Iman Kepada Allah

Publish

17 September 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
42
Doc.Istimewa

Doc.Istimewa

Oleh: Suko Wahyudi

Iman kepada Allah merupakan rukun iman yang pertama. Iman kepada Allah adalah landasan bagi rukun iman yang lain. Karena iman kepada rukun iman yang lain tida akan sah kecuali setelah beriman kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, dalam Al-Qur’an dan Sunnah, penyebutan rukun iman kepada Allah didahulukan atas rukun iman yang lain.

Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, melainkan kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari Akhir, malaikat-malaikat, kitab suci, dan nabi-nabi; memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir, peminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya; melaksanakan salat; menunaikan zakat; menepati janji apabila berjanji; sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan.

Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Al-Baqarah [2]: 177)

Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaih wa sallam: Beritahukanlah kepadaku tentang Iman?“ Beliau bersabda, “Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir, dan kamu beriman kepada qadar yang baik maupun yang buruk.” (HR. Muslim)

Iman kepada Allah artinya adalah meyakini dengan pasti bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala adalah Rabb dan pemilik segala sesuatu, Dialah satu-satunya pencipta, pengatur segala sesuatu, dan Dialah satu-satunya yang berhak disembah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Semua sesembahan selain Dia adalah sesembahan yang batil, dan beribadah kepada selain-Nya adalah kebatilan.

(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. (Qs Al Hajj [22]: 62)

Wujud Allah 

Wujud Allah Subhanahu wa ta’ala adalah sesuat yang sangat jelas. Hal ini dapat dibuktikan dengan dalil, antara lain:

1 . Dalil Fithrah
Allah Subhanahu wa ta’ala menciptakan manusia dengan dibekali fithrah meyakini adanya Allah Subhanahu wa ta’ala. 
Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam sesuai) fitrah (dari) Allah yang telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah (tersebut). Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Qs Ar-Rum [30]: 30) 

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fithrah, maka ibu bapaknyalah yang berperan menjadikannya Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi. (HR. Bukhari-Muslim)

Fithrah dalam hadits di atas bisa dipahami sebagai Islam, karena Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam hanya menyebutkan kedua orangtuanya bisa berperan meyahudikan, menasranikan, atau memajusikan, tanpa menyebut mengislamkan. Maka dari hadits di atas bisa dipahami bahwa setiap anak dilahirkan sebagai seorang muslim.

Namun demikian fithrah manusia tersebut barulah merupakan potensi dasar yang harus senantiasa dipelihara dan dikembangkan. Apabila fithrah tersebut tertutup oleh beberapa faktor dari luar, manusia akan bertindak menentang fithrahnya sendiri. Tetapi apabila menghadapi suatu kejadian yang luar biasa, misalnya musibah dan kesulitan dan dia sudah putus asa menghadapinya, barulah secara spontan fithrah tersebut akan kembali muncul, sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa ta’ala,

Dan apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang yang tidak setia lagi ingkar. (Qs Luqman [31]: 32)

Apabila manusia ditimpa kesusahan, dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri. 

Namun, setelah Kami hilangkan kesusahan itu darinya, dia kembali (ke jalan yang sesat) seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) kesusahan yang telah menimpanya. Demikianlah, dijadikan terasa indah bagi orang-orang yang melampaui batas itu apa yang selalu mereka kerjakan. (Qs Yunus [10]: 12)

Dengan dalil fithrah ini, bisa disimpulkan bahwa manusia tidak ada yang tidak bertuhan atau meyakini adanya Allah Subhanahu wa ta’ala. Yang ada hanyalah mereka yang mempertuhankan sesuatu yang bukan Tuhan yang sebenaranya yaitu Allah Subhanahu wa ta’ala.

2. Dalil Akal
Pada dasarnya keyakinan akan keberadaan Allah Subhanahu wa ta’ala merupakan hal yang bersifat naluri atau fitrah. Seseorang tidak perlu berfikir atau belajar untuk menunjukan keberadaan Allah Subhanahu wa ta’ala. Karena pengetahuan tersebut sudah ada sejak dia diciptakan. Namun demikian, fithrah seringkali mengalami keraguan dan kebingungan ketika diiringi dengan keangkuhan dan kesombongan. Sehingga perlu untuk menunjukan dalil atau bukti lain kepada mereka akan keberadaan Allah Subhanahu wa ta’ala.

Salah satunya adalah dengan akal. Oleh karenanya, Allah menurunkan wahyu kepada para Nabi dan Rasul-Nya, untuk memandu manusia agar mereka menggunakan akalnya untuk memahami ayat-ayat Allah, menadaburi tanda-tanda kebesaran-Nya, serta menafakuri berbagai macam ciptaan-Nya.

Dialah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu.

"(Kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya)." (Qs Al-Mukmin [4] 67)

Dialah yang telah menurunkan air (hujan) dari langit untuk kamu. Sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuhan yang dengannya kamu menggembalakan ternakmu. (An Nahl [16]: 10)

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa barang yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah matinya dan Dia sebarkan padanya segala jenis hewan, dan pengaturan angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. (Al-Baqarah [2]: 164)

3. Dalil Al-Hissyi (Dalil Indrawi)
Indera yang kita miliki juga bisa menunjukkan tentang keberadaan Allah Subhanahu wa ta’ala. Kita dapat mendengar dan menyaksikan fenomena terkabulnya doa orang-orang yang berdoa serta pertolongan-Nya yang diberikan kepada orang-orang yang mendapatkan musibah. Hal ini menunjukkan secara pasti tentang wujud Allah Subhanahu wa ta’ala.

Allah berfirman:
Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu ketika dia berdoa dan Kami memperkenankan doanya, lalu Kami selamatkan dia beserta keluarganya dari bencana yang besar. (Al-Anbiyaa [21]: 76)
(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu… (Al-Anfaal [8]: 9)

Demikian pula ayat-ayat (tanda-tanda) para nabi yang dinamakan mukjizat yang disaksikan oleh manusia atau yang mereka dengar merupakan bukti yang nyata akan adanya Dzat yang mengutus mereka, yaitu Allah Subhanahu wa ta’ala. Sebab, kemukjizatan-kemukjizatan itu di luar jangkauan manusia pada umumnya, yang memang sengaja diberlakukan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala untuk mengokohkan dan memenangkan para rasul-Nya.

Ketika Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi Musa untuk memukul laut dengan tongkatnya, Musa memukulkannya, lalu terbelahlah laut itu menjadi dua belas jalur yang kering, sementara air di antara jalur-jalur itu menjadi seperti gunung-gunung yang bergulung. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, Lalu Kami wahyukan kepada Musa: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.” Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar. (Qs Asy-Syu’ara [42]: 63)

Demikian juga mukjizat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika kaum Quraisy meminta tanda atau mukjizat. Beliau mengisyaratkan pada bulan, lalu terbelahlah bulan itu menjadi dua, dan orang-orang dapat menyaksikannya.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman tentang hal ini, Telah dekat (datangnya) saat (Kiamat) dan telah terbelah pula bulan. Dan jika mereka (orang-orang musyrik) melihat suatu tanda (mu’jizat), mereka berpaling dan berkata: “(Ini adalah) sihir yang terus-menerus.” (Al-Qomar [54]: 1-2)

Tanda-tanda yang diberikan Allah Subhanahu wa ta’ala, yang dapat dirasakan oleh indera tersebut adalah bukti pasti wujud-Nya.

4. Dalil Syariat
Bukti syara’ tentang wujud Allah Subhanahu wa ta’ala bahwa seluruh kitab samawi seluruhnya berbicara tentang itu. Seluruh hukum yang mengandung kemaslahatan manusia yang dibawa kitab-kitab tersebut merupakan dalil bahwa kitab-kitab itu datang dari Rabb yang Maha Bijaksana dan Mengetahui segala kemaslahatan makhluknya. Berita-berita alam semesta yang dapat disaksikan oleh realitas akan kebenarannya yang didatangkan kitab-kitab itu juga merupakan dalil atau bukti bahwa kitab-kitab itu datang dari Rabb yang Maha Kuasa untuk menciptakan apa yang diberitakan itu.

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat  pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. An-Nisa’ [4]: 82)

Demikian juga adanya para Rasul dan agama yang bersesuaian dengan kemaslahatan umat manusia menunjukkan adanya Allah, karena tidak mungkin ada agama dan Rasul kecuali ada yang mengutusnya. Akan tetapi agama-agama yang ada selain Islam telah mengalami penyimpangan dan perubahan sehingga mereka menyimpang dari jalan yang lurus.

Di Manakah Allah?

Topik mengenai tempat keberadaan Dzat Allah Subhanahu wa ta’ala merupakan topik hangat yang menjadi perdebatan di kalangan para ulama sejak dahulu sampai saat ini. Di sisi lain tidak sedikit kita menjumpai sebagian di antara kaum muslimin ketika ditanya dengan sebuah pertanyaan yang sangat muda.

“Di manakah Allah?”, mereka masih menjawab “Allah ada di mana-mana”, "Allah ada di hatiku”, atau “Allah ada di pikiran orang yang sedang mengingat-Nya”.
Ungkapan-ungkapan di atas sekilas begitu memukau dan menarik, namun bila dilihat dari sudut pandang Al-Quran tidaklah benar.

Ungkapan bahwa Tuhan itu ada di dalam diri kita, sebenarnya datang dari sebuah kepercayaan yang menyimpang. Para ulama mengatakan bahwa pemikiran itu datang dari kaum wihdatul wujud (kesatuan wujud Tuhan dengan manusia). Paham ini telah dikafirkan oleh para ulama. 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, bahwa mereka (orang-orang yang berkeyakinan dengan aqidah wihdatul wujud) telah melakukan ilhad (penyimpangan) dalam tiga prinsip keimanan (iman kepada Allah, Rasul-Nya dan hari Akhirat).

Menurut Syaikhul Islam, dalam masalah iman kepada Allah, mereka menjadikan wujud makhluk merupakan wujud Pencipta itu sendiri. Sebuah ta’thil (penghapusan sifat-sifat Allah) yang sangat keterlaluan.

Ungkapan bahwa Tuhan ada di mana-mana, juga menyimpang dan merupakan pendapat dari kaum Jahmiyyah (paham yang menghilangkan sifat-sifat Allah) dan Mu'tazilah yang muncul tahun 126 H dimana pemikiran mereka  dipengaruhi oleh pemikiran filsafat Yunani karena pada kala itu buku-buku Yunani mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Arab sehingga para ulama muslim mulai ada yang mempelajari pemikiran-pemikiran para filsuf Yunani dalam masalah teologi (ketuhanan) yang notabene merujuk pada akal semata dalam memahami dzat ketuhanan.

Kemudian yang menjadi pertanyaan dimanakah Allah?
Untuk menjawab pertanyaan itu, mudah saja. Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah menjelaskan keberadaan diri-Nya. Melalui Surat Thaha ayat 5 Allah mengabarkan keberadaan-Nya. (yaitu) Yang Maha Pengasih, yang bersemayam di atas  Arsy. Demikian juga firman-Nya dalam surat Al-A’raf ayat 54: Sungguh, Tuhanmu (adalah) Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arsy.

 Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat. (Dia ciptakan) matahari, bulan dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah! Segala penciptaan dan urusan menjadi hak-Nya. Mahasuci Allah, Tuhan seluruh alam.

‘Arsy secara bahasa artinya singgasana. Dalam ayat-ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah beristiwa’ atau bersemayam di atas ‘Arsy, dan kita wajib beriman kepada-Nya dengan tidak perlu bertanya-tanya bagaimana dan dimana.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Jika kalian meminta, mintalah Al-Firdaus, karena dia adalah tengah-tengah syurga dan yang paling tinggi dan diatasnya adalah Arsy Allah, dan darinya terpancar sungai-sungai surga. (HR. Bukhori).

Wallahu A’lam.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Tanggalnya Jilbab dan Tumbangnya Pohon Beringin Oleh: Immawan Wahyudi, Dosen Fakultas Hukum UAD, ma....

Suara Muhammadiyah

15 August 2024

Wawasan

Oleh: Drh. H. Baskoro Tri Caroko National Poultry Technical Consultant. LPCRPM PP Muhammadiyah Bida....

Suara Muhammadiyah

13 December 2023

Wawasan

Refleksi 116 Tahun Kebangkitan Nasional Oleh: Rumini Zulfikar, Penasehat PRM Troketon "Masa Depan ....

Suara Muhammadiyah

20 May 2024

Wawasan

Taurat dan Injil Dalam Al-Qur`an Oleh: Donny Syofyan: Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andala....

Suara Muhammadiyah

19 August 2024

Wawasan

Oleh: Ns. Andri Praja Satria, M.Sc, M.Biomed (Dosen di Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Muhamm....

Suara Muhammadiyah

30 January 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah