Islam dan Zoroastrianisme
Oleh: Donny Syofyan/Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Persamaan antara Islam dan Zoroastrianisme memicu pertanyaan menarik. Apakah kemiripan ini berarti Islam bukanlah agama yang benar? Apakah Islam sekadar meniru Zoroastrianisme? Jawabannya adalah tidak. Umat Islam meyakini bahwa Al-Qur`an, wahyu dari Allah kepada Nabi Muhammad, adalah landasan agama Islam. Keyakinan ini didasari pada konsep wahyu ilahi, sesuatu yang berada di luar jangkauan kajian sejarah konvensional.
Sejarawan, dalam upaya memahami peristiwa masa lalu, berfokus pada bukti-bukti konkret seperti artefak, catatan sejarah, dan kronologi kejadian. Mereka tidak melibatkan unsur-unsur supranatural atau asumsi tentang keberadaan Tuhan. Pendekatan ini berbeda dengan cara umat Islam memahami asal-usul agamanya. Dengan demikian, perspektif sejarah dan perspektif agama menawarkan dua cara berbeda dalam memandang hubungan antara Islam dan Zoroastrianisme. Keduanya memiliki validitasnya masing-masing, dan tidak perlu saling menegasikan.
Ketika membahas wahyu yang diterima Nabi Muhammad, sejarawan mengesampingkan unsur ilahi dan berfokus pada konteks historisnya. Mereka menggali latar belakang alami dari peristiwa tersebut, meyakini bahwa segala sesuatu memiliki asal-usul dan perkembangannya sendiri. Sejarawan mencari jejak-jejak awal, pesan-pesan serupa yang mungkin mendahului wahyu tersebut, serta pengaruh-pengaruh yang membentuknya. Mereka menelusuri kesamaan, pola, dan evolusi gagasan sepanjang sejarah, menganalisis Islam bersama agama-agama besar lainnya.
Pendekatan ini berusaha memahami wahyu dalam kerangka sejarah manusia, melihatnya sebagai bagian dari perkembangan pemikiran dan kepercayaan yang terus berlangsung. Tidak ada agama yang luput dari analisis semacam ini, termasuk Islam.
Analisis sejarah, bahkan bagi seorang Muslim yang beriman, bukanlah hal yang buruk. Kita meyakini bahwa Tuhan adalah penggerak segala sesuatu, namun segala sesuatu juga terjadi melalui sebab-sebab alami. Hujan adalah contohnya: Tuhan menurunkan hujan, tetapi melalui proses angin yang mengumpulkan uap air menjadi awan, hingga akhirnya awan tersebut menjadi berat dan menurunkan hujan. Al-Qur`an sendiri menggambarkan proses turunnya hujan, menunjukkan bahwa adanya campur tangan Tuhan tidak meniadakan proses alami.
Demikian pula, wahyu Al-Qur`an kepada Nabi Muhammad saw juga bisa dipahami melalui dua lensa, wahyu ilahi dan proses alami. Kita tidak perlu serta-merta menolak temuan sejarawan yang mencoba menelusuri proses tersebut. Justru, kita bisa berkolaborasi dengan mereka, mengakui temuan mereka, namun tetap menegaskan keyakinan bahwa Tuhan membimbing Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan pesan-pesan wahyu.
Pada akhirnya, kita mengakui bahwa ada dimensi spiritual yang melampaui penjelasan sejarah. Bimbingan Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW adalah fakta utama yang kita yakini, dan hal ini tidak terbantahkan oleh analisis sejarah, betapapun rincinya.
Jika kita melihat dari sudut pandang sejarah yang kritis, kita akan menemukan bahwa Yudaisme, Kristen, dan Islam, ketiga agama Abrahamik ini, memiliki keterkaitan dengan Zoroastrianisme. Beberapa konsep penting dalam agama-agama ini terlihat memiliki akar dalam Zoroastrianisme.
Pertama, konsep monoteisme, meskipun dalam Zoroastrianisme ada pemahaman dualistik tentang kebaikan (Ahura Mazda) dan kejahatan yang berasal dari sumber lain. Sementara itu, dalam agama Abrahamik, Tuhan adalah satu-satunya sumber segala sesuatu, termasuk kejahatan, sebagaimana ditegaskan dalam Kitab Yesaya. Meskipun demikian, Zoroastrianisme dapat dianggap sebagai bentuk monoteisme yang unik.
Kedua, Mesianisme, keyakinan akan kedatangan seorang penyelamat di akhir zaman, juga hadir dalam ketiga agama Abrahamik dan Zoroastrianisme. Kepercayaan ini memberikan harapan dan tujuan bagi penganutnya.
Ketiga, konsep kehendak bebas dan akuntabilitas di akhirat juga merupakan elemen penting dalam agama-agama ini. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih tindakannya, dan akan mempertanggungjawabkan pilihan tersebut di hadapan Tuhan di akhirat.
Meskipun agama-agama Abrahamik memiliki ciri khasnya masing-masing, kemiripan dengan Zoroastrianisme ini menunjukkan adanya pertukaran dan pengaruh gagasan dalam sejarah perkembangan agama-agama besar dunia. Hal ini memperkaya pemahaman kita tentang bagaimana keyakinan dan nilai-nilai spiritual berkembang dan berinteraksi satu sama lain sepanjang waktu.
Beberapa cerita dan praktik dalam Islam tampak serupa dengan tradisi Zoroastrianisme, serta ajaran-ajaran dalam Yudaisme dan Kristen. Dari perspektif seorang Muslim, hal ini tidak mengherankan karena dalam keyakinan Islam, Tuhan telah mengirimkan wahyu kepada manusia sejak zaman dahulu. Wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW bukanlah pesan pertama dari Tuhan, melainkan kelanjutan dari rangkaian petunjuk Ilahi yang telah disampaikan kepada nabi-nabi sebelumnya seperti Musa, Yesus, dan banyak nabi lainnya. Menurut Al-Qur`an, Tuhan telah mengirimkan pesan kepada berbagai kelompok manusia, berbicara melalui nabi-nabi yang berbeda dalam berbagai bahasa sepanjang sejarah.
Karena itu, sangat mungkin bahwa Zoroaster juga menerima wahyu dari Tuhan yang kemudian berlanjut dan diabadikan dalam ajaran Zoroastrianisme. Jika kita merayakan kesamaan antara Islam, Yudaisme, dan Kristen, kita seharusnya tidak memandang kesamaan tersebut sebagai bukti bahwa Islam bukan berasal dari Tuhan. Sebaliknya, kita memahami kesamaan ini sebagai tanda bahwa unsur-unsur ajaran ini berasal dari sumber ilahi yang sama.
Demikian pula, ajaran Zoroastrianisme dapat dimasukkan dalam kerangka yang lebih luas tentang wahyu Tuhan kepada umat manusia. Brian Arthur Brown, dalam bukunya "The Three Testaments," mengemukakan pandangan serupa dengan menghubungkan Yudaisme, Kristen, dan Islam kembali ke Zoroastrianisme, menunjukkan bagaimana tradisi-tradisi agama besar ini memiliki akar yang berpotongan satu sama lain dan mengalir dari sumber ketuhanan yang sama.
Bagi kita, umat Muslim, adanya kesamaan mendasar di antara agama-agama besar dunia bukanlah suatu kebetulan. Ini adalah bukti nyata bahwa Tuhan, dalam kasih sayang dan kebijaksanaan-Nya, telah mengirimkan pesan-pesan suci kepada umat manusia sepanjang sejarah melalui para nabi pilihan-Nya. Pesan-pesan ini, meskipun mungkin terbungkus dalam bahasa dan budaya yang berbeda, mengandung inti kebenaran yang sama, seruan untuk menyembah satu Tuhan, menjalani kehidupan yang bermoral, dan mempersiapkan diri untuk kehidupan setelah kematian.
Oleh karena itu, sebagai seorang Muslim, saya percaya bahwa semua agama pada dasarnya berasal dari Tuhan. Meskipun saya mungkin tidak memahami sepenuhnya ajaran-ajaran agama lain, saya tetap menghormati dan menghargai mereka sebagai bagian dari wahyu ilahi yang lebih luas. Namun, bagi kami, Al-Qur'an memiliki tempat istimewa. Al-Qur'an adalah wahyu terakhir dan paling sempurna dari Tuhan, yang dijaga keasliannya selama berabad-abad. Ketika kami membaca Al-Qur'an, kami yakin bahwa kami sedang membaca pesan utuh dari Tuhan, petunjuk terakhir bagi umat manusia untuk mencapai kebahagiaan sejati di dunia ini dan di akhirat.