Oleh: Nur Fajri Romadhon, Mahasiswa Fakultas Hukum UI dan Kader Muhammadiyah
Hari-hari ini banyak warga Muhammadiyah yang sumringah bercampur optimisme melihat ada pertambahan kuantitas kader Muhammadiyah yang diamanahi jabatan tinggi di pemerintahan. Di momen yang juga bertepatan dengan 100 Tahun Pendidikan Hukum di Indonesia (sekaligus 100 tahun Fakultas Hukum Universitas Indonesia), tentu kita perlu mengingat sosok penting sekelas Mr. R. H. Kasman Singodimedjo, salah satu pahlawan nasional yang juga kader Muhammadiyah.
Setelah kemerdekaan, alumnus Rechtshoogeschool/RHS (kini Fakultas Hukum UI) ini menjabat beberapa jabatan sangat penting -tidak dalam waktu sama- yang di masa kini sangat sulit akan dijabat oleh orang yang sama. Beberapa jabatan beliau di pemerintahan antara lain Panglima TNI -waktu itu bernama Badan Keamanan Rakyat- (17-29 Agustus 1945) Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (Sekarang DPR) (29 Agustus 1945-Oktober 1945), Jaksa Agung (November 1945-Mei 1946), Wakil Menteri Kehakiman -dulu diistilahkan Menteri Muda- (November 1947-Januari 1948), dan Anggota Konstituante -mirip MPR sekarang ini- sebagai ketua fraksi partai Masyumi (1955-1959).
Lahir di Purworejo, Jawa Tengah, pada tanggal 25 Februari 1904, Kasman kecil mengenyam pendidikan awal di sekolah desa di Purworejo, sempat pindah ke Holland Indische School (HIS) Batavia/Jakarta, tapi lalu pindah ke HIS Kutoarjo -waktu itu Kutoarjo belum digabung dengan Purworejo-. Lulus dari HIS yang setingkat SD ini, Kasman remaja melanjutkan pendidikan menengah pertama di MULO (Meer uitgebreid Lager Onderwijs) Magelang.
Kemungkinan Kasman melanjutkan pendidikan menengah atasnya di AMS Yogyakarta sebab sejak usia 16 tahun, yakni pada tahun 1920, beliau sudah berguru langsung secara serius kepada K.H. Ahmad Dahlan. Begitu K.H. Ahmad Dahlan wafat tahun 1923, Kasman muda pergi ke Jakarta guna berkuliah di School Tot Opleiding Voor Indische Artsen (STOVIA), yang kini bernama Fakultas Kedokteran UI, dengan beasiswa dari pemerintah Hindia Belanda.
Di STOVIA inilah beliau langsung bergabung dengan organisasi Jong Java dan bertemu dengan banyak angkatan muda pejuang kemerdekaan. Di tahun kedua berkuliah di STOVIA, Kasman yang kala itu menginjak usia 21 tahun turut mendirikan organisasi Jong Islamieten Bond (JIB) bersama sejumlah mahasiswa lainnya. Melalui beragam kegiatan JIB, beliau dapat berhubungan dengan tokoh-tokoh besar nasional seperti K.H. Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, Syaikh Ahmad Surkati, M. Natsir, dan M. Roem, termasuk turut serta hadir di Sumpah Pemuda tahun 1928 di Jakarta. Dua tahun setelahnya, yakni tahun 1930, Kasman didaulat menjadi ketua JIB.
Terlalu aktif dalam pergerakan ternyata membuat Pemerintah Belanda pada tahun itu juga mencabut beasiswanya dari Kasman muda meskipun beliau merupakan mahasiswa yang cemerlang. Padahal waktu itu Kasman sudah berada di tahun ketujuh sementara total masa belajar di STOVIA normalnya masa itu adalah 10 tahun. Karena berkuliah di STOVIA tidak lagi gratis baginya, Kasman terpaksa keluar dan bekerja penuh waktu. Alhamdulillah, beliau cukup sukses dalam pekerjaan ini sebab dalam waktu tiga tahun bekerja, beliau sudah mampu membeli sebidang tanah di Cempaka Putih bahkan beliau berhasil merealisasikan cita-cita untuk menghajikan orang tua beliau. Qadarullah, ayah beliau wafat di Tanah Suci sehingga ibu beliau pulang ke Tanah Air sebatang kara.
Di tahun itu juga, pada tahun 1933, Kasman yang kini sudah punya rumah dan penghasilan sendiri, kembali tergerak untuk belajar di perguruan tinggi meski sudah berusia 29 tahun. Beliau mendaftar untuk belajar ilmu hukum di RHS. Lulus tepat waktu pada tahun 1939 -waktu itu masa belajar normalnya ialah 6 tahun-, kini beliau menyandang gelar Meester in Rechter. Nantinya beliau diberi kesempatan tiga bulan ke Belanda, Inggris, dan India untuk belajar lanjut tentang hukum dan pengadilan militer. Beliau juga diundang dalam forum internasional sebagai pakar hukum, semisal International Jurist Congress 1955 di Athena, Yunani. Selepas itu, beliau mengajar dan menjadi guru besar (profesor) ilmu hukum di UII serta memperoleh gelar doktoral honoris causa dalam ilmu hukum dari UMJ.
Kala berkuliah di RHS, karena beliau sudah berpenghasilan sendiri dan tak lagi tinggal di asrama, maka beliau dapat lebih aktif bergerak memperjuangkan kemerdekaan tanpa mengkhawatirkan semacam pencabutan beasiswa dari pemerintah Hindia Belanda lagi. Tahun 1935 kembali aktif tetap berjuang bersama para pejuang lainnya hingga tahun 1938 terlibat dalam pendirian Partai Islam Indonesia yang diprakarsai tokoh besar Muhammadiyah, K.H. Mas Mansur. Namun tetap saja, dua tahun setelahnya Kasman dipenjara selama empat bulan oleh pemerintah Hindia Belanda akibat pidato beliau dalam sebuah acara Muhammadiyah di Bogor kala meneriakkan: “Untuk Indonesia merdeka!”
Di Muhammadiyah, Kasman selalu aktif. Menariknya, beliau sudah menjadi ketua Muhammadiyah Jakarta pada tahun 1937, padahal Kasman muda saat masih berkuliah RHS tahun keempat. Memang, Kasman di sela-sela waktu berkuliah hingga lulus dari RHS rutin menyempatkan diri untuk mengajar di sekolah-sekolah menengah Muhammadiyah. Kasman terus aktif di Muhammadiyah sampai kelak menjadi ketua Muhammadiyah Wilayah Jakarta, Banten, dan Bogor, lantas masuk ke jajaran pengurus Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebagai wakil ketua. Beliau di akhir hayat turut dilibatkan dalam kepengurusan Majelis Ulama Indonesia Pusat.
Setelah Jepang menguasai Indonesia pada 1942, Kasman dipaksa ikut pasukan PETA (Pembela Tanah Air). Kasman sebetulnya tidak mau bergabung karena dipahami akan semakin menguatkan penjajahan Jepang. Beliau sempat merekayasa hasil tes kesehatan agar dinyatakan tak layak bergabung. Namun tetap saja beliau dipaksa bergabung dan bahkan terus naik jabatan beliau hingga berpangkat Daidanco, suatu pangkat tertinggi di PETA, hingga nantinya beliau turut mengamankan upacara pembacaan proklamasi 17 Agustus 1945.
Melihat portofolio sementereng di atas, tak heran kalau dengan izin Allah SwT, Kasman di masa awal kemerdekaan kemudian dipercaya mengemban jabatan-jabatan tinggi penuh manfaat untuk umat dan bangsa yang disebutkan tadi di muka. Nantinya beliau menjadi penasihat delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag tahun 1949. Pada saat menjabat sebagai Jaksa Agung, Kasman Singodimedjo mengeluarkan Maklumat Jaksa Agung yang ditujukan kepada para Gubernur, Jaksa dan Kepala Polisi tentang ajakan untuk membuktikan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum, yaitu negara yang selalu menyelenggarakan pengadilan yang cepat dan tepat. Polisi dan Jaksa dituntut untuk segera menyelesaikan perkara-perkara kriminial yang belum diselesaikan selalu menyelaraskan diri dengan pembangunan negara yang berdasarkan hukum dengan bantuan para hakim.
Kasman Singodimedjo wafat di Jakarta, pada tanggal 25 Oktober 1982 dan dimakamkan di Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta. Jenderal Nasution pernah menyatakan bahwa anak-anak muda Indonesia kala zaman perjuangan kemerdekaan sulit sekali untuk digerakkan melawan penjajah kalau tidak ada tiga tokoh yang disegani yakni: Bung Karno, Bung Hatta, dan Kasman Singodimedjo.