Oleh: Prof. Dr. H. Haedar Nashir, M.Si
Tahu Karna sang Raja Angga? Dia kestria digdaya. Anak Dewi Kunti anugerah dari Dewa Surya. Kakak tertua Pandawa dari pihak ibu yakni Yudhistira, Bimasena, dan Arjuna. Tapi tokoh ini kontroversial dalam kisah Mahabarata, sebab berada di pihak Kurawa lawan Pandawa.
Karna kesatria tangguh, namun selalu dianggap anak Sudra. Dia sejak kecil hidup bersama Raditia tukang kereta kuda. Ketika hendak berguru kepada Resi Drona dia ditolak karena bukan kestria. Dia lalu menjadi murid Maharesi Parasurama setelah menyamar jadi seorang Brahmana muda. Jadi dia satu guru dengan Bhisma yang superhebat, kakek para Kurawa dan Pandawa.
Karna sangat hebat dan menjadi andalan utama pihak Kurawa dalam perang Baratayudha. Terutama setelah Bhisma dan Drona gugur di medan perang. Karna dianugerahi jago memanah, sebagaimana Arjuna. Karna memiliki panah Kunta, panah berbusur raja ular Sancaka, dan bisa memanggil senjata mematikan Bhrahmastra dari mahaguru Parasurama.
Tapi kisah berakhir tragis. Di Kuru Setra melawan Arjuna dia mati mengenaskan. Di akhir pertarungan memanah dia sempat diberi waktu 15 menit oleh Arjuna untuk memanggil Bhrahmastra, sebelum matahari terbenam. Karna gagal mendatangkan senjata supersakti itu, karena kutukan gurunya Parasurama atas dustanya menyamar jadi Bhrahmana.
Semua ilmunya jadi menghilang dan tidak dapat dipergunakan. Senjata Kunta gagal dipakai lawan Arjuna sebab sudah digunakan membunuh Gatotkaca. Panah Sancaka salah sasaran. Roda pedati yang amblas ke tanah saat lawan Arjuna tidak mampu dia angkat, padahal dia merasa jago karena anak Raditia yang ahli roda pedati. Seluruh ilmu dan senjata serba ampuh miliknya musnah tak berguna.
Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, Karna bertanya getir kepada Bhasudeva Kreshna. Kenapa semua kegagalan menimpa dirinya? “Aku berjuang dengan kekuatanku sendiri, apa dosaku hingga semua kemalangan ini terjadi?” tanya Karna dengan rasa perih.
Kreshna menjawab, “Kamu memang hebat, tapi kamu angkuh merasa segala bisa di atas orang lain”. “Kamu Anak Radha, salah memilih jalan”, tukas Kreshna. “Kehebatan dan kesuksesanmu hanya dimanfaatkan oleh Dhuryudhana”, tambah sang Kreshna. Itulah penyebab kemalangan sang kesatria Karna.
Karna sungguh berkepala batu. Ketika diingatkan Bhisma sang kakek dan ibunya Kunti, dia tak menggubris dan lebih memilih bersama Dhuryudhana di pihak Kurawa ketimbang memihak Pandawa. Karna merasa serbabisa. Merasa bisa sendiri.
Tragedi Adipati Karna adalah kisah gelap kehidupan. Anak Radha itu “adigang adigung adiguna”. Gemar pamer kuasa, kehebatan, dan kepandaian. Merasa tak memerlukan bantuan orang lain.
Kesuksesannya murni merasa atas perjuangan dirinya. Tapi, di tempat keangkuhan itulah dia jatuh dan mati nestapa.
Sehebat apapun orang atau kelompok. Manakala merasa bisa segalanya dan angkuh diri, hidup berujung tragis. Angkuh diri itu takabur, congkak, dan sombong. Sabda Nabi, ciri orang sombong ada dua: “batharu al-haq wa ghamtu al-nas”, suka menolak kebenaran dan gemar meremehkan orang lain. Kesuksesannya mutlak atas perjuangan dan kehebatan dirinya.
Kata pepatah Jawa, “Ojo rumungso biso, nanging kudu biso rumongso". Artinya, “Jangan merasa bisa, tapi bisalah merasakan alias sadar diri”. Jangan merasa bisa sendiri tanpa bantuan orang lain. Merasa mampu sendiri semata kekuatan diri. Orang lain dan institusi di mana dia berada, diabaikan dan dianggapnya “nothing”. Tidak ada artinya. Seng ada lawan!
Mari belajar rendah hati agar banyak kawan dan diberkahi Tuhan. Untuk apa merasa bisa dan paling hebat sendiri? Kesatria Karna yang perkasa berakhir nestapa. Seperti tragedi Fir’aun yang merasa super adidaya, “Aku adalah tuhan kalian yang paling tinggi” (QS An-Nazi’at: 24). Raja Ramses II itu akhirnya mati tragis ditenggelamkan Tuhan di Laut Merah!