Sulthanan-Nashira sebagai Pakaian Politik Islam
Oleh: Adrian Al-fatih, Kader Muhammadiyah
Sulthanan Nashira adalah kosakata yang terdapat dalam Al-qur’an dan merupakan salah satu kata kunci sekaitan dengan bagaimana wawasan islam dalam memandang kekuasaan. Secara harfiah sulthanan Nashira berarti “kekuasaan yang menolong”. Sebagaimana firman Allah swt. Dalam Surah Al-isra ayat 80;
وَقُل رَّبِّ أَدْخِلْنِى مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِى مُخْرَجَ صِدْقٍ وَٱجْعَل لِّى مِن لَّدُنكَ سُلْطَٰنًا نَّصِيرًا
“Dan katakanlah: "Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.”
Sebab turunnya ayat ini (asbab an-nuzul) adalah peristiwa yang memerintahkan Rasululullah saw. Untuk hijrah setelah dakwah yang dilakukan selama periodesasi Makkah mendapat penentangan dan perlawanan hebat dari kelompok elite kafir quraisy yang secara kekuatan politik menjadi penguasa Makkah. Ketidakberdayaan secara politik inilah yang membuat Muhammad dan Masyarakat yang ikut dalam barisan perjuangannya harus terusir dari kampung halaman sendiri.
Quraish shihab dalam tafsirnya (al-misbah) memaknai ayat ini sebagai doa meminta kekuatan, karunia dan membela diri dari kejahatan musuh. Ayat ini menjadi pembelajaran bagi kita bahwa inilah prinsip kepemimpinan yang diajarkan Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. Dalam menjalankan amanat kenabiannya, Sultahanan Nashira inilah yang menjadi pakaian kekuasaan beliau dalam memperjuangkan dakwah islam, menuntun manusia menuju kehidupan yang berkeadilan dan berperadaban maju. Dan akhirnya Sejarah jugalah yang mengabarkan kepada kita bahwa beliau adalah manusia teragung dan paling berpengaruh sepanjang peradaban manusia.
Sulthanan Nashira dan Moralitas Kekuasaan
Marilah kita mentadabburi bersama dan melakukan pengayaan makna yang dalam, betapa Bahasa qur’an tentang “Kekuasaan yang menolong (Sulthanan Nashira)” penting untuk dikonseptualisasi dan dijadikan sebagai kacamata dalam membaca kompleksnya persoalan politik yang kita hadapi hari-hari ini utamanya ketika berbicara tentang moralitas kekuasaan.
Berdasarkan inilah konsep “sulthanan nashiran” penting menjadi kerangka yang mengarus-utama dalam dinamika politik kebangsaan kita hari ini bahwa paradigma kekuasaan harus dikembalikkan pada maknanya yang mulia sebagai sarana pengabdian kepada kemaslahatan kemanusian. Sulthanan Nashira berarti menjadikan mandat kekuasaan sebagai alat yang sepenuhnya dipakai untuk melayani ummat (khadim al-ummah) dengan melahirkan kabijakan-kebijakan yang pro dan jelas keberpihakannya kepada masyarakat luas.
Jika sulthanan Nashira adalah konsep kekuasaan yang menolong, maka tidak jarang kita temukan dalam realitas yang terjadi justru sebaliknya yaitu kekuasaan yang merugikan dan mengakibatkan kerusakan. Hal semacam ini disebut dalam al-qur’an sebagai Tindakan yang fasadu fil ardh (QS. Al-Baqarah;11, Ar-Rum:41, Al-qashash:77) yang berkonsekuensi teologis bahwa Allah Swt. Sangat mengutuk orang-orang yang demikian.
Tidak berlebihan kiranya ketika Haedar Nashir dalam salah satu kesempatan pernah menyebut bahwa realitas kekuasan politik hari ini cenderung tuna moral dan buta Nuraninya, hanya menjadikan kepentingan diri, keluarga dan kroni-kroni politik diatas kepentingan/ kemaslahatan Masyarakat banyak. Sering juga kita melihat bagaimana hukum dan undang-undang seringkali dicabik-cabik oleh tangan kekuasaan yang mengabaikan moralitas dan keadaban publik. Tangan kekuasaan tidak lagi dipakai sebagai pelayan rakyat (khadim al-ummah) tetapi hanya melayani kelompok-kelompok kepentingan tertentu saja. Gunakanlah wewenang besar itu untuk kemaslahatan Masyarakat banyak, memihaklah kepada yang mustad’afin yaitu orang-orang yang terpinggir dan dimiskinkan oleh kekuasaan, bukan kepada mereka yang mustakbirin (watak kekuasaan yang congkak).
Inilah yang terjadi ketika kekuasaan diberikan kepada politisi-politisi rendahan. Tentu kita menginginkan para wakil kita levelnya bukan lagi politisi tetapi naik kelas menjadi seorang negarawan, yaitu mereka yang menjadikan amanat rakyat sebagai lapangan pengabdian luas dalam mengadirkan kemaslahatan dan kebajikan yang berlimpah (khairan katsira) bagi kehidupan ummat.
Membicarakan kekuasan dalam islam tentulah sesuatu yang harus kita rebut dan jadikan sebagai wadah amaliyah terbaik (ahsanu ‘amala) untuk menghadirkan kehidupan penuh kedamaian, keadilan, kemakmuran dan kebahagiaan dunia akhirat. Politik selamanya akan pincang ketika mengabaikan nilai-nilai moral-spritual. Karena dalam islam sejatinya tuntunan ilahiyah-lah yang akan membuat kita kokoh dalam menjalankan kehidupan termasuk menjaga Amanat politik sebagai mandataris dari rakyat untuk menghadirkan kebajikan bagi mereka.
Sulthanan Nashira adalah antithesis dari watak kekuasaan yang rakus, korup, nepotis, esploitatif dan semua hal yang merugikan kehidupan kesemestaan. Dimensi teologis-spritual dari Sulthanan Nashira ini idealnya akan menjadikan orang atau kelompok pemangku kebijakan (kekuasaan) memiliki semacam rem moral ketika ada hasrat meyimpang dan menyeleweng karena hakikatnya segala bentuk kekuasaan yang dimiliki oleh makhluk merupakan mandataris (amanat) dari Tuhan Yang Maha Menguasai segala sesuatu. (QS.Al-imran: 26)
قُلِ ٱللَّهُمَّ مَٰلِكَ ٱلْمُلْكِ تُؤْتِى ٱلْمُلْكَ مَن تَشَآءُ وَتَنزِعُ ٱلْمُلْكَ مِمَّن تَشَآءُ وَتُعِزُّ مَن تَشَآءُ وَتُذِلُّ مَن تَشَآءُ ۖ
بِيَدِكَ ٱلْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
“Katakanlah: "Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapapun yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari siapapun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapapun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapapun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Pakaian Politik Rasulullah SAW.
Sebagaimana Al-Qur’an menyebut libasut taqwa, pakaian taqwa (QS. Al-a’raf: 26), Maka sulthanan nashirah juga harus dijadikan sebagai pakaian kekuasaan yang akan menjaga dan memproteksinya dari hal-hal yang merugikan rakyat banyak.
Marilah kita belajar bagaimana Rasulullah dididik, dibimbing dan dibangun karakternya oleh Allah swt. Sehingga menjadi sosok teladan dan kepemimpinannya/ kekuasaan yang diberikan kepadanya menghadirkan kebermanfaatan yang luas, itulah sulthanan Nashira (kekuasaan yang menolong).
Setidaknya ada dua hal yang penting untuk kita lihat dari proses Rasulullah. Pertama, Modal social beliau. Jauh sebelum mandat kenabian sampai kepadanya, Muhammad adalah sosok yang sudah memiliki kepribadian agung. Ini ditandai dengan gelar al-amin (yang terpercaya) sebagai mahkota moral yang disematkan kebeliau bahkan oleh mereka yang peradabannya masih terbelakang (jahiliyah). Sifat jujur (siddiq), cerdas (fathanah), Amanah dan gigihnya dalam menyampaikan kebenaran (tabligh) adalah karakter yang membuat baliau mendapat TRUST (kepercayaan) dari ummat secara alamiah.
Kedua, berpengetahuan luas. Kita membaca setidaknya dalam hierarkies wahyu-wahyu awal yang sampai kepada beliau banyak yang menyerukan bahasa ilmu. Sebut saja iqra’ bismirabbik (bacalah dengan menyebut tuhanmu) dalam Surah Al-alaq, wal-qalami wa maa yasthurun (demi pena dan apa yang dituliskan) dalam Surah Al-qalam, wa rattilil-qur-aana tartilaa (bacalah al-quran itu dengan perlahan-lahan) dalam Surah Al-muzzammil. Runtutan wahyu-wahyu awal ini adalah satu instrument langit yang bisa kita terjemahkan sebagai proses dimana Allah memastikan dan mematangkan kualitas beliau secara pengetahuan karena akan menjadi juru bicara Tuhan dimuka bumi dalam menyampaikan islam sebagai jalan keselamatan ummat manusia.
Inilah dua Pelajaran yang bisa kita jadikan preferensi dalam menentukan calon-calon wakil kita dalam menghadapi tahun politik 2024 ini. Dimana karakter moral-sosial, rekam jejak serta latar belakang pendidikan menjadi satu variabel yang bisa kita pakai untuk menilai kompetensi seorang calon pemimpin.
Janganlah kita menjadi ummat yang terus memilih terbelakang karena tak kuasa dengan bujuk rayu kesenangan sesaat seperti sogokan uang dan hal-hal rendahan lainnya. Suara kita yang mau dibeli dengan hal-hal rendah semacam itu adalah bentuk lain dari melecehkan diri sendiri. Mari naik kelas menjadi pemilih yang cerdas sehingga amanat suara kita berikan kepada mereka yang punya kompetensi dan bisa menghadirkan kabajikan umum, berpihak kepada kemaslahatan seperti bahasa Al-quran tentang sulthanan Nashira “kekuasaan yang menolong”.
Akhirnya marilah kita hadapi tahun politik ini dengan bersama memohon kepada Allah agar diberikan pemimpin yang Amanah, pemimpin yang dianugerahi aqlun shahih wa qalbun salim, Sehingga mampu membawa manfaat dan keberkahan bagi kita semua.
Allahummaj ‘alni sulthanan nashiraa…