Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (4)
Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Iyus Herdiana Saputra
Pada Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (3) telah diuraikan ikhtiar yang dilakukan oleh orang saleh yang relevan dengan kandungan isi ayat ke-26, yaitu pada fokus perempuan yang baik untuk laki-laki dan laki yang baik untuk perempuan yang baik. Ada tiga tindakan yang dilakukannya, yakni (1) berdoa, (2) berikhtiar, dan (3) didoakan.
Ikhtiar yang perlu mendapat penekanan kembali adalah mohon didoakan. Anak saleh bukan hasil kerja dadakan. Sejak berproses awal untuk mendapatkannya, orang tuanya selalu berdoa dan mendoakannya.
Ketika masih berada di dalam rahim ibunya, dia sudah didoakan oleh orang tuanya, termasuk didoakan dalam hal jodoh. Setelah lahir, dia terus didoakan. Di samping itu, dia pun dididik oleh orang tuanya, oleh orang-orang di sekitarnya, dan oleh gurunya di sekolah. Malahan, dia dididik juga oleh orang tuanya dan guru mengajinya agar berdoa, baik untuk dirinya, untuk orang tuanya, maupun untuk teman-temannya. Dia dididik juga agar selalu ingat mohon didoakan sehingga sangat biasa mengucapkan kata-kata, “Doakan, ya,!” atau “Mohon doanya, ya!” atau “Mohon tambahan doa!” atau kalimat-kalimat yang lain.
Jadi, dia mohon didoakan tidak hanya ketika akan menjemput jodoh dan akan melaksanakan akad nikah. Dengan demikian, lisannya sangat fasih melafalkannya dan yang lebih penting lagi, doanya lahir dari hati. Oleh karena itu, sangat wajar kiranya jika Allah Subhaanahu wa Ta’aala mengabulkannya.
Di dalam kehidupan nyata cukup banyak anak yang belum akrab dengan kalimat-kalimat yang berisi permohonan didoakan. Boleh jadi, ada yang merasa bahwa dia tidak memerlukannya sehingga kalaupun ketika akan menikah mohon didoakan orang tuanya, sesungguhnya sekadar untuk melaksanakan perintah penghulu.
Memang kadang-kadang terjadi: ketika mohon didoakan orang tuanya, ada yang menangis dan orang tuanya pun demikian. Hal itu baik juga jika merupakan awal kesadaran pada kedua belah pihak tentang pentingnya didoakan dan mendoakan. Hal yang memprihatinkan adalah jika peristiwa itu merupakan yang pertama dan yang terakhir karena anak tidak lagi minta didoakan dan orang tuanya pun tidak mendoakannya lagi.
Asbabun Nuzul Ayat 26 surat an-Nur
Di dalam buku Riwayat Turunnya Ayat-Ayat Suci Al-Qur‘an karya Imam Jalaludin as-Suyuti terjemahan M. Abdul Mujieb (hlm. 406), sebelum dikemukakan penjelasan atas ayat ke-26, dijelaskan ayat ke-23, yakni
اِنَّ الَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ الْغٰفِلٰتِ الْمُؤْمِنٰتِ لُعِنُوْا فِى الدُّنْيَا وَا لْاٰ خِرَةِ ۖ وَلَهُمْ عَذَا بٌ عَظِيْمٌ
“Sesungguhnya, orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan suci yang baik hati lagi beriman (dengan tuduhan berzina), mereka dilaknat di dunia dan di akhirat, dan mereka mendapat azab yang besar.”
Adapun penjelasan atas ayat ke-23 tersebut adalah sebagai berikut.”
1. Dikemukakan oleh Ath-Thabarani yang bersumber dari Khafiah, (kata Khafiah), Saya bertanya kepada Sa‘id bin Jabair, Manakah yang lebih besar dosanya: zina atau Qadzaf? Dia menjawab, Zina! (Maksudnya, zina atau menuduh orang berzina)? Saya berkata lagi, Sesungguhnya, Allah berfirman,
اِنَّ الَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ الْغٰفِلٰتِ الْمُؤْمِنٰتِ
(yang menerangkan bahwa orang yang menuduh orang berzina itu dilaknat oleh Allah di dunia dan akhirat) dia menjawab, Ayat ini diturunkan hanya khusus mengenai peristwa ‘Aisyah saja. Di dalam sanad hadis ini terdapat Yahya Al Hammami itu dia daif.
2. Dikemukakan oleh Ath-Thabarani pula yang bersumber dari Adl-Dlahhak bin Muzahim yang berkata bahwa turunnya ayat,
اِنَّ الَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ الْغٰفِلٰتِ الْمُؤْمِنٰتِ
sampai akhir ayat, adalah khusus berkenaan dengan istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja.
3. Dikemukakan oleh Ibnu Abi Hatim dari jalan Sa‘id bin Jubair yang bersumber dari Ibni Abbas, yang berkata bahwa turunnya ayat tersebut adalah khusus berkenaan dengan ‘Aisyah saja.
4. Dikemukakan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari ‘Aisyah yang berkata, Saya dituduh dengan apa yang dituduhkan kepada saya, sedangkan saya sendiri tidak tahu, lalu baru ada yang menyampaikan adanya tuduhan itu.
Setelah penjelasan tersebut, barulah dikemukakan penjelasan sebagai berikut. Ketika Rasululllah shallallau ‘alaihi wa sallam di samping saya, turunlah wahyu kepada beliau. Kemudian, beliau membetulkan duduknya. Lalu, menyapu wajahnya dan bersabda, Wahai, ‘Aisyah bergembiralah kamu. Saya berkata, Dengan memuji Allah, bukan memuji engkau. Lalu, beliau membawa ayat,
اِنَّ الَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ الْغٰفِلٰتِ الْمُؤْمِنٰتِ
sampai
اُولٰٓئِكَ مُبَرَّءُوْنَ مِمَّا يَقُوْلُوْنَ ۗ
(ayat 26).
Setelah penjelasan tersebut, barulah dikemukakan penjelasan atas ayat ke-26 sebagai berikut.
1. Dikemukakan oleh Ath-Thabarani dengan sanad yang rijalnya terpercaya yang bersumber dari Abdirrahman bin Zaid bin Aslam, mengenai firman Allah,
اَلْخَبِيْثٰتُ لِلْخَبِيْثِيْنَ وَا لْخَبِيْثُوْنَ لِلْخَبِيْثٰتِ ۚ
sampai akhir ayat, ia berkata bahwa turunnya ayat itu berkenaan dengan ‘Aisyah ketika dituduh orang-orang munafik dengan kebohongan dan dibuat-buat. Lalu, Allah membersihkannya dari tuduhan bohong mereka itu.
2. Dikemukakan oleh Ath-Thabarani dengan dua sanad yang kedua-duanya daif yang bersumber dari Ibni Abbas yang berkata bahwa turunnya ayat,
اَلْخَبِيْثٰتُ لِلْخَبِيْثِيْنَ وَا لْخَبِيْثُوْنَ
لِلْخَبِيْثٰتِ ۚ
sampai akhir ayat berkenaan dengan orang-orang yang menuduh istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kebohongan.
3. Dikemukakan oleh Ath-Thabarani yang bersumber dari Al Hakim bin ‘Utaibah yang berkata, Ketika orang-orang ramai membicarakan perkara ‘Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seorang utusan kepada 'Aisyah untuk bertanya, Wahai ‘Aisyah, bagaimana pendapatmu tentang tuduhan orang-orang itu? ‘Aisyah menjawab, Saya tidak beralasan sedikit pun sehingga alasan (sanggahan) saya diturunkan dari langit, maka Allah menurunkan 15 ayat dari surat an-Nur (ayat ke-11 sampai ayat ke-25). Kemudian, Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa ayat-ayat tersebut hingga surat an-Nur ayat ke-26,
اَلْخَبِيْثٰتُ لِلْخَبِيْثِيْنَ وَا لْخَبِيْثُوْنَ
لِلْخَبِيْثٰتِ
sampai akhir ayat. Hadis ini dinyatakan mursal, tetapi sanadnya sahih.
Fir‘aun dan Asiyah
Fir‘aun sangat popular akan kejahatannya. Namun, istrinya, Asiyah, adalah orang baik. Jika merujuk pada ayat ke-26 surat an-Nur, menurut akal manusia, semestinya istri Fir‘aun adalah perempuan yang jahat, sedangkan suami Asiyah adalah orang baik.
Ada pasangan suami istri yang merupakan kebalikannya: Nabi Nuh beristrikan perempuan jahat. Nabi Nuh adalah laki-laki baik, sedangkan istrinya adalah perempuan jahat. Demikian juga halnya pasangan Nabi Luth dan istrinya.
Pada zaman kini pun cukup banyak contoh yang mirip dengan pasangan suami istri seperti itu. Bagaimana kita memahaminya dan bersikap?
Orang beriman wajib selalu husnuzan kepada Allah Subhanu wa Ta‘ala. Kita wajib meyakini bahwa Allah Subhaanahu wa Ta’aala bersifat, antara lain, al-Quddus yang artinya Maha Suci. Sifat-Nya yang lain adalah al-Jalil, yakni Maha Sempurna; al-Haq, artinya Maha Benar; al-Majid, artinya Maha Mulia, dan ar-Rasyid, artinya Maha Penuntun/Pemberi Petunjuk.
Dengan memahami sifat-sifat tersebut (dan juga sifat yang lain), kita yakin bahwa ada pelajaran yang wajib kita petik dari pasangan suami istri yang tidak sejalan dengan kandungan isi ayat ke-26 surat an-Nur. Pelajaran itu adalah menguji keimanan. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman di dalam Al-Qur'an surat al-Ankabut (29): 2
اَحَسِبَ النَّا سُ اَنْ يُّتْرَكُوْۤا اَنْ يَّقُوْلُوْۤا اٰمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَـنُوْنَ
"Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, "Kami telah beriman" dan mereka tidak diuji?"
Istri Fir‘aun diuji keimanannya. Pelajaran yang wajib kita petik adalah bahwa orang beriman pun diuji. Seberat apa pun ujian itu, orang yang imannya kuat, hanya takut pada Allah Subhaanahu wa Ta‘aala dan yakin bahwa Dia pasti mempunyai rencana yang Maha Baik.
Nabi Nuh dan Nabi Luth (juga nabi yang lain) diuji. Bahkan, ujian bagi mereka pasti jauh lebih berat. Dalam hubungannya dengan ujian berat, sebagaimana terdapat pada ayat ke-11 surat an-Nur, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diuji sangat berat. Istrinya menjadi bahan gunjingan orang munafik dengan tuduhan fitnah keji bahwa dia berlaku serong. Dari peristiwa tersebut, pelajaran yang wajib kita petik adalah jika istri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diuji sekejam itu, ujian yang semacam itu pun dapat menimpa pada istri laki-laki yang bukan Nabi. Jika Nabi, sebagai suami, pun diuji seperti itu, apalagi suami yang bukan Nabi.
Dengan kesadaran yang demikian, istri atau suami mempunyai kesiapan menghadapi ujian seberat apa pun dan kapan pun. Sebagai bukti kesiapannya adalah berdoa dan berikhtiar secara sungguh-sungguh. Tidak tertinggal juga mohon didoakan!
Allahu aʻlam
Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah, tinggal di Magelang Kota
Iyus Herdiyana Saputra, dosen al-Islam dan Kemuhammadiyah, Universitas Muhamadiyah Purworejo