Degradasi Bermuhammadiyah
Oleh: Saidun Derani
Pelaksanaan Pengajian bulanan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Serang Ahad, 24 Desember 2023, tema yang diusung cukup menarik masalah “Degradasi Bermuhammadiyah”. Penceramahnya cukup kondang dan sudah dikenal luas di Provinsi Banten lebih-lebih di kalangan anggota Persyarikatan Muhammadiyah, yaitu Dr. KH. Muhammad Syamsuddin , M. Pd.
Menurut penceramah yang suka ngabodor ini bahwa indikasi adanya degradasi bermuhammadiyah itu terlihat munculnya beberapa istilah di tengah anggota persyarikatan. Misalnya dapat disebutkan kata Mursal untuk menyebutkan anggota Muhammadiyah Rasa Salafi. Lalu ada lagi kata Muhti akronim dari anggota Muhammadiyah Rasa Hizbul Tahrir Indonesia.
Selain itu ada juga istilah Muhpi yang dimaknakan dengan anggota Muhammadiyah Rasa Front Pembela Islam (FPI) yang berafiliasi dengan tokoh Habib Riziq. Disebut pula anggota persyarikatan yang berafiliasi kepada NII dengan sebutan MuhNii (Muhamdiyah Negara Islam Indonesia). Dan terakhir dilabelkan dengan istilah Muhbi dimaknai dengan anggota Muhammadiyah Rasa Wahhabi.
Menurut keyakinan peceramah yang memang Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Banten dan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Banten demikian adanya. Dalam konteks ini kata Pak Kyai menjelaskan bahwa memang kelihatan dan tampak penurunan (degradasi) kebanggaan bermuhammadiyah sebagian anggota persyarikatan khususnya di PWM Banten (klaim ini tidak diikuti dengan data yang valid). Sebab itu sudah seharusnya setiap pengurus dan warga Muhammadiyah memiliki jiwa Gerakan Muhammadiyah yang Mencerahkan dan Berkemajuan, tegasnya.
Dengan demikian pertanyaan yang mucul adalah mengapa (why) ada penurunan kebanggaan bermuhammadiyah di kalangan anggota persyarikatan? Apakah ini juga tanda-tanda kiamat shaghir atau kiamat kecil dalam konteks bermuhammadiyah? Atau ada sesuatu yang perlu dipertanyakan terkait “dalaman” persyarikatan? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang bergelayutan dalam pikiran penulis yang coba dituangkan paparannya di bawah ini.
Sebagaimana yang penulis pertanyakan di atas why and how ada beberapa pendapat di bawah ini terkait degradasi anggota sebuah organisasi seperti ormas Islam Muhammadiyah. Ada opini yang sifatnya berdasarkan pengalaman dan juga opininya dengan merujuk kepada teoritasi akademisi.
Salah satu akademisi itu adalah Dr. Afrizon Safri, M.Si, Ak., SE, CA, seorang pengusaha dan praktisi bisnis yang sudah cukup dikenal di tingkat nasional dan lokal, selain seorang akademisi Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT), Universitas Bung Hatta Sumbar, dan Tri Sakti Jakarta, menyebutkan bahwa adanya degradasi dalam sebuah organisasi itu antara lain faktor tidak ada lagi yang bisa dijual (dikisahkan) kehebatan organisasi itu kepada orang lain, tidak banyak prestasi warga atau anggota organisasi yang bisa bermanfaat untuk warganya, sudah jarang pemimpin organisasi itu yang dijadikan objek (roll model) yang dapat dibanggakan, sifat individual dan lebih mementingkan kelompok dalam organisasi yang membuat warga atau anggota organisasi lain termarjinalkan.
Lain lagi dengan celotehan Dr. Hanafi, M.Pd, seorang staf pengajar UIN Banten menjelaskan lebih spesifik bahwa bukan saja kita sering dibuat bingung sendiri ketika bercermin kepada diri apakah kita berormas Islam tunggl atau ganda”? Beliau melanjutkan mengapa demikian, karena ormas Islam Banten bukan hanya tiga jamaah yang populer seperti NU, Muhammadiyah dan Persis.
Kenyataannya di lapangan ada ormas Islam Al-Khairiyyah dan Mathlaul Anwar dengan ciri khasnya masing-masing. Pada umumnya berorganisasi rakyat Banten itu ganda tidak Tunggal. Lalu Hanafi memberi contoh umumnya warga Banten bagian Utara berafiliasi kepada ormas Islam Al-Khairiyyah sedangkan warga Banten Selatan umumnya menginduk kepada Mathlaul Anwar.
Bagi Hanafi Nahdliyin lebih longgar menentukan warganya dalam berafiliasi kepada kelompok tertentu yang berlabel agama. Bagi ormas Islam tetangga sebelah ini indikatornya sebagai anggota bukan memiliki KTA, melainkan pada tradisi keagamaan yang dilaksanakan sehari-hari. Siapa pun manusianya jika malaksanakan ritual keagamaan seperti tahlilan, doa bersama secara Jahar pasca solat wajib, melaksanakan konsep wasilah, ziarah kubur, dan seterusnya diklaim sebagai warga Nahdhatul Ulama (NU).
Bagi penulis sendiri sebaghaimana telah disebutkan pada kata Prolog buku “Sejarah Muhamamdiyah Provinsi Banten” terbitan tahun 2023 bahwa sekurang-kurangnya penyebabnya harus dicari pada tiga aspek yaitu karakter elite pemimpinnya, kedua, tantangan internal organisasi itu sendiri dan ketiga tantangan dari luar organisasi tersebut.
Barangkali masih relevan dalam konteks judul di atas, bahwa ada pengalaman ketika penulis mengingatkan salah satu mahasiswa mengapa (why) jarang masuk (absen) kuliah. Dengan santai dia menjawabnya bahwa tidak ada hal-hal yang baru ditawarkan dalam kuliah-kuliah yang diikuti katanya. Oh seperti itu kata penulis sembari kagetan sedikit karena di luar dugaan isi jawabannya.
Lebih rinci lagi masalah maju mundur atau bangga atau tidak anggota terhadap organisasinya menurut Prof. Komaruddin Hidayat, mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dua periode 2006-2010 dan 2010-2015 ada 10 hal yang perlu diperhatikan yaitu ideologi yang ditawarkan, kedua, sumber dana, ketiga, ketokohan tokoh yang dimiliki organisasi tersebut, keempat, model organisasi, kelima, sirkulasi elite kader, keenam, achievement, ketujuh networking (jaringan dan relasi), kedelapan, leadership, kesembilan, tantangan lingkungan internal dan kesepuluh tantangan lingkungan eksternal (Saidun Derani, 2023, xxiv).
Sebagai analogi dalam konteks tulisan ini bahwa lihatkan sejarah penyebaran Islam di Indonesia khususnya islamisasi Jawa yang dilaksanakan “Dewan Agama” dikenal dalam Jawa Islam “Wali Songo”. Tidak ada sejarawan, baik dalam negeri dan peneliti asing, yang memungkiri bahwa penyebaran Islam berhasil dengan baik di Indonesia khususnya di Jawa. Penulis sendiri tidak percaya bahwa proses islamisasi di Indonesia dan Jawa dilakukan dengan cara-cari mistik dan mitologi seperti beberapa buku yang dijual pedagang cceran ketika berziarah ke makam-makam para Penyebar Islam di Jawa.
Hasil studi penulis menemukan bahwa faktor utama mengapa Islam diterima secara massal rakyat Indonesia (Nusantara) pada waktu itu adalah karena Islam menjawab kebutuhan dasar masyarakat, selain faktor masuk Islam berarti mereka ke luar dari “kepengapan struktur sosial” yang merendahkan karkat dan bertabat mereka sebagai manusia karena sistem kasta di masyarakat Jawa berorientasi Hindu dan pemerintahan yang bersifat monarchi.
Jadi kata kunci keberhasilan dakwah itu dan orang mau konsisten memelihara apa yang menjadi pegangan hidupnya adalah Islam mampu menjawab “Kebutuhan” dasar mereka dan dirasakan memperoleh “Kemerdekaan“. Dengan kata lain masuk Islam berarti terpenuhi aspek kebutuhan dasar dan aspek psikis sehingga berbondong-bongong rakyat Indonesia masuk Islam. Bolehlah kalau sekarang penulis kutip istilah yang dipakai Persyarikatan Muhammadiyah “Islam Berkemajuan”. Dan atau tema yang diusung pada Rakerwil PWM Banten yang ke-4 tahun 2022 yaitu “Mencerahkan dan Berkemajuan”.
Apa makna menecerahkan dan apa pula makna berkemajuan? Mencerahkan diartikan dengan terang benderang, jernih 100 % 24 karat, berseri menyenangkan, baik mulai proses dan hasilnya dan yang terakhir mencerahkan bermakna berbahagia. Jadi semua makna-makna di atas berorientasi kepada psikis, termotivasi dan memberi harapan baru. Lalu makna berkemajuan adalah situasi dan kondisi di mana hal itu menunjukkan ada indikator kemajuan keahlian dan memiliki ilmu pengetahuan serta teknologi.
Kembali kepada pertanyaan pokok tulisan ini adalah mengapa (why) ada penurunan kebanggaan bermuhammadiyah terutama di kalangan generasi mudanya (bukan berarti generasi lansianya tidak tergradasi ya) seperti yang disinyalir Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Banten di atas.
Berdasarkan paparan di muka jawaban solusinya adalah bagaimana ormas Islam seperti Muhammadiyah mampu menjawab aspek kebutuhan dasar dan aspek kebutuhan psikis anggotanya. Diduga kuat dengan merujuk kasus-kasus di atas Sejarah Islamisasi Indonesia khsusnya Jawa, maka kedua hal itulah yang harus di “amprak-amprak atau diupdate” pengurus Muhammadiyah secara umumnya dan PWM Banten yang 13 khususnya sehingga diharapkan kembali etos bermuhammadiyah sebagaimana diharapkan para penggagas pendiri Muhammadiyah pada awalnya.
Ala kulli hal tulisan ini sifatnya memotret dan menseketsa lalu membuat mapping objek kajian. Tentulah dari hasil akurasinya bisa benar dan bisa juga tidak tertutup kemungkinan pas dengan berbagai sebab dan hal-hal lainnya.
Sebab itulah usulan penulis penting diadakan sebuah riset yang konprehensif yang dilakukan orang dalam yang benar-benar cinta bermuhammadiyah. Caranya bisa melibatkan mahasiswa S2 apalagi mahasisa S3 dalam Mata Kuliah (Matkul) Agama Islam dan Kemuhammadiyah (AIK) atas bimbingan dosennya secara sistemik dan terukur.
Hemat penulis tidak pas lagi di S2 dan S3 memberi kuliah AIK lebih banyak dengan cara-cara berceramah di kelas seperti masih banyak dilakuakn di PT Muhammadiyah. Sangat bagus jika dosen-dosen AIK kerja sama dan berkolaborasi dengan Majelis Tabligh sehingga bisa dilihat implementasi hasil studi AIK di lapangan. Semoga. Allah ‘Alam bi Shawab.
Penulis adalah Dosen Pascasarjana UM-Surby dan UIN Syahid Jakarta, aktivis PWM Banten 2022-2027.