kebenaran substansi perkataan dapat diuji melalui pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan isi perkataan. (Baca: “Kesahihan Tindak Tutur Konstatif Berbahasa Indonesia” di dalam Dekripsi Bahasa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta oleh Mohammad Fakhrudin, Sukirno, dan Bagiya)

Benar Cara

Sejak satu dasawarsa terakhir ini di Indonesia ada orang yang sangat terkenal karena pintar berdebat. Banyak orang, apalagi mahasiswa, menjadikannya seakan-akan sebagai “idola” dalam berdebat. Oleh karena itu, dia laris manis diundang di kampus-kampus.  

Baginya, berpikir tidak perlu etika. Dia berpendapat bahwa berbicara, lebih-lebih mengkritik, tidak perlu etika. Karena berpendapat demikian, dia merasa tidak “berdosa” ketika mengkritik dengan kata-kata yang sangat kasar bagi orang yang mengikuti teladan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal cara berbicara. Sudah kita pahami bahwa akhlak beliau adalah Al-Qur’an. Dengan demikian, beliau mengamalkan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hal cara berbicara yang terdapat di dalam Al-Qur’an, misalnya, di dalam surat an-Nahl (16): 125 

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِا لْحِكْمَةِ وَا لْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَا دِلْهُمْ بِا لَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ ۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِا لْمُهْتَدِيْنَ

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk."

(Baca “Mengkritik Tanpa Kebencian dan Tanpa Mengolok-olok” Mohammad Fakhrudin https://web.suaramuhammadiyah.id/2021/12/31/mengkritik-tanpa-dendam-dan-tanpa-mengolok-olok/
Baca juga: “Menanggapi Kritik Tanpa Dendam” Mohammad Fakrudin
https://web.suaramuhammadiyah.id/2022/01/13/menanggapi-kritik-tanpa-dendam/)

Dengan meneladan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seharusnya muslim berbicara benar substansinya dan benar juga caranya. Di dalam budaya Jawa ada ungkapan, “Ya, bener, ya, pener.” Muslim laki-laki dan perempuan wajib mengikuti teladan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal berbicara, bukan mencontoh cara berbicara “jago debat” yang tidak memahami secara utuh tuntunan Islam. 

Muslim yang berkata benar diperbaiki amal-amalnya, diampuni atas dosanya, dan memperoleh kemenangan yang nyata. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam Al-Qur’an surat ahzab (33): 70-71

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا 

يُّصْلِحْ لَـكُمْ اَعْمَا لَـكُمْ وَيَغْفِرْ لَـكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ فَقَدْ فَا زَ فَوْزًا عَظِيْمًا

"Wahai, orang-orang yang beriman. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar,
niscaya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia menang dengan kemenangan yang agung."

Nah, laki-laki yang dapat berkata benar substansinya dan benar juga caranya itulah yang dapat diharapkan menjadi kepala rumah tangga yang bersama istri dan anaknya menuju keluarga sakinah. Jika “baru” dapat berbicara benar substansinya, sesungguhnya dia belum berakhlak mulia.

Allahu a’lam

Mohammad Fakhrudin, 
warga Muhammadiyah, 
tinggal di Magelang Kota 

Iyus Herdiyana Saputra, 
dosen al-Islam dan Kemuhammadiyah, 
Universitas Muhammadiyah Purworejo


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Menyelamatkan Homo Digitalis dari Kehidupan Inersia Oleh: Agusliadi Massere Era digital hari ini a....

Suara Muhammadiyah

12 November 2023

Wawasan

Resesi dalam Kehidupan Dalam kehidupan di dunia ini tidaklah semulus jalan tol dan secepat pesawat,....

Suara Muhammadiyah

20 October 2023

Wawasan

Muktamar IMM: Menyemai Pemimpin Masa Depan (Catatan Muktamar ke XX IMM di Palembang) Oleh:Abdul Gaf....

Suara Muhammadiyah

29 February 2024

Wawasan

Oleh: Izza Rohman Ketua Pimpinan Ranting Istimewa Muhammadiyah New South Wales Periode 2022-2024 P....

Suara Muhammadiyah

9 December 2023

Wawasan

Panduan Hidup Sehat dalam Al-Qur’an Oleh: Suko Wahyudi Al-Qur’an adalah kitab suci ter....

Suara Muhammadiyah

26 March 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah