Islam Menolak Ateisme
Oleh: Mohammad Damami Zain, Pengajar di PUTM Yogyakarta
Penekun ilmu perbandingan agama (The Comparative Study of Religions) atau para peneliti dalam sejarah agama (The Comparative Study of Religions) atau para peneliti dalam sejarah agama (The Comparative Study of Religions) sampai pada kesimpulan, bahwa makhluk manusia pada hakikatnya adalah “manusia yang bertuhan” (homo religious). Dengan demikian dapat dikatakan pada hakikatnya tidak ada manusia yang ateis dan tidak ada manusia yang bakatnya menganut paham ateisme.
Lalu timbul pertanyaan, mengapa di Barat modern timbul kefilsafatan ateistik. Pertanyaan ini dapat dijawab, pertama, gerakan renaissance. Yakni gerakan membangun kembali kebudayaan dan sistem kehidupan Yunani dan Romawi Kuno yang dirasakan tenggelam dan tidak berdaya yang akhirnya membuka pintu keterbukaan kebudayaan dan sistem kehidupan di Eropa.
Salah satu dampak keterbukaan tersebut adalah munculnya paham sekulerisme yang mengutamakan masalah–masalah yang sifatnya duniawi yang terlepas dari urusan yang bersifat surgawi, yang intinya adalah timbulnya perasaan punya kebebasan untuk melakukan berdasar pilihan–pilihannya sendiri. Berkuranglah jadinya penghormatan terhadap lembaga keagamaan dan muncullah paham–paham ateistik.
Kedua, wacana humanism sebagai salah satu dampak dari Renaisance yang akhirnya bersentuhan dengan paham yang lebih ekstrem lagi, yaitu paham materialism (paham serba kebendaan), maka paham–paham yang cenderung ateistik makin menjadi merajalela.
Agama Islam memiliki konsep yang sangat jelas dan kokoh tentang Tuhan (theos). Pertama, secara tersirat dalam ayat Al-Qur’an, ditegaskan bahwa masyarakat Arab di Mekkah adalah bertuhan (teistis) (Qs Al-Ikhlash, 112: 1), bukan tidak bertuhan (ateistis).
Hanya, mereka masih terjerumus dalam penyembahan berhala (watsaniyah) yang perlu diluruskan kembali (Qs Quraisy, 106: 3-4). Kedua Tuhan dalam agama Islam bernama jelas, yaitu Allah (Qs Al-Ikhlash 112: 1), memiliki sifat–sifat spesifik secara jelas pula yaitu Esa eksistensinya, tempat bergantung kepada seluruh makhluk. adanya tidak karena diadakan / dilahirkan (Qs Al-Ikhlash, 112: 2-4). Ketiga, konsep dan pemahaman tentang adanya tuhan adalah berdasar wahyu atau firman tuhan sendiri, bukan oleh hasil pencarian akal (pemikiran filosofis misalnya) atau oleh pencarian ruhani (renungan batin misalnya). Nabi Muhammad saw hanya sekedar “ menerima jadi” saja (Qs Al- Kahfi, 18: 110; Qs Fushishlat, 41: 6).
Dengan adanya konsep yang jelas tentang Tuhan dan keterjagaan kesakralan (kesucian) Tuhan dari kemungkinan–kemungkinan intervensi manusia lewat akal atau ruhaninya seperti terurai di atas, maka dengan amat jelas pula agama Islam menolak paham ateisme dalam segala bentuk, variasi , dan muatannya.
Oleh: Mohammad Damami Zain, Pengajar di PUTM Yogyakarta
Sumber: Majalah SM Edisi 3 Tahun 2023