Imajinasi Memajukan Kesejahteraan Bangsa
Oleh: Hendar Riyadi, Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Bandung
Tema “Memajukan Kesejahteraan Bangsa” yang diangkat dalam Milad Muhammadiyah ke-113 pada 18 November 2025 hari ini adalah tema yang sangat krusial. Khususnya dalam konteks keindonesiaan yang masih berjuang dalam membagi rata kue pembangunannya.
Kesejahteraan telah menjadi imajinasi seluruh warga bangsa yang kerapkali dikhianati oleh segelintir kelompok elite, baik yang mengatasnamakan relawan, corporate, atau negara itu sendiri. Ada dua hal yang menyebabkan warga bangsa ini masih jauh dari hidup sejahtera. Pertama, ketidaksucian batin dan keserakahan dari kaum elitenya. Kedua, ketidakadilan dalam distribusi kekayaan.
Dalam konteks milad ke-113 ini, Muhammadiyah tampaknya memiliki tanggung jawab besar dalam mengingatkan para elite bangsa negeri ini untuk kembali merawat kesucian batinnya, menghentikan keserakahannya, dan mendistribusikan kekayaan serta kue pembangunan secara merata dan berkeadilan.
Problem Kebangsaan
Peradaban bangsa kita masih jauh dari imajinasi visi abadinya dalam hidup bernegara, yaitu menjadi negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Masih jauh juga dari imajinasi misinya dalam melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Bila membaca visi Indonesia Emas 2045 sebagaimana yang terformulasikan dalam UU RI Nomor 59 Tahun 2024, bangsa kita sesungguhnya mencita-citakan menjadi NKRI yang bersatu, berdaulat, maju, dan berkelanjutan. Bersatu artinya keragaman budaya, bahasa, dan adat istiadat yang dimiliki bangsa Indonesia bersatu dan dipersatukan oleh identitas dan Pancasila sebagai dasar negara yang mencerminkan semangat bhineka tunggal ika yang kokoh.
Berdaulat artinya memiliki kemandirian dan kewenangan penuh untuk mengatur sendiri seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di wilayahnya. Maju artinya menjadi negara modern, tangguh, inovatif, dan berkeadilan. Sedangkan berkelanjutan artinya bangsa yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi seimbang dengan pertumbuhan sosial dan harmoni dengan alam. Keberlanjutan dalam sumber daya alam, dan kualitas lingkungan hidup, serta tata kelola yang baik.
Imajinasi visi Indonesia Emas 2045 di atas, akan tampak dalam 8 elemen penting transformasinya, yaitu dalam transformasi sosial, ekonomi, tata kelola, supremesi hukum, stabilitas dan kepemimpinan, ketahanan sosial budaya dan ekologi, pembangunan kewilayahan yang merata dan berkeadilan, sarana prasarana yang berkualitas dan ramah lingkungan, serta transformasinya dalam kesinambungan pembangunan. Ukurannya adalah capaian pendapatan perkapita yang setara negara maju, berkurangnya tingkat kemiskinan dan ketimpangan sosial, kepemimpinan yang berpengaruh di dunia internasional, daya saing sumber daya manusia yang meningkat dan intensitas emisi gas rumah kaca menuju emisi nol bersih (net zero emission).
Dalam perspektif maqashid syariah, visi Indonesia Emas 2045 di atas memiliki kesejalanan dengan prinsip tujuan pokok pensyariatan agama (Jasser Auda, 2007). Pertama, visi Indonesia Emas 2045 seperti dirancang dalam UU RI No. 59 Tahun 2024 berpotensi pro terhadap perlindungan agama (hifdz al-dîn) dengan memastikan kebebasan beragama, mencegah intoleransi dan melindungi akhlak publik. Kedua, berpotensi sejalan dengan prinsip perlindungan jiwa (hifdz al-nafs) dalam bentuk perlindungan kesehatan masyarakat dan mitigasi bencana sebagai bagian dari kebijakan publik.
Ketiga, berpotensi melindungi akal (hifdz al-‘aql) dengan fokus pada peningkatan kualitas pendidikan dan intelektualitas masyarakat, serta mengatasi dampak hoaks atau disinformasi. Keempat, berpotensi pro terhadap perlindungan keturunan (hifdz al-nasl) dalam bentuk dukungan terhadap kebijakan terkait pembangunan manusia, seperti upaya mengurangi stunting, serta dukungan terhadap program kesehatan dan keberlanjutan keluarga.
Kelima, berpotensi pro terhadap perlindungan harta atau properti (hifdz al-mal) dalam bentuk kebijakan ekonomi yang berkeadilan untuk memastikan keseimbangan ekonomi dan penegakan hukum terkait distribusi kekayaan, serta kesejahteraan masyarakat secara luas. Terakhir keenam, visi Indonesia Emas 2045 berpotensi pro pada perlindungan lingkungan (hifdz al-bi`ah). Prinsip maqashid syariah ini dapat dilihat dari visi keberlanjutannya, yaitu kebijakan yang berkomitmen terhadap pengurangan emisi dan perlindungan ekosistem lingkungan.
Namun demikian, dalam realitasnya, peradaban bangsa kita masih jauh dari imajinasi visi Indonesia Emas 2045 di atas. Menurut Buya Ahmad Syafii Ma’arif, peradaban bangsa kita tengah mengarah kepada kerusakan yang nyaris sempurna (Kompas, 10/11/2021). Hingga jelang satu abadnya, bangsa kita masih belum membaik. Malah kerusakan lingkungan sudah semakin parah. Kehidupan sosial ekonomi masih senjang. Korupsi masih masif.
Ketimpangan pembangunan Jawa versus luar Jawa, mafia migas, pencurian ikan, pembalakan kayu yang masih terjadi dan bahkan semakin meluas. Begitu juga dengan sistem pendidikannya yang tidak melahirkan manusia-manusia kreatif-merdeka, pencipta lapangan kerja. Tetapi, sebaliknya lebih banyak mencetak para penganggur yang minta dibelaskasihani (Ahmad Syafi’i Ma’arif, 2022: 284).
Belajar dari Sejarah
Bila belajar dari sejaran peradaban Islam awal, kita menyimak bagaimana Al-Quran pada surat-surat awal yang diturunkan di Makkah banyak berbicara tentang peristiwa-peristiwa besar, seperti kehancuran umat terdahulu, yaitu kaum ‘Ad, Tsamud, dan Fir'aun. Menurut Ibnu Katsir, ayat-ayat ini merupakan peringatan kepada kaum Quraisy yang menentang dakwah Rasulullah. Kaum Quraisy pada masa itu menguasai Makkah dan memiliki kekayaan serta kedudukan tinggi. Mereka cenderung melupakan Allah dan memandang rendah orang-orang lemah, serupa dengan sikap kaum-kaum sebelumnya, ‘Ad, Tsamud, dan Fir'aun.
Secara sosiologis, perilaku Kaum Quraisy serta Kaum ‘Ad, Tsamud, dan Fir'aun dapat dijelaskan dalam dua relasi sosial politik dan etikanya. Pertama, relasi masyarakat Quraisy dan kesombongan kekayaannya. Kedua, relasi ketimpangan sosial. Al-Quran surat-surat awal, kerapkali mengkritik perilaku sosial yang sewenang-wenang terhadap anak yatim, tidak melindungi orang miskin, dan kecintaan yang berlebihan pada harta (ambisius, rakus, tamak, serakah, hingga tidak segan melakukan bisnis yang munkar).
Buya Hamka menggambarkan kecenderungan ini sebagai kesukaan sampai keji. Halal dan haram tidak peduli. Menipu dan mengecoh tak dihitung. Menjual negeri dan bangsa pun tak peduli asal dapat duit. Menjual rahasia negara tidak keberatan, asal uang masuk. Malah membuka perusahaan yang penuh dengan dosa seperti pelacuran perempuan, membuka rumah perjudian, menjual barang-barang yang merusak budi pekerti manusia, dan apa saja, tidak keberatan, asal hartanya bertambah. Ini menunjukkan bahwa masyarakat Quraisy saat itu cenderung individualis dan tidak memberikan perhatian pada kesejahteraan sosial (Hamka, 2022: 204). Menurut Ali Syariati dalam bukunya Hajj (1978), ayat-ayat tersebut mengingatkan manusia untuk menjadikan kehidupan sosialnya lebih adil dan tidak terjebak dalam hedonisme.
Dalam kaitannya dengan perilaku sosial Kaum Quraisy di atas, Al-Quran menyebut tiga budaya umat terdahulu yang menjadi pelajaran penting bagi peradaban manusia, khususnya dalam konteks peradaban bangsa kita. Pertama, Kaum ‘Ad, bangsa penguasa di wilayah Arabia Selatan. Nama mereka sering dikaitkan dengan kota legendaris Iram (nama kakek dari suku ‘Ad yang pertama) yang memiliki tiang-tiang tinggi atau bangunan megah (dzatil 'imad). Dikenal sebagai masyarakat yang unggul secara teknologi arsitektur. Mereka membangun istana megah di pegunungan, tetapi mereka sombong dan menolak risalah Nabi Hud.
Kedua, Kaum Tsamud, penghuni Al-Hijr dengan keahlian batu. Kaum ini terkenal dengan kemampuan mereka memahat bukit batu untuk dijadikan rumah, istana, dan tempat ibadah. Mereka membangun rumah-rumah di bukit batu yang menunjukkan keahlian mereka dalam teknologi batu. Kaum Tsamud dinilai sebagai sebagai masyarakat pertama yang membangun perumahan di bawah tanah atau di dalam celah gunung-gunung dan berhasil memahat batu dan marmar. Namun, mereka juga menentang Nabi Shalih dan dihancurkan oleh Allah.
Ketiga, Fir'aun, kekuasaan absolut di Mesir Kuno. Fir'aun dan bangsanya merupakan simbol dari kekuasaan absolut yang represif. Meski memiliki budaya yang maju dalam bidang pertanian dan administrasi pemerintahan, mereka dihukum karena kezaliman mereka terhadap Bani Israil (Quraish Shihab, 2004: 164, 247, 249).
Kesucian dan Keadilan
Berdasarkan refleksi atas visi Indonesia Emas 2045 dan pembacaan sejarah peradaban awal di atas, ada dua jalan dalam mewujudkan kesejahteraan bangsa seperti yang dicita-citakan dan diimajinasikan oleh Muhammadiyah dalam tema Milad ke-113-nya. Pertama, kaum elite bangsa kita harus belajar dari sejarah bahwa ketidaksucian batin dalam bentuk kelalaian pada spiritualitas kenabian, kesombongan dan keserakahan adalah sifat destruktif yang merusak keseimbangan emosional dan hubungan sosial.
Menurut Wahbah al-Zuhaily (2009: 607), watak tersebut sangat berpotensi berprilaku sewenang-wenang, zalim dan berprilaku diktator. Mereka sesungguhnya tertipu dengan kekuatan yang dimilikinya sendiri, serta banyak melakukan kerusakan dalam bentuk kekufuran, kemunkaran, dan ketidakadilan terhadap warga bangsanya. Dalam konteks ini, imajinasi memajukan kesejahteraan bangsa, mensyaratkan suatu gerakan penyadaran untuk mendorong kaum elit bangsa ini, kembali pada spiritualitas kenabian dengan merawat kesucian batinnya dari watak kesombongan dan keserakahannya.
Seperti kata Muhammad Abduh (1999: 169-170) mereka harus diingatkan untuk lebih mencurahkan perhatiannya terhadap anak yatim, melindungi masyarakat miskin, dan lebih berpihak pada kaum dhuafa. Mereka juga harus disadarkan untuk tidak rakus, tamak, dan serakah dalam mengelola perusahaan-perusahaan dan properti yang dimilikinya, serta tidak melakukan praktek bisnis yang munkar.
Kedua, sejarah mengajarkan bahwa peradaban bangsa harus dibangun di atas fondasi moralitas dan keadilan. Oleh karena itu, imajinasi memajukan kesejahteraan bangsa mensyaratkan terwujudnya keadilan distribusi atas hasil kue pembangunan secara merata. Tidak boleh hanya terdistribusi dengan konsentrasi pada kalangan elit, kaum kaya atau kelompok tertentu saja (kayla dulatan bainal agniya` minkum).
Dalam konteks ini, mekanisme amar makruf nahi mungkar atas dasar prinsip kebenaran dan cinta kasih harus digerakkan bersama oleh seluruh elemen bangsa. Tujuannya adalah agara terjadi transformasi sosial ekonomi dan kulturalnya dalam perdaban bangsa sehingga imajinasi bangsa yang merdeka, berdaulat, maju dan sejahtera tidak sekedar retorika. Wallahu a’lam.


