Islam Anjurkan Rekonsiliasi Antar Saudara
Oleh : Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Jeanne Safer, dalam bukunya Cain's Legacy (2012), menyoroti bahwa persaingan antar saudara bukanlah fenomena baru. Bahkan, Alkitab telah mencatat kisah-kisah dramatis tentang konflik saudara sejak zaman dahulu. Salah satu contoh paling terkenal adalah kisah Kain (Qabil) dan Habel (Habil), di mana kecemburuan Kain terhadap saudaranya berujung pada pembunuhan tragis. Kisah Yakub dan Esau juga menggambarkan persaingan sengit antara saudara kembar yang memperebutkan hak kesulungan dan berkat ayah mereka.
Safer berpendapat bahwa persaingan saudara adalah bagian tak terpisahkan dari pengalaman manusia, tertanam dalam dinamika keluarga sejak awal peradaban. Namun, bagaimana agama, khususnya Islam, memandang hubungan antar saudara? Apakah konflik dan disfungsi adalah hal yang tak terhindarkan?
Bagaimana seseorang yang pernah terluka oleh saudara kandungnya bisa menyembuhkan luka tersebut? Bagaimana Islam membimbing kita untuk membangun hubungan yang sehat dan harmonis dengan saudara kandung? Mari kita selami lebih dalam topik ini, menggali hikmah dari ajaran agama dan mencari solusi untuk mengatasi konflik saudara yang mungkin masih membekas hingga kini.
Al-Qur`an menawarkan perspektif yang berbeda mengenai kisah Qabil dan Habil. Dalam versi Al-Quran, Habel mencoba membimbing Kain dengan mengingatkannya untuk mempersembahkan kurban dengan penuh kesadaran kepada Tuhan. Ini menunjukkan bahwa penolakan kurban Qabil bukan karena pilih kasih Tuhan, tetapi karena kurangnya keikhlasan dalam persembahannya.
Jeanne Safer menyoroti bahwa dalam Alkitab, tidak ada penjelasan mengapa Tuhan lebih memilih kurban Habil. Ia berpendapat bahwa hal ini bisa diartikan sebagai favoritisme Tuhan, yang secara tidak langsung mendorong persaingan antar saudara. Safer kemudian menarik paralel antara kisah ini dengan perilaku orang tua yang seringkali menunjukkan favoritisme terhadap salah satu anak, memicu konflik dan persaingan di antara mereka. Jika Tuhan saja bisa bersikap pilih kasih, mengapa manusia tidak boleh?
Safer melihat Alkitab sebagai sumber yang kaya akan wawasan psikologis, bahkan melampaui apa yang pernah dibahas oleh Sigmund Freud. Ia mengajak kita untuk menggali lebih dalam makna tersembunyi di balik kisah-kisah kitab suci, termasuk dinamika kompleks hubungan antar saudara.
Al-Qur`an dan Alkitab, meskipun memiliki perbedaan dalam penceritaan, sama-sama menawarkan pelajaran berharga tentang hubungan manusia. Dengan memahami nuansa dan konteks setiap kisah, kita dapat belajar dari kesalahan masa lalu dan membangun hubungan yang lebih sehat dengan saudara kandung kita.
Kisah Nabi Yusuf memang diawali dengan konflik dan pengkhianatan yang dilakukan saudara-saudaranya. Namun, dalam versi Al-Quran, kisah ini berakhir dengan nada yang indah, penuh dengan pengampunan dan rekonsiliasi. Ketika Yusuf akhirnya berkuasa di Mesir dan keluarganya datang mencarinya, Ia tidak membalas dendam atas perlakuan mereka di masa lalu. Sebaliknya, Ia menyambut mereka dengan penuh kasih sayang dan kerendahan hati, bahkan membiarkan mereka bersujud kepadanya sebagai tanda penghormatan.
Saudara-saudara Yusuf merasa cemas, takut Yusuf akan menuntut balas atas perbuatan mereka. Namun, Yusuf menunjukkan kebesaran jiwanya dengan memaafkan mereka tanpa syarat. Ia mengakui bahwa setanlah yang telah menghasut mereka dan memohon kepada Tuhan untuk mengampuni mereka. Kisah Nabi Yusuf mengajarkan kita bahwa bahkan dalam situasi paling sulit sekalipun, pengampunan dan rekonsiliasi adalah mungkin. Dengan berlapang dada dan memaafkan kesalahan masa lalu, kita dapat membangun kembali hubungan yang sehat dan harmonis dengan saudara kandung kita.
Kisah ini juga mengingatkan kita akan pentingnya menjaga persaudaraan. Meskipun konflik dan persaingan mungkin terjadi, ikatan keluarga yang kuat dapat mengatasi segala rintangan. Dengan kasih sayang dan pengertian, kita dapat menciptakan hubungan yang penuh cinta dan dukungan dengan saudara kandung kita, seperti yang dicontohkan oleh Nabi Yusuf.
Kisah Nabi Yusuf tidak hanya menginspirasi individu, tetapi juga membentuk sikap Nabi Muhammad SAW sendiri. Beliau, yang pernah dikucilkan oleh saudara-saudaranya dari suku Quraisy, memilih jalan pengampunan ketika akhirnya meraih kemenangan. Seperti Yusuf, beliau menawarkan maaf kepada mereka yang pernah menyakitinya, menunjukkan bahwa dendam tidak memiliki tempat dalam hati yang penuh kasih.
Kisah Yusuf, yang berawal dari konflik namun berakhir dengan pengampunan, memberikan pelajaran berharga bagi kita semua. Ketika kita disakiti oleh saudara kandung, kita memiliki pilihan untuk terjebak dalam lingkaran kebencian atau memilih jalan pengampunan seperti yang dicontohkan oleh Nabi Yusuf dan Nabi Muhammad SAW.
Bagaimana kita seharusnya bersikap ketika saudara kandung melakukan kesalahan terhadap kita? Kisah-kisah ini mengajarkan kita untuk tidak membiarkan luka masa lalu mengendalikan hidup kita. Dengan memaafkan, kita membuka pintu bagi penyembuhan dan rekonsiliasi, memungkinkan hubungan persaudaraan yang lebih sehat dan harmonis.
Pengampunan bukan berarti melupakan kesalahan, tetapi memilih untuk tidak membiarkannya meracuni hati kita. Ini adalah langkah berani menuju kedamaian batin dan hubungan yang lebih baik dengan orang-orang terdekat kita. Mari kita ingat bahwa setiap manusia bisa berbuat salah, termasuk saudara kandung kita. Dengan berlapang dada dan memberikan maaf, kita menciptakan ruang untuk pertumbuhan dan perubahan, baik bagi diri kita sendiri maupun bagi mereka yang telah menyakiti kita.
Konflik dan ketidaksepahaman dengan saudara kandung adalah pengalaman yang umum terjadi. Terkadang, kita merasa disakiti atau dirugikan oleh mereka, baik secara nyata maupun hanya berdasarkan persepsi kita. Namun, bagaimana kita seharusnya menyikapi situasi ini? Berbeda dengan pandangan Jeanne Safer yang melihat agama sebagai pemicu konflik, Islam justru mengajarkan kita untuk mencari rekonsiliasi dan memperbaiki hubungan yang rusak. Al-Qur'an menekankan pentingnya menjaga silaturahmi (arham), termasuk hubungan erat dengan saudara kandung kita.
Al-Qur'an menggunakan istilah ikhwân (saudara laki-laki) untuk menggambarkan ikatan persaudaraan yang erat. Meskipun bahasa Al-Qur'an seringkali maskulin, kita harus memahami bahwa pesan ini berlaku untuk semua saudara kandung, baik laki-laki maupun perempuan. Islam mengajarkan bahwa hubungan persaudaraan harus dijaga dan diperkuat, karena itu adalah bagian dari warisan agama kita.
Ketika terjadi konflik dengan saudara kandung, kita harus berusaha mencari jalan untuk berdamai dan memaafkan. Ini bukan berarti melupakan kesalahan yang pernah terjadi, tetapi memilih untuk tidak membiarkannya merusak hubungan kita. Kita harus bersedia memperbaiki keadaan dan membangun kembali ikatan persaudaraan yang kuat.
Islam mengajarkan kita untuk menjadi pribadi yang pemaaf dan penuh kasih sayang, bahkan terhadap mereka yang pernah menyakiti kita. Dengan mengikuti ajaran ini, kita dapat menciptakan keluarga yang harmonis dan penuh dukungan, di mana setiap anggota merasa dicintai dan dihargai.