Itikaf yang Membumi, Dari Ritual Menuju Aksi Sosial Berkeadilan
Oleh: Firman Nugraha, widyaiswara dan dosen di UIBBC, aktif di Majelis Pustaka dan Informasi Muhammadiyah Jabar
Secara bahasa, itikaf bermakna berdiam diri. Dalam tradisi Islam, ia dikenal sebagai praktik mengasingkan diri di masjid—khususnya di sepuluh malam terakhir Ramadan—untuk intensifikasi ibadah: tilawah, zikir, salat, dan kontemplasi. Namun, jika itikaf hanya dipahami sebagai retret spiritual individual, ia berisiko menjadi ritual yang terpisah dari denyut kehidupan sosial. Padahal, esensi itikaf seharusnya melampaui dimensi personal; ia mesti menjadi momentum refleksi yang melahirkan aksi nyata bagi keadilan sosial.
Itikaf sejatinya sebagai momentum transformasi diri dan lingkungan. Dalam QS. Al-Baqarah: 187, Allah menyebut masjid sebagai tempat "i'tikaf"—bukan sekadar ruang fisik, melainkan simbol keterhubungan dengan-Nya dan sesama. Nabi Muhammad SAW sendiri kerap menggabungkan ibadah mahdhah dengan kepedulian sosial. Sebuah hadis menyatakan: "Barang siapa beritikaf dengan iman dan pengharapan (pada Allah), diampuni dosa-dosanya yang lalu." (HR. Bukhari-Muslim).
Namun, pengampunan dosa dalam Islam tidak bersifat pasif, ia menuntut perubahan perilaku. Jika itikaf hanya berakhir dengan perasaan khusyuk pribadi tanpa implikasi sosial, maka ia seperti pohon yang tidak berbuah. Spiritualitas sejati harus menumbuhkan tanggung jawab terhadap realitas ketimpangan di sekeliling kita.
Dari Masjid ke Masyarakat, Menjawab Panggilan Keadilan
Dalam hadis qudsi, Allah berfirman: "Wahai manusia, Aku sakit tapi kau tak menjenguk-Ku, Aku lapar tapi kau tak memberi-Ku makan..." (HR. Muslim).
Pesan ini tegas bahwa ketakwaan tidak sah jika mengabaikan penderitaan orang lain. Itikaf yang hakiki harus melahirkan kepekaan terhadap ketidakadilan—apakah itu kelaparan, kesenjangan ekonomi, atau diskriminasi. Seorang yang menghabiskan sepuluh malam terakhir Ramadan dalam itikaf, lalu kembali ke masyarakat tanpa peduli pada nasib fakir miskin, ibarat orang yang berenang di laut tetapi tetap haus.
Contoh konkret? Di era Nabi, masjid tidak hanya tempat salat, melainkan pusat pendidikan, advokasi, dan bantuan sosial. Umar bin Khattab RA dikenal kerap membagikan gandum dari Baitul Mal usai itikaf. Spirit inilah yang harus dihidupkan kembali. Masjid sebagai basis gerakan sosial, bukan hanya menara spiritual yang menjulang tinggi namun asing dari realitas tanah.
Konvergensi Spiritualitas dan Keadilan: Perspektif Lintas Agama
Prinsip ini bukan monopoli Islam. Dalam Injil Matius 25:35-40, Yesus menegaskan bahwa memberi makan orang lapar dan menjenguk orang sakit adalah ibadah. Dalam Hindu, konsep seva (pelayanan tanpa pamrih) adalah jalan mendekatkan diri pada Tuhan. Buddha mengajarkan metta (cinta kasih universal) yang harus diwujudkan dalam aksi nyata.
Artinya, semua agama sepakatsepakat bahwa ritual tanpa tanggung jawab sosial adalah keberagamaan yang pincang. Itikaf, jika dimaknai secara mendalam, adalah latihan spiritual untuk memantik kesadaran kolektif.
Agar itikaf tidak terjebak dalam formalisme, kita perlu mendorong: 1) Itikaf produktif. Selama berdiam di masjid, mutakif (orang yang itikaf) tidak hanya berzikir, tetapi juga merancang program sosial—misalnya pendampingan anak yatim atau penggalangan dana untuk masyarakat rentan. 2) Masjid sebagai pusat pemberdayaan. Pasca-Ramadan, masjid harus aktif menggalang donasi, membuka keterampilan kerja, atau mengadvokasi kebijakan pro-rakyat miskin. 3) Pendidikan kesadaran kritis. Kultum selama itikaf harus menyelipkan tema keadilan sosial, seperti pentingnya zakat, bahaya korupsi, atau solidaritas antarumat beragama.
Itikaf yang Menyapa Dunia
Itikaf bukan pelarian dari dunia, melainkan persiapan untuk kembali ke dunia dengan energi spiritual yang membara. Seorang mutakif sejati adalah mereka yang keluar dari masjid dengan tekad memperbaiki ketimpangan di sekitarnya.
Mari kita jadikan itikaf tahun ini bukan sekadar tradisi, melainkan titik tolak perubahan. Sebab, ketakwaan tertinggi adalah yang tidak hanya menghadirkan Allah dalam sujud, tetapi juga dalam kepedulian pada sesama. Iman bukan hanya pengharapan, melainkan harus menjadi tindakan. []