Tiga Prinsip Hidup Menjaga Kualitas Kemanusiaan
Oleh: M. Rifqi Rosyidi, Lc., M.Ag
"Wa ja'alanī mubārakan aynamā kuntu". Dan Allah menciptakanku untuk diberkahi di tempat manapun aku berada.
Potongan ayat di atas merupakan kata kunci dari kepribadian nabi Isa yang diceritakan di surat Maryam ayat 30-34.
Seorang ahli tafsir memberikan pembacaan yang menarik untuk kita terapkan di dalam proses hidup yang kita jalani ini, "laysa al-muhim ayna takūnu, wa innamā kayfa takūnu". Yang penting bukan di mana kamu berada, tetapi bagaimana kamu bersikap di tempat mana kamu berada.
Pada prinsipnya menjadi pribadi baik yang menjaga kebaikannya itu tidak dipengaruhi oleh tempat dan jabatan tertentu, karena faktor utama yang menentukan kebaikan seseorang adalah kekuatan karakter di dalam dirinya.
Karakter Nabi Yusuf dapat dijadikan acuan untuk menguatkan pemaknaan ayat di atas. Ketika nabi Yusuf difitnah dan dipenjarakan oleh penguasa waktu itu, dua pemuda yang juga masuk penjara bersamanya mengatakan: innā narāka min al-muhsinīn (sesungguhnya kami berdua melihatmu termasuk orang baik). Dan ketika nabi Yusuf duduk di singgasana sebagai raja, saudara-saudaranya yang dahulu bersekongkol menghabisinya juga mengatakan: innā narāka min al-muhsinīn.
Pengakuan objektif ini diungkapkan sebelum mengetahui bahwa raja yang dihadapannya adalah Yusuf adiknya yang pernah disia-siakan.
Memang perlu ditegaskan berulang-ulang bahwa yang terpenting dalam hidup bukan di mana kita berada, tetapi bagaimana kita tetap menciptakan kebaikan bagi lingkungan di tempat mana kita berada.
Prinsip hidup seperti inilah yang dipegang oleh para ulama-ulama besar yang karyanya sangat mempengaruhi orientasi keagamaan umat islam sampai hari ini.
Imam Abu Hanifah, imam Syafi'i, imam Ahmad bin Hambal, ibnu Taimiyah adalah contoh beberapa figur ulama yang menghabiskan sebagian usianya di penjara. Tetapi keberadaannya di penjara tidak mengurangi produktifitasnya dalam berkarya dan berbagi kebaikan ilmu.
Dalam konteks keindonesiaan juga kita mengenal figur populer inspiratif seperti Hamka dan M. Natsir yang tetap menulis dan berkarya meskipun dengan keterbatasan geraknya di dalam penjara.
Potret kehidupan para ulama tersebut sekali lagi menguatkan pernyataan bahwa posisi dan tempat bukanlah faktor yang menentukan seseorang melakukan kebaikan.
Maka apabila ada seorang yang berargumen bisa melakukan kebaikan dan perubahan ketika sudah menjabat sebenarnya bukanlah pribadi yang baik, karena menciptakan kebaikan yang hanya terikat dengan tempat dan posisi tertentu adalah karakter orang-orang oportunis yang lebih memikirkan kepentingan individu daripada memperjuangkan kemaslahatan umat.
Pertanyaannya adalah bagaimana caranya mengembangkan kekuatan karakter diri yang kebaikannya melampaui batas ruang dan waktu?.
Secara tersurat Allah telah memberikan jawaban pada lanjutan ayatnya. Ketika kita mencermati secara utuh struktur ayat-ayat yang memaparkan kisah nabi Isa tersebut, setidaknya terbaca ada 2 hal yang bisa dibreakdown dari rangkaian ayat "wa awshānī bi al-shalāti wa al-zakāti ma dumtu hayyan".
Shalat merupakan simbol penting ketersambungan hubungan vertikal manusia dengan Penciptanya. Meskipun bunyi wasiatnya hanya shalat tetapi sebenarnya ini mengandung perintah untuk memaksimalkan segala bentuk ibadah.
Dan shalat secara khusus disebutkan di ayat ini karena shalat merupakan satu-satunya ibadah yang tidak boleh ditinggalkan dalam kondisi apapun, yang juga sekaligus menjadi penentu kualitas penghambaan manusia kepada Tuhannya. Oleh karena itu secara khusus Allah menyatakan bahwa pelaksanaan shalat yang baik itu mampu mengendalikan munculnya perilaku keji dan munkar. (Q.S. al-Ankabut [29]: 45).
Sedangkan zakat merupakan simbol ketersambungan hubungan manusia secara horizontal dengan sesamanya. Ini juga sebenarnya mengandung perintah untuk menjaga hubungan baik sesama manusia dengan segala bentuk kebaikan baik verbal maupun non verbal.
Dan secara khusus zakat disebutkan karena kedudukanya sebagai ibadah wajib berdimensi sosial yang dengan tegas dinyatakan berperan mengendalikan gejolak jiwa dan membersihkan hati. (Q.S. al-Tawbah [9]: 103).
Dengan demikian menyeimbangkan antara hablun min Allāh dan hablun min al-nās menjadi faktor utama terbentuknya kekuatan karakter seseorang dalam menjaga kualitas kemanusiaannya untuk menebar kebaikan universal yang melampaui. (Q.S. Ali Imran [3]: 112)
Spirit muatan kisah nabi Isa di atas ditegaskan rasulullah s.a.w dalam tiga pesan singkatnya: ittaqillāha haytsu mā kunta (tunjukkan sikap taqwa kepada Allah di manapun kamu berada), wa atbi'is sayyiata al-hasanata tamhihā (tebarkanlah kebaikan dengan maksimal supaya bisa menghapus pengaruh kejahatanmu), wa khāliq al-nāsa bi khuluqin hasanin (bersikaplah yang sopan dalam rangka menjaga hubungan baikmu dengan sesama).
Tiga pesan profetik ini menjadi bukti kesatuan visi ajaran para nabi dan rasul. Pertama: Ketika berhubungan dengan Allah, maka prinsip hubungannya adalah totalitas dalam kepatuhan dan penghambaan. Kedua: Ketika berinteraksi dengan dirinya sendiri, maka prinsip hidup yang dikembangkan adalah totalitas dalam menebar kebaikan. Ketiga: ketika berinteraksi sosial dengan sesama manusia, maka prinsip hubungan yang harus dikembangkan adalah kerendahan hati dan saling menghargai.
M. Rifqi Rosyidi, Lc., M.Ag, Dewan Pakar Sahabat Misykat Indonesia