Inkuisisi Ibnu Hanbali (Bagian ke-2)
Oleh: Donny Syofyan
Konsekuensinya pada abad ke-9 pemberontakan meluas dan terjadi nyaris di setiap sudut daerah kekhalifahan Abbasiyah. Di Afrika Utara, kekeringan telah menyebabkan gagal panen dan kelangkaan makanan. Ini menyebabkan pecahnya kerusuhan di kota-kota utama di Tunisia dan Mesir. Pemerintah pusat di Baghdad tak mampu menyediakan kebutuhan pokok bagi masyarakat yang tinggal di daerah-daerah yang jauh dan pedalaman. Para penguasa daerah mengambil alih kekuasaan pemerintah pusat untuk mengatasi kepanikan.
Di Mesir Ibn Tulun, dari kalangan Mamluk, mengambil alih urusan keuangan dan mendirikan pasukan militer yang hanya loyal kepadanya. Dia memiliki kekuasaan independen dan tersendiri yang mengantarkannya mendirikan dinasti Tulunid yang menguasai wilayah-wilayah dari Mesir hingga Syria. Di Afrika Utara, dinasti Aghlabiyah memproklamasikan kemerdekaannya dari dinasti Abbasiyah dan mengontrol wilayah-wilayah Tunisia, Libia, dan Sisilia.
Di Kaukasus, dinasti Mazyadid dan Shirvanshah mengambil kekuasaan, sementara daerah Anatonia dikendalikan oleh dinasti Hamdanid. Bergerak ke timur, dinasti Samanid dan Saffarid (yang berasal dari Persia) menguasai apa yang kini dikenal sebagai Asia Tengah dan Selatan. Pemberontakan bukan hanya berlangsung di kawasan yang jauh dari pusat pemerintahan, tapi juga pecah di daerah-daerah yang berdekatan dengan ibukota Baghdad. Sebagai contoh, di Bashrah orang-rang Zanji (budak-budak Afrika Timur yang dikirim ke Timur Tengah) memberontak menentang tuan-tuan atau para majikan Arab mereka. Lebih kurang setengah juta orang meregang nyawa. Pemberontakan Zanji ini menjadi salah satu pemberontakan paling berdarah dalam sejarah Islam.
Pada saat yang sama, sekelompok kecil kaum Syi`ah bernama Qarmatian (juga dinamakan Bolshevik Islam) merampok kota suci Makkah dan menjarah Hajar Aswad dari Ka`bah. Tak kalah hebatnya gerakan anarkis Khawarij, yang bertanggung jawab atas terjadinya Perang Saudara dua ratus tahun sebelumnya, memperbaharui kampanyenya untuk menggulingkan khalifah Abbasiyah. Kerusuhan, pemberontakan dan revolusi berjalan di mana-mana. Dalam jangka waktu yang singkat, kekuasaan Abbasiyah hanya efektif di daerah-daerah yang berdekatan dengan ibukota Baghdad.
Terlepas dari pembusukan kekuatan politik dinasti Abbasiyah, proses intelektualisasi terus bergulir. Karena pendidikan dan seni telah menjadi kerangka Islam, banyak penguasa dinasti di berbagai kawasan memberikan perlindungan bagi para ilmuwan dan ulama. Sebagai akibatnya, intelektual-intelektual brilian lahir di sepanjang kekhalifahan Islam. Salah satu pemikir paling komprehensif adalah Al Farabi, yang memberikan sumbangan besar dalam bidang fisika, kimia, matematika dan psikologi. Dia juga mumpuni dalam filsafat, etika dan musik. Atas penguasaan keilmuannya yang menyeluruh, Al Farabi diberi gelar Guru Kedua (Second Master) setelah Aristoteles. Tokoh lain yang tak kalah menonjol adalah Ibnu Haitsam, yang banyak menulis tentang matematika, fisika, astronomi, optik dan persepsi visual. Dia mewariskan kepada kita apa yang disebut metode saintifik modern, lima abad mendahului para sarjana Renaisans di Eropa.
Zaman keemasan Islam juga menyaksikan kemajuan dalam bidang kedokteran berkat Ibnu Sina. Karya-karyanya masih tetap digunakan selama enam abad sejak kematiannya. Yang menarik bahwa para pemikir besar di zaman keemasan Islam menempatkan diri sebagai pengkritik penafsiran literal Al-Qur’an. Salah satunya adalah Al Biruni. Gagasannya yang mengalkulasikan bahwa bulan mengitari matahari dan matahari bergerak di porosnya menunjukkan pentingnya mempertanyakan apa pun, mulai dari filsafat hingga keagamaan. Pandangan ini sebagai pukulan bagi kredo Ibnu Hanbal bahwa memahami Al-Qur’an cukup secara literal, artinya menutup pintu penafsiran. Pandangan rasional ini juga diadopsi oleh Al Razi, yang gagasannya memberikan pengaruh besar bagi Leonardo Da Vinci. Dia menyatakan Islam tanpa rasionalitas tidak punya nilai sama sekali.
Ada juga Umar Khayyam, seorang tokoh penting dari Persia pada Abad Pertengahan yang memandang penting humanisme. Dia juga tak malu-malu mengekspresikan gagasan sekuler yang menentang desain besar hukum syari`ah. Tak kalah pentingnya adalah Ibnu Rusyd. Dia bukan saja tokoh sentral yang memperjuangkan emansipasi wanita tapi juga menekankan bahwa persoalan keyakinan hanya bisa ditetapkan di atas basis akal sehat dan bukti.
Sangat jelas besar bahwa inspirasi Mu`tazilah melakukan serangan balik terhadap teologi ortodoks tapi ikon politik tidak berpihak kepada gagasan ini. Terlepas dari usaha dan perjuangan mereka selama satu abad, ilmuwan-ilmuwan besar dalam zaman keemasan Islam mengakhiri hidup mereka sebagai pembangkang.
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas