Oleh: Fathurrahman Kamal, Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Pada Langit yang Ketujuh terdapat “bangunan suci” yang bila ditarik garis ke bawah ke permukaan bumi, akan sejajar dengan bangunan Ka’bah di Makkah Al-Mukarramah. Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan; dalam Shahihain, bahwa Rasulullah ‘alaihissalam bersabda :”Ketika peristiwa Isra’ pada saat melewati langit ke tujuh, ‘kemudian aku diangkat menuju baitul makmur, padanya masuk (datang) setiap hari 70.000 malaikat yang tidak akan kembali lagi’. Yaitu mereka beribadah dan berthawaf sebagaimana penduduk bumi thawaf di Ka’bah. Demikian juga Al-Baitul Ma’mur merupakah ka’bah penduduk langit ketujuh. Oleh karena itu, didapati Nabi Ibrahim Al-Khalil ‘alaihissalam menyandarkan badannya pada baitul makmur karena ia telah membangun ka’bah di bumi. (Tafsir Ibnu Katsir, VII/427-428).
Al-Azraqy, dalam kitabnya Akhbar Makkah (I/35-36), meriwayatkan dari Ibnu Abbas RA bahwa, sesaat setelah Nabiyullah Adam ‘Alaihissalam diperintahkan oleh Allah meninggalkan Surga, kemudian turun ke bumi; ia merasa risau, galau, dan berkeluh kesah kepada Allah bahwa ia tak lagi menyaksikan indahnya panorama thawaf para Malaikat di Langit. Allah menjawab,”Semuanya bersebab kekhilafanmu wahai, Adam!.” Allah perintahkan kepada para Malikat untuk mendirikan Baitullah agar Nabiyullah Adam ‘alaihissalam, serta para penghuni bumi dapat menunaikan thawaf sebagaimana para Malaikat berthawaf di Baitul Ma’mur.
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِى بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِّلْعَٰلَمِينَ
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (QS. Ali Imran:96)
Pesan moral dalam rangkaian riwayat tersebut, bahwa persoalan fundamental dalam kehidupan manusia bukanlah persoalan materi, harta kekayaan, dan jabatan. Tidak sedikit di antara para pemikir dan pengamat tentang peradaban-peradaban besar di dunia berpandangan bahwa jatuhnya suatu peradaban bukanlah berawal dari kontestasi dan benturan dengan paradaban ataupun kekuatan luar, tetapi lebih karena faktor “spiritualitas” dan “agama”.
Arnold Toynbee menemukan, bahwa agama dan spiritualitas memainkan peran yang luar biasa dalam jatuh dan bangunnya sebuah peradaban. Karena itu aspek spiritual memainkan peran sentral dalam mempertahankan eksistensi suatu peradaban. Peradaban yang telah hilang inti spiritualitasnya, maka ia akan mengalami penurunan.
Dari perspektif ini dapat dikatakan bahwa bila negeri ini, Indonesia, meminggirkan peran sentral agama (khususnya, Islam) dari berbagai persoalan kompleks kebangsaan, kenegaraan, dan kemanusiaan: ini menjadi pertanda kuat bahwa kita sedang menuju kehancuran.
Dari perspektif ilmu pengetahuan kontemporer, Jamal Muhammad Al-Zakiy, dalam karyanya “Thibb al-‘Ibâdât” menjelaskan bahwa putaran thawaf dari arah kiri ke kanan menjadi bukti kemukjizatan saintifik ibadah dalam Islam.
Dijelaskannya, arah yang berlawanan dengan putaran jarum jam ini merupakan putaran yang sama sebagaimana putaran alam semesta mulai dari unsur yang terkecilnya hingga yang terbesar. Elektron berputar mengelilingi dirinya lalu mengelilingi nucleus atau inti atom dengan arah putar yang sama dengan thawaf. Bagitu juga dengan putaran rembulan mengelilingi bumi. Bumi mengelilingi matahari, tata surya mengelilingi pusat galaksi, kumpulan bintang-bintang mengelilingi poros alam raya, yang tidak diketahui kecuali Allah. Masing-masing beredar pada garis edarnya, dari kiri ke kanan.
Thawaf yang kita lakukan secara “mikro” tak berbeda dengan thawafnya alam semesta yang “makro”. Tentu putaran pada Ka’bah al-Musyarrafah di bumi terhubung secara langsung dengan thawafnya para Malaikat di sekeliling “Baitul Ma’mur”. Dengan kata lain, Ka’bah merupakan titik sentral konektifitas bumi dengan karakteristik kehidupannya yang teramat rendah (dunia) dan “Langit” yang tinggi tak terjangkau akal manusiawi.
Thawaf yang kita lakukan di seputar Ka’bah sebagaimana thawafnya para Malaikat di Baitul Ma’mur meninggalkan jejak spiritual yang teramat mendalam:
Pertama, hidup itu berpusat pada satu titik sentral yang merupakan pusat inti gravitasi ruhaniyah Allah oriented);
Kedua, thawaf bermakna perjalanan qalbu dan ruh, sekaligus akal dan raga yang aktif dan dinamis menuju Allah Ta’ala. Kita harus merasakan kedekatan dan kerinduan kepada Rabb (al-uns wa al-syawq) yang melahirkan sikap berserah diri secara totalitas (aslamtu li Rabbi-l-‘âlamîn), Allah Ta’ala sebagai poros kehidupan ini;
Ketiga, thawaf juga memberi makna proses tazkyatun nafsi (pensucian jiwa) yang tiada henti yang berakhir dengan ruku’ dan sujud, serta deklarasi “Uluhiyah” Allah & “Rububiyah”nya disertai antiloyalitas terhadap tuhan-tuhan buatan dengan menjunjung tinggi sikap tasamuh. Tak ketinggalan semangat menebar kesejukan dan oksigen kehidupan sebagaimana anjuran meneguk air zamzam usai menunaikan dua rakaat sunnah thawaf;
Keempat, thawaf mengajarkan makna kebersamaan dalam hidup, termasuk membangun peradaban yang berketuhanan. Berjuang perlu visi dan tujuan bersama sebagai umat, bangsa, dan warga dunia (common platform). Perlu kebersamaan; tidak harus seragam, dan monoton pada garis yang sama, tetapi tetap berputar kolektif pada rotasi alam semesta: Tidak saling menyikut, menyakiti, apalagi merendahkan martabat sesama. Wallâhu A’lamu bish-shawãb.
Misfalah, Makkah Al-Mukarramah, 6 Dzul Hijjah 1446 H