Jelang Munas Satu Abad: Menyongsong Transformasi Kedua Majelis Tarjih (5)

Publish

30 January 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
1794
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Jelang Munas Satu Abad: Menyongsong Transformasi Kedua Majelis Tarjih (5)

Oleh: Mu’arif

Jika lahirnya Majelis Tarjih pada 1927 adalah ‘lompatan besar’ pertama dalam sejarah Muhammadiyah, maka perubahan Manhaj Tarjih yang sebelumnya bersifat mono-disiplin menjadi multi-disiplin menjadi penanda ‘lompatan besar’ kedua. Jika transformasi pertama bersifat institusional, maka transformasi kedua pada level paradigmatik. Transformasi pertama berhasil menggeser model kepemimpinan keagamaan di Muhammadiyah yang kharismatik menjadi rasional, sedangkan transformasi kedua menggeser paradigma keilmuan mono-disiplin (agama murni) menjadi paradigma keilmuan multi-disiplin. 

***

Pasca K.H. Azhar Basyir, M.A., tampaknya gerakan mengembalikan fungsi Majelis Tarjih sebagai institusi pembaruan pemikiran keislaman di Muhammadiyah kembali dilanjutkan oleh Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman (1990-1995). Kepada tokoh yang satu ini, secara khusus penulis memiliki pengalaman tersendiri tentang bagaimana komitmen dan ikhtiar Ketua Majelis Tarjih ini hendak membawa Muhammadiyah ke dalam kancah dinamika pemikiran keislaman kontemporer. Apalagi, pada tahun 2008, penulis pernah menjadi penyunting kedua edisi revisi buku Tekstual, Kontekstual, dan Liberal: Koreksi atas Loncatan Pemikiran karya Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman yang diterbitkan oleh penerbit Suara Muhammadiyah. Kesan penulis khusus untuk tokoh yang satu ini adalah bahwa beliau sangat hati-hati terhadap kemunculan diskursus keislaman kontemporer, tetapi tidak antipati atau menutup mata dengan dinamika pemikiran kontemporer atau teori baru yang relevan dan sejalan dengan manhaj Muhammadiyah. Sangat berhati-hati, selektif, dan selalu merujuk pada manhaj tarjih Muhammadiyah, demikian kesan penulis kepada Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman. 

Adalah suatu peristiwa yang langka dan mungkin menyalahi legasi Majelis Tarjih ketika seorang ketuanya ditunjuk bukan sosok yang memiliki basic keilmuan syariah. Ini terjadi ketika Prof. Dr. M. Amin Abdullah yang basic keilmuannya adalah Ushuluddin (Filsafat Islam) ditunjuk sebagai Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI) pada periode 1995-2000. 

“…pada tahun 1995, sewaktu berlangsung Muktamar Muhammadiyah di Banda Aceh, saya diberi kesempatan berbicara di hadapan para muktamirin. Saya tidak tahu bagaimana prosesnya, sehingga akhirnya Muhammadiyah di bawah kepemimpinan Pak Amien Rais mempercayai saya menjadi ketua majelis Tarjih. Bagi saya, ini merupakan keputusan yang luar biasa, dalam arti kepemimpinan Majelis yang berasal dari tradisi Syariah beralih ke Ushuluddin,” demikian pengakuan M. Amin Abdullah ketika mengawali karir di Majelis Tarjih (Muhammad Husain Kamaruddin, “Muhammad Amin Abdullah: Tokoh Studi Islam dan Perumus Pengembangan Manhaj Tarjih,” 2017). 

Pengalaman dan kesaksian ini pun kembali disampaikan oleh Prof. M. Amin Abdullah ketika pada suatu sore hari penulis bersama Azaki Khoirudin dan Hendra Darmawan (keduanya dosen muda potensial di UAD) bersilaturrahim ke kediaman beliau. Kepada kami bertiga, Prof. M. Amin Abdullah menuturkan cerita bagaimana beliau bisa terlibat aktif di Muhammadiyah, khususnya di majelis yang paling vital dalam organisasi pembaruan Islam ini. Bahwa sosok yang paling berjasa mengajak dan mengenalkan beliau kepada Muhammadiyah adalah Prof. Drs. Asjmuni Abdurrahman. Tidak hanya diajak dan dikenalkan kepada Muhammadiyah, bahkan Prof. M. Amin Abdullah akhirnya mendapat amanat sebagai Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam pada masa kepemimpinan Prof. Dr. M. Amien Rais, M.A.

Ibarat “tumbu ketemu tutup”—peribahasa mengandung arti “orang dalam momentum yang tepat”—kehadiran Prof. M. Amin Abdullah adalah jawaban atas kegelisahan Angkatan Muda yang melihat gejala “ortodoksi ilmiah”—meminjam istilah Arthur Rorsch—yang sedang terjadi di tubuh Majelis Tarjih Muhammadiyah. Peran Prof. H. Asjumi Abdurrahman yang mampu menemukan talenta yang dibutuhkan Muhammadiyah pun pantas diapresiasi. Ibarat tubuh yang sakit, maka yang dibutuhkan adalah jasa seorang dokter yang mampu mendiagnosa penyakit dalam tubuh untuk kemudian diberi resep obatnya. Kehadiran Prof. Dr. M. Amin Abdullah, M.A. dengan basic keilmuan Filsafat adalah obat yang paling tepat untuk mendiagnosa penyakit yang bersarang di tubuh Majelis Tarjih. Krisis manhaj Muhammadiyah yang sebelumnya selalu dimonopoli oleh tradisi keilmuan Syariah sedang mengalami gejala “ortodoksi ilmiah” sehingga harus didiagnosa secara filosofis untuk menemukan dan membedakan high order thinking dan low order thinking sehingga diketahui secara jelas dan tegas (clear and distink) mana wilayah-wilayah al-tsawabit (hal-hal yang tetap, disting) dan al-mutaghayyirat (hal-hal yang dapat berubah, prediktif).

Dalam masa kepemimpinan Prof. Dr. M. Amin Abdullah, M.A. inilah, nomenklatur Majelis Tarjih ditambah dengan “Pengembangan Pemikiran Islam” (MTPPI). Sejak zaman pertama kali berdiri (1927) sampai masa kepemimpinan K.H. Ahmad Azhar Basyir, M.A., nama unsur pembantu pimpinan ini selalu menggunakan nama “Majelis Tarjih.” Maka, penulis kembali mempertegas bahwa ini suatu momentum lompatan besar dalam sejarah organisasi Muhammadiyah. Dan tampaknya, penambahan “Pengembangan Pemikiran Islam” ini sejalan dengan kegelisahan Angkatan Muda yang menghendaki kembalinya fungsi Majelis Tarjih sebagai lembaga tajdid (pembaruan) yang menjadi identitas Muhammadiyah. Ditopang dengan political will dari orang nomor satu di Pimpinan Pusat Muhammadiyah, yaitu Prof. Dr. M. Amien Rais, M.A. yang dikenal sebagai salah satu “Pendekar Chicago”—meminjam istilah Abdurrahman Wahid untuk menyebut tiga sosok intelektual lulusan Universitas Chicago: Nurcholis Madjid, Amien Rais, dan Ahmad Syafii Maarif (Abdurrahman Wahid, “Tiga Pendekar dari Chicago,” Tempo, 27 Maret 1993).

Lompatan besar dilakukan oleh Prof. Dr. M. Amin Abdullah, M.A. ketika memimpin Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam dengan mengenalkan tokoh-tokoh epistemolog baru dalam Studi Islam kontemporer, sebut saja Muhammad Arkoun, Muhammad ‘Abid Al-Jabiri, Abdullah Saeed, Ibrahim M. Abu-Rabi’, Abdolkarim Soroush, Jasser Auda, Khaled Aboe El-Fadl, dan lain-lain. Belum lagi pemikiran dari tokoh-tokoh barat yang sangat berpengaruh dalam perkembangan keilmuan sosial (social humanities) kontemporer maupun ilmu-ilmu pasti lainnya. Lompatan paradigma ini telah melahirkan respon berupa guncangan besar di internal Muhammadiyah. 

Jika sebelumnya tradisi epistemologi keilmuan di Majelis Tarjih masih terbatas pada penerapan pendekatan bayani (penjelasan deskriptif—verbal), maka lewat pemikiran M.’Abid Al-Jabiri, Prof. Dr. M. Amin Abdullah, M.A. mengenalkan pendekatan Burhani (demonstratif, positivistik) dan Irfani (sufistik, asketis) sehingga memperkaya sekaligus memperluas radius Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Kehadiran tata norma baru internasional tidak bisa dihindari sehingga Muhammadiyah harus merespon dengan cara mengadopsi sekaligus mengadaptasi tata norma baru tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu legasi Prof. Dr. M. Amin Abdullah, M.A. dalam pengembangan pemikiran metodologis di Majelis Tarjih (sekarang Majelis Tarjih dan Tajdid) adalah penggunaan kerangka epistemologi dari M. ‘Abid Al-Jabiri ini, yaitu metode bayani, irfani, dan burhani (Muhammad Husain Kamaruddin, “Muhammad Amin Abdullah,” 2017). 

Guncangan besar di internal Muhammadiyah dimulai ketika Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam mengeluarkan salah satu produknya, yaitu buku Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama yang memicu ragam respon negatif dari internal Muhammadiyah sendiri. Munculnya ragam respon negatif di internal Muhammadiyah menunjukkan gambaran senyata-nyatanya bahwa sebelum Prof. Dr. M. Amin Abdullah, M.A. menjabat sebagai Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, khazanah keilmuan keislaman di lingkungan persyarikatan benar-benar tertinggal jauh. Penulis punya pengalaman tersendiri terkait penerbitan buku ini. Yaitu, ketika salah seorang tokoh penting di salah satu Amal Usaha Muhammadiyah di Yogyakarta di depan penulis menyatakan dengan jelas dan tegas bahwa sosok M. Amin Abdullah dianggap liberal dan sesat. Padahal, pada waktu itu Prof. Dr. M. Amin Abdullah, M.A. sedang menjabat sebagai salah satu ketua dalam jajaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, M.A.     

Kerangka-kerangka epistemologis dari tokoh-tokoh lain, seperti teori Ibrahim M. Abu-Rabi’ dengan konsep studi Islam multiperspektif, teori perluasan maqashid dari Jasser Auda, dan konsep ijtihad progresif dari Abdullah Saeed tampak mewarnai kerangka metodologis dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah saat ini. Khusus pemikiran Abdullah Saeed tentang gagasan “Ijtihad Progresif,“ secara pribadi penulis memiliki pengalaman spesial dengan Prof. Dr. M. Amin Abdullah, M.A. Pada awal tahun 2019, penulis mendapat amanah special untuk menghimpun dan mengedit naskah buku Fresh Ijtihad: Manhaj Keislaman Muhammadiyah di Era Disrupsi terbitan Penerbit Suara Muhammadiyah. Dari sinilah penulis mendapati banyak konsep-konsep teoritik Abdullah Saeed yang kemudian menginspirasi judul buku tersebut.

Hasil dari transformasi di tarjih pada level paradigmatik dapat dilihat dari model dan bentuk produk-produk tarjih saat ini yang berbeda dengan sebelumnya. Sebagai gambaran ilustratif berkaitan dengan karakteristik produk-produk tarjih dari sebelum kehadiran Prof. Dr. M. Amin Abdullah, M.A. hingga beliau hadir di Muhammadiyah, bahkan ketika dikokohkan oleh Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A. kira-kira demikian: produk Majelis Tarjih lama dengan pendekatan mono-disiplin: Kitab Iman, Kitab Siyam, Kitab Sembahyang, dan lain-lain. Setelah melewati lompatan paradigma keilmuan, maka produk Majelis Tarjih baru dengan pendekatan multi-disiplin: Fikih Air, Fikih Tatakelola, Fikih Kebencanaan, dan lain-lain. (Habis)


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Berdaya di Peradaban Ekonomi Digital Oleh: Budi Utomo, M.M., Dosen Manajemen Bisnis Syariah FE....

Suara Muhammadiyah

1 August 2024

Wawasan

Untuk Sang Presiden Oleh: Ahsan Jamet Hamidi, Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Legoso, Wakil Sek....

Suara Muhammadiyah

22 October 2024

Wawasan

Tiga Prinsip Hidup Menjaga Kualitas Kemanusiaan Oleh: M. Rifqi Rosyidi, Lc., M.Ag "Wa ja'alanī mu....

Suara Muhammadiyah

27 October 2023

Wawasan

Sunat Perempuan: Tradisi yang Harus Ditinggalkan Oleh Ika Sofia Rizqiani, S.Pd.I., M.S.I. Sunat ....

Suara Muhammadiyah

1 September 2024

Wawasan

Anak Saleh (12) Oleh: Mohammad Fakhrudin "Anak saleh bukan barang instan. Dia diperoleh melalui pr....

Suara Muhammadiyah

10 October 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah