"Islam" dalam Al-Qur`an: Memahami Makna Sejati Ketundukan kepada Tuhan
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Mari kita telaah lebih dalam surat Ali Imran ayat 19, yang dalam terjemahan Pickthall berbunyi, "Agama Allah adalah kepasrahan" (The religion of Allah is the surrender). Terjemahan ini tentu saja dapat bervariasi tergantung pada interpretasi masing-masing penerjemah.
Dalam ayat ini, terdapat dua kata kunci yang menarik untuk dibahas lebih lanjut. Pertama, kata "din" yang diterjemahkan sebagai "agama". Kata ini memiliki makna yang luas, tidak hanya terbatas pada pengertian agama secara formal, tetapi juga mencakup konsep "jalan hidup", "sistem nilai", atau bahkan "aturan dan tatanan sosial yang berkeadilan".
Kedua, kata "Islam" yang seringkali diartikan sebagai "penyerahan diri". Namun, beberapa kalangan memahaminya secara harfiah sebagai nama agama Islam itu sendiri. Untuk saat ini, mari kita kesampingkan pembahasan mengenai kata "din" dan fokus pada kata "Islam". Pemahaman umum mengenai kata ini sebagai "agama" juga didukung oleh banyak penerjemah ternama, termasuk mereka yang non-Muslim seperti George Sale, Rodwell, Palmer, Arbery, dan Jadaud.
Saat ini, kata "Islam" telah identik dengan nama agama yang dianut oleh umat Muslim. Namun, memahami kata "Islam" dalam ayat ini secara harfiah sebagai nama agama akan menimbulkan kesalahan interpretasi dan kesalahpahaman.
Seorang kritikus mungkin berargumen, "Agama Kristen, Yahudi, dan agama-agama lain sudah ada jauh sebelum Islam yang kita kenal sekarang. Mereka tidak pernah disebut sebagai Islam." Argumen ini muncul karena adanya pemahaman sempit yang membatasi makna "Islam" hanya pada agama tertentu.
Untuk meluruskan kesalahpahaman ini, perlu ditekankan bahwa kata "Islam" dalam ayat tersebut merujuk pada makna aslinya dalam bahasa Arab, yaitu "penyerahan diri" kepada Allah SWT. Dengan demikian, surat Ali Imran ayat 19 sebenarnya ingin menyampaikan bahwa inti dari agama, apapun namanya, adalah ketundukan dan kepasrahan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Lantas, apa kesamaan yang mendasari semua agama? Pada intinya, semua agama mengajarkan tentang penyerahan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam bahasa Arab disebut Allah. Tuhan inilah yang menjadi sumber segala aturan, petunjuk, dan nilai-nilai kehidupan. Kepada-Nya kita semua akan mempertanggungjawabkan segala perbuatan kita. Konsep penyerahan diri ini tidak hanya ada dalam Islam, tetapi juga menjadi inti dari agama-agama lain seperti Yahudi dan Kristen.
Dalam Injil Matius, misalnya, terdapat kisah tentang Yesus yang bersujud dan berdoa kepada Tuhan. Tindakan ini mencerminkan sikap penyerahan diri yang serupa dengan cara umat Islam beribadah kepada Allah. Dengan demikian, Al-Qur`an menegaskan bahwa penyerahan diri kepada Tuhan adalah esensi dari agama, terlepas dari perbedaan nama dan bentuk peribadatannya.
Pemahaman tentang Islam sebagai penyerahan diri kepada Tuhan juga membantu kita menjawab pertanyaan mengenai keselamatan. Ketika kita mengklaim bahwa hanya agama Islam yang menjamin keselamatan dan masuk surga, sementara mengabaikan konsep penyerahan diri kepada Tuhan secara universal, kita membuka peluang bagi kritik yang mempertanyakan keadilan dan kasih sayang Tuhan.
Pandangan eksklusif semacam itu dapat menimbulkan kesan bahwa Tuhan hanya memilih sebagian kecil umat manusia untuk diselamatkan, sementara membiarkan sebagian besar lainnya binasa. Padahal, Allah SWT telah memberikan petunjuk dan wahyu kepada seluruh umat manusia melalui para nabi dan rasul-Nya. Selain itu, Dia juga menganugerahi manusia akal dan pikiran untuk membedakan antara kebenaran dan kebatilan.
Namun, realitasnya menunjukkan bahwa meskipun telah diberikan petunjuk dan akal, sebagian besar manusia tetap memilih jalan yang salah dan menyimpang dari kebenaran. Pertanyaannya kemudian, apakah Tuhan bertanggung jawab atas pilihan manusia yang keliru tersebut? Apakah adil jika Tuhan menciptakan sistem di mana mayoritas makhluk-Nya akan berakhir dalam kesengsaraan?
Tentu saja, kita tidak boleh mempertanyakan kehendak dan keadilan Allah SWT. Al-Qur`an menegaskan bahwa Allah tidak akan ditanya tentang apa yang Dia perbuat, sedangkan manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas segala perbuatannya.
Manusia dan makhluk lainnya akan dimintai pertanggungjawaban atas segala tindakan mereka. Sementara ayat ini sering ditafsirkan bahwa Tuhan tidak boleh dipertanyakan, pemahaman saya adalah bahwa tindakan Tuhan selalu benar dan adil sehingga tidak menimbulkan pertanyaan. Namun, jika ada yang berpendapat bahwa ini berarti semua orang selain pemeluk agama Islam akan masuk neraka, maka seakan-akan Tuhan menciptakan sistem yang patut dipertanyakan. Bagaimana mungkin Tuhan menciptakan sistem yang penuh dengan pemborosan?
Dalam ayat ini, khususnya kata "Islam" tidak merujuk pada agama Islam seperti yang kita kenal saat ini. Sebaliknya, kata ini harus dipahami dalam makna aslinya dalam bahasa Arab, yaitu "ketundukan", yang merupakan ciri umum dari agama secara keseluruhan.
Mengapa Tuhan menyertakan ambiguitas dalam ayat ini, padahal Dia tahu bahwa orang-orang mungkin memahami kata "Islam" dalam arti yang berbeda dari makna aslinya? Pada saat ayat ini diturunkan, agama mungkin belum disebut "Islam" sebagai nama resmi. Orang-orang mungkin mengerti bahwa "Islam" berarti "ketundukan" kepada Tuhan, tetapi itu belum menjadi nama agama. Nama tersebut muncul kemudian, dan bahkan dalam Al-Qur`an, pengikut agama lain, seperti orang Kristen yang mengikuti Yesus, juga disebut "Muslim".
Hal ini menunjukkan bahwa konsep "Islam" sebagai ketundukan kepada Tuhan lebih luas daripada sekadar nama agama tertentu. Tuhan mungkin sengaja menggunakan kata ini untuk menekankan pentingnya ketundukan kepada-Nya dalam agama apa pun. Ambiguitas ini juga bisa menjadi cara untuk mendorong refleksi dan pemahaman yang lebih dalam tentang makna sejati dari "Islam".