Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (27)
Oleh: Mohammad Fakhrudin (warga Muhammadiyah tinggal di Magelang Kota) dan Iyus Herdiyana Saputra (dosen al-Islam dan Kemuhammadiyahan Universitas Muhammadiyah Purworejo)
Telah diuraikan di dalam “Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah” (IAMKS) 26 pentingnya bekal ilmu bagi laki-laki dan perempuan dalam ikhtiar menuju keluarga sakinah. Bagi laki-laki, bekal ilmu tentu sangat penting karena dia pemimpin rumah tangga. Dengan ilmu yang cukup, dia dapat melaksanakan amanah sebagai pemimpin rumah tangga. Apalagi, pada era sekarang ini, tantangan kehidupan makin berat dan kompleks.
Bagi perempuan pun, ilmu sangat penting untuk menuju keluarga sakinah. Tantangan yang dihadapinya makin berat dan kompleks juga.
Hal sangat penting yang perlu diberi penekanan kembali adalah kesamaan persepsi pada calon suami dan calon istri bahwa akhlak harus diletakkan di atas ilmu. Kesamaan persepsi tersebut menjadi modal yang sangat penting bagi mereka untuk berkomitmen dalam ikhtiar menuju keluarga sakinah.
Di dalam IAMKS (27) ini diuraikan kewajiban dan hak suami. Kiranya sudah menjadi pemahaman umum bahwa apa yang menjadi kewajiban suami merupakan hak istri dan apa yang menjadi hak suami merupakan kewajiban istri.
Kewajiban dan Hak Suami
Calon suami wajib memahami kewajiban dan haknya sejak dini. Dengan memahaminya, dia dapat mempersiapkan dengan sebaik-baiknya, baik secara fisik maupun mental. Untuk kepentingan itu, dia perlu belajar. Sumber belajarnya tidak cukup hanya guru, dosen, dan bacaan, tetapi juga pengalaman orang saleh dalam membina keluarga. Bahkan, sumber belajar yang disebutkan terakhir itu lebih utama.
Perlu kita pahami kembali dengan sebaik-baiknya bahwa suami adalah pemimpin rumah tangga. Sejalan dengan kedudukannya itu, salah satu kewajibannya adalah membimbing istri. Ibarat shalat berjamaah, dia adalah imam. Sebagai imam, dia menjadi orang yang diikuti oleh makmum. Berkenaan dengan itu, dia tidak hanya harus fasih bacaan Al-Qur’annya, tetapi juga benar gerakan shalatnya sehingga istri sebagai makmumnya merasa sangat nyaman.
Jika kewajiban tersebut dilaksanakan sebagaimana mestinya, dia mempunyai hak untuk dipatuhi oleh istrinya sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur'an surat an-Nisa (4): 34.
Sementara itu, dalam hubungannya dengan ketaatan istri terhadap suami, Rasullullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لأَزْوَاجِهِنَّ لِمَا جَعَلَ اللَّهُ لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحَقِّ
“Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk sujud pada yang lain, maka tentu aku akan memerintah para istri untuk sujud pada suaminya karena Allah telah menjadikan begitu besarnya hak suami yang menjadi kewajiban istri” (HR Abu Daud, at-Tirmizi, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Tidak demikian halnya jika dia mengajak melakukan kemaksiatan. Dia kehilangan hak untuk dipatuhi. Dengan kata lain, istri justru wajib tidak mematuhi suami.
Jadi, jika calon suami adalah orang yang tidak tegak lurus akidahnya, "bolong-bolong shalatnya", buruk akhlaknya, dan tidak pernah mengaji, tetapi merasa seolah-olah memahami agama, hilanglah haknya untuk ditaati oleh calon istri. Hal itu dijelaskan di dalam HR al-Bukhari dan HR Muslim berikut ini.
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan dalam perkara maksiat. Ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (kebaikan).”
Tenteram Dunia Akhirat
Bagi muslim, keluarga sakinah yang dituju adalah keluarga sakinah di dunia dan di akhirat. Hal itu berarti bahwa ilmu yang harus dimiliki oleh suami adalah ilmu yang dapat menjadi bekal hidup tenteram di dunia dan di akhirat. Jika berbekal ilmu yang bermanfaat hanya untuk kehidupan di dunia, sesungguhnya kehidupan di dunia diumpamakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti air hujan yang diturunkan dari langit sebagaimana dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di lam Al-Qur’an surat Yunus (10): 24,
اِنَّمَا مَثَلُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا كَمَآءٍ اَنْزَلْنٰهُ مِنَ السَّمَآءِ فَا خْتَلَطَ بِهٖ نَبَا تُ الْاَ رْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّا سُ وَا لْاَ نْعَا مُ ۗ حَتّٰۤى اِذَاۤ اَخَذَتِ الْاَ رْضُ زُخْرُفَهَا وَا زَّيَّنَتْ وَظَنَّ اَهْلُهَاۤ اَنَّهُمْ قٰدِرُوْنَ عَلَيْهَاۤ ۙ اَتٰٮهَاۤ اَمْرُنَا لَيْلًا اَوْ نَهَا رًا فَجَعَلْنٰهَا حَصِيْدًا كَاَ نْ لَّمْ تَغْنَ بِا لْاَ مْسِ ۗ كَذٰلِكَ نُـفَصِّلُ الْاٰ يٰتِ لِقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
"Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu hanya seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah tanaman-tanaman bumi dengan subur (karena air itu), di antaranya ada yang dimakan manusia dan hewan ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan berhias, dan pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya (memetik hasilnya), datanglah kepadanya azab Kami pada waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman)-nya seperti tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda (kekuasaan Kami) kepada orang yang berpikir."
Sementara itu, di dalam surat al-Kahfi (18): 45 dijelaskan,
وَا ضْرِبْ لَهُمْ مَّثَلَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا كَمَآءٍ اَنْزَلْنٰهُ مِنَ السَّمَآءِ فَا خْتَلَطَ بِهٖ نَبَا تُ الْاَ رْضِ فَاَ صْبَحَ هَشِيْمًا تَذْرُوْهُ الرِّيٰحُ ۗ وَكَا نَ اللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ مُّقْتَدِرًا
"Dan buatkanlah untuk mereka (manusia) perumpamaan kehidupan dunia ini, ibarat air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, sehingga menyuburkan tumbuh-tumbuhan di bumi, kemudian (tumbuh-tumbuhan) itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."
Hidup tenteram di dunia sama sekali tidak sebanding dengan hidup tenteram di akhirat sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an surat ar-Ra’ad (13): 26,
اَللّٰهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَّشَآءُ وَيَقْدِرُ ۗ وَفَرِحُوْا بِا لْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗ وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا فِى الْاٰ خِرَةِ اِلَّا مَتَا عٌ
"Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasi (bagi siapa yang Dia kehendaki). Mereka bergembira dengan kehidupan dunia, padahal kehidupan dunia hanyalah kesenangan (yang sedikit)b dibandingkan dengan kehidupan akhirat."
Pendidikan Istri Lebih Tinggi
Telah diuraikan di dalam IAMKS (26) bahwa di dalam kenyataan ada gadis yang berpendidikan lebih tinggi daripada jejaka, bahkan, karena itu, dia mempunyai jabatan lebih tinggi. Namun, gadis yang berakhlak mulia tetap meletakkan akhlak di atas tingginya ilmu dan jabatannya itu.
Kemuliaan akhlaknya membuatnya tetap rendah hati, baik ucapan maupun perilakunya. Dia menyadari bahwa di balik kelebihan pendidikan dan jabatannya ada “ruang kosong” yang perlu diisi oleh orang lain misalnya kekurangsabaran dan keterbatasan pengalaman berorganisasi.
Boleh jadi, laki-laki yang akan memperistrinya sejak kelas 3 hingga kelas 9 menjadi ketua kelas. Ketika SLTA dia menjadi ketua Osis atau aktivis Pramuka atau organisasi yang lain. Ketika di perguruan tinggi, dia menjadi aktivis masjid kampus atau aktivis takmir masjid/musala di kampung pondokannya, atau bisa juga santri pondok pesantren, baik di kampus maupun di luar kampus..
Bagaimana halnya calon istri? Dia fokus tekun di bidang akademis. Namun, dia di rumah dididik secara serius oleh orang tuanya dalam hal akhlak sehingga menjadi perempuan yang berilmu dan berakhlak mulia meskipun dalam hal kesabaran dan berorganisasi, dia masih perlu belajar pada calon suaminya..
Kemuliaan akhlaknya itu menyadarkannya bahwa kalaupun calon suaminya lebih rendah pendidikan dan jabatannya jika Allah Subḥanahu wa Ta'ala yang manakdirkannya, pasti dia diberi kelebihan misalnya lebih sabar dan mempunyai pengalaman berorganisasi yang lebih matang. Mungkin juga ada kelebihan lain.
Kesadaran itu menyebabkannya mau menerima saran dari calon suaminya. Bahkan, kritik pun diterimanya dengan lapang dada. Tanpa khawatir kehilangan harga diri, dia mau mengubah pendapat dan sikapnya demi menjadi yang lebih baik.
Dengan bekal kemuliaan akhlak suami istri, harapan terwujudnya keluarga sakinah lebih mudah.