Kebahagiaan: Sebuah Pilihan dan Perspektif
Oleh: Donny Syofyan/Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Beberapa tahun lalu saya membaca Laporan Kebahagiaan Dunia yang mengungkap sebuah paradoks yang menarik: penduduk negara-negara miskin ternyata lebih bahagia daripada mereka yang tinggal di negara-negara kaya seperti Kanada, AS, dan Inggris. Temuan ini memicu pertanyaan mendalam tentang esensi kebahagiaan sejati. Apakah kita, yang hidup dalam kelimpahan materi, justru terjebak dalam pusaran ketidakpuasan yang tak berujung? Apakah obsesi kita terhadap kekayaan dan pencapaian materi justru menggerogoti kebahagiaan kita dari dalam?
Survei global yang dilakukan oleh Ipsos semakin mempertegas paradoks ini. Bagaimana mungkin individu-individu di negara-negara dengan tingkat kemiskinan yang tinggi justru melaporkan tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi daripada mereka yang hidup dalam kenyamanan materi? Apakah ini menunjukkan bahwa kebahagiaan sejati tidak bergantung pada harta benda?
Mungkinkah kunci kebahagiaan terletak pada ekspektasi kita? Ketika kita terus-menerus mengharapkan lebih, kita menciptakan standar yang sulit dipenuhi, sehingga mudah merasa kecewa dan tidak puas. Sebaliknya, mereka yang memiliki ekspektasi lebih rendah cenderung lebih mudah merasa bahagia dan puas dengan apa yang mereka miliki, meskipun secara materi mereka memiliki lebih sedikit. Apakah ini berarti kita harus menurunkan standar hidup kita untuk mencapai kebahagiaan? Atau adakah cara untuk menemukan keseimbangan antara ambisi dan rasa syukur?
Temuan bahwa penduduk negara-negara miskin justru lebih bahagia daripada mereka yang hidup berkecukupan materi memang menarik untuk direnungkan. Ini bertentangan dengan gambaran kebahagiaan versi Hollywood, yang seringkali dikaitkan dengan kesenangan dan kepemilikan materi.
Agaknya kunci kebahagiaan terletak pada kemampuan kita untuk bersyukur atas hal-hal kecil dalam hidup. Sementara di negara-negara maju, ekspektasi yang tinggi dan dorongan untuk terus-menerus memperoleh lebih banyak barang materi dapat menciptakan rasa tidak puas yang abadi. Kita hidup di era di mana kebahagiaan sering kali "dijual" melalui iklan dan pemasaran yang gencar. Perusahaan-perusahaan berusaha meyakinkan kita bahwa kebahagiaan dapat ditemukan dalam produk mereka, mulai dari perhiasan mewah hingga gadget terbaru.
Saya ingat ketika masih kecil, sering mendengar jingle di radio yang mengatakan, "Kebahagiaan adalah cokelat bernama Silver Queen" Meskipun saat itu saya tidak terlalu mempedulikan cokelat tersebut, jingle itu tetap terngiang di benak saya. Namun, bahkan sebagai anak kecil, saya sudah skeptis terhadap gagasan bahwa kebahagiaan bisa dibeli dalam bentuk cokelat.
Bagi saya, kebahagiaan adalah keadaan pikiran, bukan benda materi. Cokelat mungkin memberikan kenikmatan sesaat, tetapi tidak bisa memberikan kebahagiaan yang mendalam dan berkelanjutan. Sayangnya, pesan-pesan seperti ini terus dipromosikan, menciptakan ilusi bahwa kebahagiaan dapat dibeli. Mungkin sudah saatnya kita berhenti mencari kebahagiaan di luar diri kita dan mulai menghargai hal-hal sederhana yang sudah kita miliki. Bersyukur, berbagi, dan menjalin hubungan yang bermakna adalah kunci untuk menemukan kebahagiaan sejati.
Bagaimana Anda mencapai kondisi tersebut seperti yang Anda sebutkan? Bagaimana Anda mencapainya atau Anda mengatakan keadaan pikiran? Saya tidak yakin apakah ada perbedaan di antara keduanya. Nah, itu keduanya dan mereka terkait dalam hal jika Anda berada dalam situasi di mana Anda tidak memiliki masalah, maka Anda bisa bahagia, tetapi bisa bahagia dan menjadi lebih bahagia tidak sama. Bahan lainnya adalah benar-benar keadaan pikiran, apakah Anda bertekad untuk bahagia dengan apa pun situasinya?
Ada hal yang terkait dengan salah seorang sosok agung dalam Islam yang mengatakan bahwa saya biasa mengeluh karena tidak punya sepatu sampai saya melihat seorang pria tidak punya kaki. Dia jelas bersyukur bahwa mereka melihatnya. Jika kita berpikir tentang karunia yang sudah kita miliki dan kita puas dengan hal-hal ini maka ini sendiri mengarah pada kebahagiaan ada pepatah yang terkait dari Nabi Muhammad saw yang mengatakan bahwa kekayaan tidak ada dalam harta benda tetapi kekayaan adalah nafs yang terkenal itu adalah kekayaan jiwa dan banyak mufasir berpikir bahwa itu mengacu pada keadaan pikiran yang puas.
Kebahagiaan sejati berasal dari pikiran yang puas, bukan dari kepemilikan materi. Ketidakpuasan terus-menerus, bahkan dengan barang-barang terbaik, menghambat kebahagiaan. Kita sering terjebak dalam keinginan yang tak ada habisnya, seperti yang diilustrasikan dalam hadits tentang anak Adam yang selalu menginginkan lebih banyak emas. Pada akhirnya, kematian akan datang dan semua harta benda akan ditinggalkan.
Fokuslah pada perbuatan baik dan temukan kebahagiaan dalam kesederhanaan, sambil tetap berusaha mencapai keunggulan dalam hidup. Contohnya, Syekh Abdul Qadir Jailani tetap bersyukur dalam situasi apa pun, menunjukkan bahwa kebahagiaan sejati berasal dari dalam diri, bukan dari keadaan eksternal.
Berdasarkan berbagai survei, tampaknya ada korelasi positif antara keberagamaan dan kebahagiaan. Orang-orang yang religius cenderung lebih bahagia, dan salah satu faktor kunci di baliknya adalah rasa puas yang mendalam. Kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Kuasa, yang mengatur segala sesuatu dengan sempurna, memberikan rasa aman dan ketenangan batin. Bahkan ketika dunia tampak kacau dan penuh ketidakpastian, orang yang religius menemukan kedamaian dalam keyakinan bahwa Tuhan memegang kendali penuh.
Keberagamaan membebaskan individu dari beban kekhawatiran yang berlebihan. Mereka tidak perlu terus-menerus cemas tentang masa depan atau berusaha mengendalikan segala sesuatu, karena mereka percaya bahwa Tuhan memiliki rencana yang lebih baik. Kepuasan batin ini menjadi fondasi bagi kebahagiaan yang lebih mendalam dan berkelanjutan. Orang yang religius tidak bergantung pada pencapaian duniawi atau kepemilikan materi untuk merasa bahagia. Mereka menemukan kebahagiaan dalam hubungan spiritual mereka dengan Tuhan dan dalam menjalankan ajaran agama mereka.
Tentu saja, keberagamaan bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan kebahagiaan seseorang. Namun, penelitian menunjukkan bahwa keyakinan agama dapat memberikan dukungan emosional dan spiritual yang signifikan, membantu individu menghadapi tantangan hidup dengan lebih tenang dan positif.