Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Perbincangan kita tentang jihad masih berlanjut. Sebelumnya, kita telah menyoroti bahwa jihad memiliki batasan-batasan yang jelas, terutama dalam konteks jihad militer. Namun, bagaimana konsep jihad ini bisa disalahgunakan hingga menimbulkan kekacauan seperti yang kita saksikan belakangan ini? Bagaimana bisa individu-individu, bahkan kelompok, mengklaim tindakan kekerasan mereka sebagai jihad?
Untuk memahami hal ini, kita perlu melihat sejarah panjang tafsir Islam. Terdapat banyak sekali pandangan dan hukum yang telah dirumuskan dalam teks-teks klasik, yang perlu kita telaah dengan sangat hati-hati. Generasi muda Muslim saat ini, menyaksikan berbagai penderitaan yang dialami saudara-saudara mereka di seluruh dunia, terutama di Palestina. Mereka mencari solusi, dan sayangnya, beberapa dari mereka beralih ke teks-teks klasik tersebut. Tanpa pemahaman yang mendalam, mereka mengambil potongan-potongan ayat atau hadits, lalu menyimpulkan bahwa jalan keluarnya adalah konfrontasi militer melawan siapa pun yang mereka anggap sebagai penindas.
Ini adalah salah satu akar masalah yang kompleks. Untuk mengatasinya, kita harus kembali pada sumber utama ajaran Islam, yaitu Al-Qur`an, dan memahaminya dalam konteks sejarah dan sosial saat ia diturunkan. Al-Qur`an harus dipahami secara utuh dan menyeluruh. Setiap ayat dalam Al-Qur`an bukan berdiri sendiri, melainkan terhubung erat dengan ayat-ayat lainnya, membentuk sebuah kesatuan yang padu.
Memahami Al-Qur`an seperti merangkai sebuah puzzle raksasa. Setiap ayat adalah kepingan puzzle, dan kita tidak bisa memahami gambaran besarnya hanya dengan melihat satu kepingan saja. Kita perlu melihat bagaimana kepingan itu terhubung dengan kepingan lainnya, serta memahami keseluruhan gambar yang ingin disampaikan.
Selain itu, kita juga perlu memahami konteks sejarah dan sosial saat Al-Qur`an diturunkan. Al-Qur`an adalah wahyu yang diturunkan untuk menjawab tantangan dan permasalahan nyata yang dihadapi umat manusia pada masa Nabi Muhammad SAW. Memahami konteks ini akan membantu kita memahami pesan sejati di balik setiap ayat.
Terkadang, kita bisa mengambil pelajaran dari peristiwa masa lalu dan menerapkannya pada situasi yang mirip di masa kini. Namun, kita harus sangat berhati-hati. Kita harus memastikan bahwa situasi yang kita hadapi saat ini benar-benar sejalan dengan konteks aslinya, bukan hanya kemiripan di permukaan.
Penting untuk diingat bahwa tidak semua teroris beragama Islam. Namun, belakangan ini, tindakan terorisme yang mengatasnamakan Islam telah menciptakan ketakutan dan stigma di masyarakat. Apa yang seringkali disalahpahami oleh kelompok-kelompok ekstremis ini adalah dua hal mendasar: konteks dan makna sebenarnya dari ayat-ayat Al-Qur'an. Mereka cenderung mencabut ayat-ayat tersebut dari konteks aslinya, mengabaikan latar belakang sejarah dan sosial saat ayat itu diturunkan.
Sebagai contoh, ayat dalam Surah At-Taubah ayat 5 yang sering disalahgunakan. Jika dibaca secara terpisah, ayat ini seolah-olah memerintahkan pembunuhan tanpa pandang bulu. Padahal, jika kita melihat konteksnya, ayat ini merujuk pada situasi perang spesifik di masa Nabi Muhammad, dan memiliki batasan-batasan yang jelas. Penyalahgunaan teks suci seperti ini bukanlah hal baru, dan tidak hanya terjadi pada Al-Qur`an. Kitab suci agama lain juga rentan terhadap penafsiran yang keliru dan dimanfaatkan untuk tujuan yang tidak benar. Inilah pentingnya memahami teks-teks suci secara utuh, dengan mempertimbangkan konteks dan makna aslinya.
Dalam kasus Al-Qur`an, beginilah cara kita memahaminya. Untuk memberikan gambaran sederhana yang dapat dipahami banyak orang, tanpa terbebani oleh emosi yang sering muncul ketika membahas jihad. Mari kita baca Surah 107, yang berbicara tentang orang-orang yang melaksanakan shalat hanya untuk dilihat orang lain. Al-Qur'an menyatakan, "Celakalah orang-orang yang shalat, mereka yang lalai dalam shalatnya, mereka yang ingin dilihat oleh orang lain."
Ini menggambarkan tipe individu yang mendekati shalat dengan cara tertentu, dan menyebutkan, "Celakalah orang-orang yang shalat." Namun, jika seseorang hanya mengambil potongan kalimat, "Celakalah orang-orang yang shalat," tanpa konteks lengkapnya, maka kesimpulan yang diambil bisa menyesatkan. Ini seakan-akan semua orang yang melaksanakan shalat berada di bawah murka Tuhan, yang jelas merupakan kesimpulan yang salah. Kesalahan ini terjadi ketika ayat tersebut dipotong setengah dan diambil di luar konteksnya, tanpa mempertimbangkan keseluruhan surah di mana ia terletak.
Dengan cara yang sama, jika seseorang mengambil ayat dari Surah 9 ayat 5 dan mengartikannya sebagai izin bagi umat Muslim untuk membunuh orang lain secara umum, maka ini juga merupakan penafsiran yang keliru. Kesalahan tersebut terjadi ketika seseorang mengabaikan konteks ayat tersebut, yakni apa yang mendahuluinya dan apa yang mengikutinya. Sebelum ayat itu, terdapat peringatan dan batasan tentang siapa yang boleh diperangi, serta ketentuan bahwa mereka harus diberi kesempatan untuk kembali ke jalan yang benar dan diperingatkan secara terbuka. Ayat yang mengikutinya juga menekankan bahwa mereka yang datang dengan niat damai harus diberikan perlindungan.
Bahkan ketika umat Islam terlibat dalam konflik, Al-Qur'an menekankan pentingnya memberikan perlindungan kepada mereka yang mencari perdamaian. Surah 9 ayat 6 menjelaskan bahwa jika seorang individu dari pihak lawan datang dengan maksud hidup damai di tengah-tengah umat Islam, maka kita wajib memberikan perlindungan dan mengantarnya ke tempat yang aman.
Tragedi seperti pemenggalan seorang jurnalis di Baghdad beberapa tahun lalu jelas bertentangan dengan prinsip kemanusiaan yang diajarkan dalam ayat tersebut. Ini menunjukkan bagaimana tindakan ekstrem yang dilakukan oleh sebagian orang dengan memelintir makna ayat-ayat Al-Qur`an telah mencoreng citra Islam yang cinta damai. Al-Qur`an adalah kitab suci yang utuh dan harus dipahami secara komprehensif. Mengambil satu ayat secara terpisah dan mengabaikan konteks keseluruhannya adalah tindakan yang keliru dan berbahaya.
Terkadang kita dihadapkan pada orang-orang yang tampak sangat fasih dalam tradisi Islam, namun masih memegang pandangan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Bagaimana kita menjelaskan hal ini? Salah satu faktornya adalah adanya interpretasi klasik yang kurang memperhatikan konteks historis di mana Al-Qur`an diturunkan. Al-Qur`an tidak hadir dalam ruang hampa, melainkan turun dalam keadaan sosial tertentu.
Pada masa awal Islam, Nabi Muhammad dan para pengikutnya menghadapi ancaman nyata akan pemusnahan total. Dalam kondisi terkepung oleh pasukan musuh, mereka terpaksa mengangkat senjata sebagai upaya bela diri. Sayangnya, beberapa interpretasi mengabaikan konteks tersebut dan mengambil ayat-ayat tertentu secara harfiah, tanpa mempertimbangkan keadaan di mana ayat-ayat itu diturunkan. Akibatnya, muncul pemahaman yang menyimpang, yang dapat mengarah pada tindakan kekerasan yang kita kenal sebagai terorisme.
Penting untuk diingat bahwa Al-Qur'an adalah kitab suci yang kaya akan makna dan hikmah. Memahami konteks historis dan sosial di balik ayat-ayatnya adalah kunci untuk menghindari interpretasi yang keliru dan berbahaya.