Oleh: Donny Syofyan
Islam mengajarkan bahwa kita dilahirkan dengan karakter yang bersih tanpa dosa dan kita tidak bertanggung jawab atas perbuatan orang lain. Sebab setiap diri hanya bertanggung jawab atas perbuatan sendiri. Kita dilahirkan dalam keadaan suci.
Pada saat yang sama, kita menyadari ada agama tertentu yang meyakini bahwa kehidupan yang kita jalani saat ini adalah hasil dari kehidupan sebelumnya. Kita menerima karma buruk akibat perbuatan kita sebelumnya, meskipun kita tidak ingat bahwa kita berada di kehidupan sebelumnya atau apa yang telah kita lakukan sehingga pantas mendapatkan apa yang kita alami sekarang.
Ada juga keyakinan lain bahwa manusia pertama membawa beban dosa. Karena dosanya, kita berada dalam kebobrokan. Kita berbuat dosa karena kita mewarisi sifat berdosa itu dari orang tua pertama kita, yakni Adam. Bahkan ada yang melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa ada dosa warisan yang membuat kita menderita hingga hari ini.
Dengan pemikiran dan keyakinan seperti itu, tentu saja ada orang yang depresi, merasa diri bejat, merasa bahwa kita tidak berharga. Dibutuhkan upaya ekstra untuk mengatasi rintangan di mana kita merasa ada sesuatu yang salah. Seolah kita seperti berada dalam lingkaran setan dan tidak melihat jalan keluarnya. Ini sebuah masalah besar.
Lalu, bagaimana Islam hadir mengatasi masalah itu? Islam mengajarkan kita bahwa tidak ada yang namanya dosa warisan atau dosa asal. Kita bertanggung jawab atas perbuatan kita sendiri. Kita tidak bertanggung jawab atas apa yang dilakukan orang lain. Tidak ada kehidupan sebelumnya di dunia ini yang akan memberikan karma buruk pada kita. Kita berada di dunia ini hanya sekali saja, dan apa pun yang kita lakukan di sini akan membentuk kehidupan kita di akhirat kelak. Kita hanya bertanggung jawab atas perbuatan kita sendiri.
Al-Qur'an mengatakan dalam ayat yang sudah sering kita hafal sejak kecil. “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS 99: 7-8). Lalu bagaimana dengan dosa Adam? Al-Qur'an menunjukkan bahwa Adam telah diampuni dan, bagaimanapun juga, dosa-dosanya tidak dapat ditanggungkan kepada kita. Sifat dosa yang dilakukan Adam tidak akan merusak kita. Setidaknya Tuhan tidak akan meminta pertanggungjawaban kita atas dampak apa pun yang tersisa dari dosa Adam karena Allah mengetahui keadaan kita. Dia Maha Adil.
Sebaliknya Al-Qur'an mengajarkan kita. “Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” (QS 35: 18). Hal ini diulangi berulang kali dalam Al-Qur'an. Bahkan, dikatakan dalam Al-Qur'an bahwa ini adalah ajaran yang akan kita temukan pada lembaran-lembaran gulungan sebelumnya (shuhuful ûlâ) yang diturunkan kepada Ibrahim dan Musa.
Dengan mengingat ajaran ini, sesuatu yang sangat jelas sekali dalam Al-Qur’an, kita tidak bertanggung jawab atas dosa Adam. Kita bertanggung jawab atas perbuatan kita sendiri. Kita tidak bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan orang lain sebelum kita. Dengan segala hormat kepada Adam, yang oleh umat Islam dianggap sebagai nabi dalam, kita harus memprotes dan mengatakan bahwa kita tidak berada di sana ketika dia melakukan dosa atau apa pun yang dilakukannya.
Bagaimana manusia hari ini bisa bertanggung jawab atas perbuatan Adam? Ada yang menegaskan bahwa, "Adam adalah bapaknya umat manusia. Jadi apa pun yang dia lakukan akan berdampak pada seluruh umat manusia secara bersama-sama." Kita perlu mengatakan bahwa kita tidak ada di sana untuk mengangkat atau memilihnya. Jadi, dengan menghormati Adam sebagai bapak kita, bukan salah kita kalau dia berbuat dosa.
Allah yang Maha Adil melihat gambaran secara total dan mengetahui apa yang telah terjadi. Allah mengetahui bahwa kita tidak bertanggung jawab atas hal itu karena kita tidak bersama Adam di sana. Dia hanya akan menilai bahwa kita bertanggung jawab atas apa yang kita lakukan dalam keadaan sadar akan keberadaan kita.
Ini memberi kita rasa aman dan bebas dari rasa bersalah atas kejahatan sebelumnya atau anggapan bahwa kita melakukan kesalahan di kehidupan sebelumnya. Hal ini memberdayakan kita untuk terus melakukan perbuatan baik. Perbuatan baik kita jauh lebih penting. Tentunya kita harus menjauhi kejahatan karena perbuatan jahat kita akan menentukan masa depan kita yang buruk pada kehidupan akhirat.
Keyakinan ini mendorongan kita untuk maju dan berbuat baik. Jika kita berpikir bahwa kita dilahirkan dalam keadaan rusak dan kemudian kita menghadapi rintangan yang bukan ulah kita, maka kita akan merasa tertekan. Semua orang ingin menjadi ‘ketua kelas’ di hampir semua bidang. Bahkan di bidang spiritual pun, kita ingin berbuat lebih baik, kita ingin berprestasi, kita ingin naik lebih tinggi dan lebih dekat dengan Allah.
Namun jika kita merasa ‘selimut basah’ sudah menyelubungi kita, maka akan ada rasa bersalah yang besar. Bila kita diciptakan dengan jiwa dan perasaan rendah diri karena mewarisi dosa asal dari Adam, tentu ini akan melemahkan kita. Namun Al-Qur'an mengatakan bahwa “maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (QS 91: 8-10).
Kita tidak ingin merusak jiwa kita sendiri, tetapi kita mempunyai kesempatan untuk mengangkat diri kita sendiri agar lebih dekat dengan Tuhan. Itu adalah salah alasan yang kuat untuk menjadi Muslim. Kita ingin menjadi pribadi yang lebih baik. Bagaimana bisa? Kita menjadi orang yang lebih baik dengan melakukan perbuatan baik. Tentu saja kita juga bergantung pada rahmat dan kemurahan Allah, namun hendaknya kita mulai dengan amal baik kita sendiri dan selebihnya serahkan pada Tuhan atas pertolongan-Nya, rahmat-Nya, dan bimbingan-Nya.
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas