Umar bin Khattab dan Ekspansionisme (Bagian ke-1)

Publish

24 July 2023

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
2604

Oleh: Donny Syofyan 

Sebelum Abu Bakar wafat, ia menominasikan penasihat militernya, Umar bin Khattab, sebagai khalifah berikut yang menggantikannya. Umat dan perwakilan kaum Muslimin bingung sebab kedua-duanya berbeda. Abu Bakar adalah sosok ala orang tua yang arif. ia berpakaian dan hidup sederhana. Ia tidak menumpuk kekayaan dan selalu membuat keputusan bersama-sama dengan sahabat lain dan perwakilan umat. Sebagai khalifah, Abu Bakar hanya menerima gaji yang amat kecil sehingga ia tetap berdagang agar tetap bertahan. Terkadang ia memerah susu domba tetangganya untuk mendapatkan uang ekstra. Atas kesederhanaan dan kemanusiaannya ini, ia sangat dihormati.

Sebaliknya, Umar adalah sosok dengan karakter yang berseberangan. Sebelum memeluk Islam, Umar adalah pemabuk dan suka bertengkar. Ia dikenal temperamental dan berperawakan lebih tinggi daripada rata-rata orang waktu itu. Karenanya para sahabat tak yakin bahwa Umar adalah sosok yang tepat untuk menduduki kursi kekhalifahan. Di tengah perdebatan yang hangat, Ali tampil ke depan dan memberikan endorsement kepada Umar. Ini menyudahi adu argumentasi di kalangan sahabat dan Umar dinyatakan sebagai khalifah.

Umar memerintah selama 10 tahun. Selama pemerintahannya, beliau menaklukkan Persia, Mesopotamia, Levant dan Mesir. Umar mewarnai peradaban Islam dengan sesuatu yang unik. Umar adalah seorang teolog dengan pengaruh seperti St Paul. Ia juga seorang negarawan dan filsuf layaknya Lorenzo de' Medici. Tapi Umar juga seorang reformis sosial seperti Karl Marx dan pemikir militer semisal Napoleon Bonaparte. Umar adalah sosok yang plural. Tapi yang diketahui banyak orang bahwa Umar hanyalah khalifah ke-2.

Pada masa-masa akhir Perang Riddah, pasukan Bizantium menggiring pasukannya ke daerah perbatasan kekhalifahan Islam. Sementara kekaisaran Sasaniyah (Persia) berupaya untuk memanaskan api pemberontakan di daerah-daerah yang menjadi proxi-nya yang kini sudah bagian dari kekhalifahan Islam. Pada masa kekhalifahan sebelumnya, Abu Bakar percaya bahwa invasi Bizantium atau Sasaniyah sudah dekat. Untuk itu, ia mengutus jenderal terbaiknya Khalid bin Walid untuk memukul mundur pasukan Sasaniyah di Mesopotamia dan Bizantium di Syria. Penaklukan Persia memang sudah diawali di era khalifah Abu Bakar. Meskipun jumlahnya pasukannya jauh di bawah, tapi pasukan Muslim di bawah komando Khalid bin Walid berhasil dalam dua pertempuran tersebut. Namun Abu Bakar meninggal di saat pertempuran dengan Bizantium dan Sasaniyah masih berlangsung.

Penerusnya, khalifah Umar bin Khattab, membuat sejumlah reformasi dan melanjutkan kampanye militer. Pada bulan September 634, Umar menerima kabar dari Khalid bin Walid bahwa pengepungan kota Damaskus yang diduduki oleh Bizantium telah berakhir. Pasukan Muslim secara khusus dan kekhalifahan secara umum akhirnya menang. Pada tahun-tahun berikutnya, pasukan Bizantium memilih bertahan sedangkan pasukan Muslim bergerak menyerang. Tak jauh berbeda dengan pasukan Sasaniyah yang defensif dan kekuatan tentara Muslim yang ofensif.

Tatkala pasukan Bizantium menarik pasukannya, tentara Sasaniyah berupaya terus merebut kembali wilayahnya di Mesopotamia. Umar berargumen bahwa satu-satunya cara agar Sasaniyah menerima perdamaian adalah dengan kekalahan telak di sisi Sasaniyah. Namun ini membutuhkan serangan militer besar-besaran atau skala penuh. Penaklukan Mesopotamia dan Syria bisa dijustifikasi sebagai serangan pendahuluan (preemptive strike) atau respons terhadap provokasi. Namun menginvasi daratan Persia—sebuah daerah asing dengan agama dan adat istiadat yang sama asingnya—tidak ditemukan justifikasinya dalam Al-Qur’an. Karena penyerbuan ini dianggap tidak Islamis (karena tak ada justifikasinya dalam kitab suci) maka menjaga moral pasukan Muslim menjadi persoalan yang besar.

Umar kemudian mengemukakan gagasannya kenapa menginvasi wilayah asing sah dalam Islam. Gagasannya ini sebetulnya juga terinspirasi dari apa yang telah dilakukan oleh pendahulunya, khalifah Abu Bakar dalam perang Riddah. Argumennya bahwa karena hanya ada satu Tuhan dan Islam adalah perwujudan hukum-hukum Allah di muka bumi, maka hanya satu ‘ummah’ yang bisa eksis. Dengan kata lain, satu ‘ummah’ tegak di bawah satu hukum Tuhan yang Esa. Lalu karena ‘ummah’ ini merepresentasikan Islam dan hidup dengan firman Allah maka ‘ummah’ adalah sesuatu yang bagus dan damai. Segala yang berada di luar ‘ummah’ dianggap tercela dan kacau. Artinya, apa pun di luar ‘ummah’ adalah imoral.

Sungguhpun gagasan ini tidak tertulis dalam A-Qur’an, tapi teolog, hakim dan filsuf Muslim generasi awal menggambarkan dua ranah di dunia ini. Ada yang disebut sebagai Dârul Islâm: daerah yang dipenuhi ketundukan kepada Tuhan dan daerah perdamaian. Ini adalah daerah Muslim. Yang lainnya dinamakan Dârul Harb: daerah peperangan, dianggap sebagai musuh umat manusia dan kaum Muslimin menganggap siapa pun di kawasan ini sebagai orang yang ingkar kepada Allah sehingga pantas disambut dengan jihad.

Perlu dipahami bahwa jihad dalam Islam tidak serta merta bermakna perang. Jihad sebetulnya berarti sungguh-sungguh dalam berbuat sesuatu. Tapi Umar dan ilmuwan Muslim generasi awal memberikan dimensi militer ke dalam filosofi jihad untuk menjustifikasi invasi ke wilayah asing, dalam konteks ini invasi ke daratan Persia. Dalam sudut pandang Muslim generasi awal, ekspansi militer itu absah sebagai perjuangan untuk menegakkan kebaikan dan keadilan melawan kebatilan dan kepalsuan. Seperti putih versus hitam, matahari versus bulan.

Ini memang semacam filosofi kuno yang memberikan aspek hukum. Khalifah Umar menciptakan aspek legalitas perang dalam Islam atas nama memberlakukan perintah Allah di muka bumi. Persoalan moral bukan lagi perkara yang penting. Pasukan Muslim memahami jihad sebagai tindakan mulia. Dimensi militer baru dalam jihad yang dikombinasikan dengan tiga jenderal terbaik dalam sejarah menjadikan perluasan wilayah kekhalifahan Islam melaju dengan kecepatan yang sangat kencang. Komandan tempur Khalid bin Walid menawan Levant dan menghancurkan pasukan Bizantium dalam Perang Yarmuk. Komandan `Amr bin al `Ash bergerak ke barat dan menaklukkan Mesir dan sejumlah daerah Afrika bagian utara. Lalu komandan Sa`d bin Abi Waqqash berparade ke timur, menghajar pasukan Sasaniyah dan menaklukkan wilayah kekaisaran Sasaniyah termasuk Persia, Azerbaijan, Kaukasus dan Makran. Secara keseluruhan, pasukan Musim telah menaklukkan sekitar 4000 kota selama kampanye militer tersebut. (Bersambung).

 Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Melestarikan Alam untuk Kemakmuran Bersama Oleh: Suko Wahyudi Tingginya tingkat kerusakan lingkun....

Suara Muhammadiyah

27 September 2023

Wawasan

111 Tahun Muhammadiyah Oleh Ruminizulfikar Setiap bulan November bagi warga, kader, dan pimpinan P....

Suara Muhammadiyah

16 November 2023

Wawasan

Meningkatkan Kebermaknaan Silaturahim Oleh: Mohammad Fakhrudin Silaturahim pada setiap 'Idul Fitri....

Suara Muhammadiyah

19 April 2024

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Sejumlah orientalis mengatakan bahwa Islam disebarkan lewat pedang. Gagasan ini....

Suara Muhammadiyah

20 October 2023

Wawasan

Oleh: Wakhidah Noor Agustina, SSi Hari Sumpah Pemuda merupakan momen bersejarah bagi bangsa Indones....

Suara Muhammadiyah

28 October 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah