Ramadhan, Bulan Kesantunan Berbahasa
Oleh: Prof. Dr. Achmad Hilal Madjdi, M.Pd. Ketua PDM Kudus 2015-2022, Wakil Ketua PDM Kudus 2022-2027, Wakil Rektor IV Universitas Muria Kudus.
Sejak saya mengenal dan menjalani ibadah di bulan Ramadhan, hampir semua narasi yang membahas bulan Ramadhan menyebutnya sebagai bulan Madrasah kehidupan. Artinya, di bulan inilah manusia beriman yang menjalankan ibadah puasa disebut sedang menggladi diri agar menjadi suci kembali. Puasa itu pula yang selalu disebut mampu mengintervensi pola pikir, afeksi dan perbuatan individu yang menjalaninya.
Kegiatan berlapar dahaga yang dilandasi keimanan dan keihlasan ini pula yang disebut akan memuliakan manusia karena akan diampuni segala dosanya. Semuanya serba menguntungkan dalam kalkulasi dunia dan akhirat.
Ketika pembahasan Ramadhan dalam kerangka akhirat, muaranya sampai pada pemahaman bahwa Allah sendiri yang akan memberikan balasan kepada individu yang melaksanakan ibadah puasa. Jika dikaitkan dengan keuntungan dunia, maka diskusi -diskusi yang mengemuka seputar kesehatan, pendidikan, perekonomian, lingkungan, hubungan antar sesama dan bahkan sampai tentang kematian.
Maka jelaslah munculnya terminologi Ramadhan sebagai Madrasah kehidupan adalah berada pada bingkai dunia. Artinya di bulan Ramadhan terbuka peluang sangat besar untuk melaksanakan pendidikan dalam rangka meningkatkan martabat kehidupan manusia.
Ramadhan, Bahasa dan Martabat Manusia
Para sesepuh kita memiliki piranti yang sangat edukatif dalam membangun komunikasi dan interaksi harmonis antar anak manusia. Ungkapan dalam bahasa Jawa "Ajining diri saka lathi" merupakan "framework " yang mengikat secara adab dan kuktural. Ia mengajarkan sebuah kehormatan/harga diri/ martabat kemanusiaan dimana lathi (lesan) kita sendiri merupakan "key point" atas martabat kemanusiaan.
Ungkapan "Ajining diri saka lathi" menisbikan pangkat, jabatan, kedudukan, harta benda dan segala gelimang kehidupan. Semua tidak akan berguna dan berdampak positif kepada diri anak manusia kecuali ia bisa mengelola lesannya (lathi).
Senada dengan itu, Alqur'an berpesan kepada semua manusia agar selalu berbicara baik, atau jika tidak bisa lebih baik diam. Sementara itu, bulan Ramadhan didesain sebagai bulan dimana perbuatan kotor tidak diterima, pikiran negatif ditolak dan perkataan tidak baik membuahkan dosa berlipat.
Maka di bulan Ramadhan manusia beriman tidak hanya berlapar dahaga, tapi juga berbaik sangka kepada Allah dan sesama manusia, berperilaku baik dan berkata-kata baik serta tidak menyakiti sesama. Kata-kata jorok dan tidak sopan dihindarkan. Tidak pula ada umpatan dan ekspresi amarah yang diperdengarkan.
Tidur, dalam tradisi puasa Ramadhan kemudian dipersepsi sebagai bagian dari ibadah puasa. Tidurnya orang berpuasa adalah berpahala. Ini tersirat suatu edukasi, bahwa dari pada melakukan perbuatan dan perkataan tidak baik, lebih utama tidur supaya tidak ada resiko dosa.
Berbagai upaya memang kemudian ditempuh untuk memuliakan bulan Ramadhan dan menjadikan orang yang menjalankan ibadah Ramadhan mulia. Tidur merupakan aktivitas manusia dimana kegiatan fisik terhenti, begitu juga kegiatan lesan.
Jadi bolehlah ditambahkan, bahwa bulan Ramadhan adalah juga sebagai bulan kesantunan berbahasa. Bulan dimana manusia berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama dalam bingkai peradaban yang sangat humanis dan bermartabat.