Mudik: Menoleransi atau Melawan Tradisi
Oleh: Ahsan Jamet Hamidi, Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Legoso, Tangerang Selatan
Saya bisa mudik di lebaran Iedul Fitri 2024 ini setelah beberapa tahun tidak melakukannya. Ketika kedua orang tua telah tiada, agenda mudik ke kampung halaman tidak lagi menjadi prioritas. Meski daya tariknya tetap kuat, namun takaran rasa di hati sudah berkurang kadarnya. Banyak ingatan tentang kebersamaan dengan kedua orang tua di masa lalu yang muncul saat mudik. Mudik telah membangkitkan semua yang pernah ada. Ia bisa membuat seseorang menjadi begitu sentimentil. Bisa sedih, penuh haru, terkadang ada sesal, hingga berkecamuk, muncul silih berganti.
Ragam Budaya
Di kampung halaman saya, para perantau dari kota yang sedang mudik akan dijuluki dengan istilah ”Dun Dunan”. Julukan itu disematkan kepada mereka yang mudun atau turun dari suatu wilayah yang dipersepsi lebih ”tinggi”. Tempat yang lebih tinggi itu bisa terasosiasi dengan kota besar, atau wilayah lain yang secara ekonomi lebih makmur daripada kehidupan di kampung. Oleh sebab itu, para Dun Dunan akan dianggap memiliki kehidupan ekonomi lebih baik, lebih berduit, lebih sejahtera dibandingkan dengan teman-teman sejawat yang masih tetap tinggal di kampung.
Saya beruntung karena tidak terbebani dengan julukan itu. Orang-orang memahami bahwa saya sudah meninggalkan dusun sejak tamat sekolah dasar untuk sekolah. Berbeda dengan beberapa kawan perantau lain. Ada yang terlalu terpengaruh oleh ”pandangan” para kerabat di kampung halaman. Ia harus membangun image di dalam dirinya untuk disesuaikan dengan standar dan persepsi orang lain. Mulai dari kualitas pakaian, jenis handphone, jam tangan, hingga kendaraan yang akan digunakan saat mudik lebaran. Semua harus terkesan serba lebih daripada biasanya.
”Masak sudah bertahun tahun merantau kok masih begitu-begitu saja”.
Kalimat ini akan menjadi momok menakutkan.
Bagi sebagian orang, mudik saat lebaran tidak sekedar menjadi moment silaturahmi. Ia tidak sekedar mengunjungi kedua orang tua dan kerabat, tetapi ada sesuatu yang harus ditampilkan untuk mengesankan bahwa dirinya sudah naik level. Sebaliknya, ada yang mengurungkan diri untuk mudik, karena merasa belum bisa naik kelas melampaui standar. Siapa sejatinya yang membuat standar? Bisa jadi hanya dirinya sendiri, tetapi diidentikkan dengan tradisi tertentu.
Banyak orang enggan untuk mudik saat lebaran karena merasa tidak nyaman dengan bayangan tentang pertanyaan yang nantinya dihadapi. Mulai dari perkara jodoh, pasangan hidup, kehamilan, karir, pekerjaan, profesi dan seterusnya. Bagi sebagian orang, pertanyaan itu adalah bagian dari keramahan. Tetapi bagi sebagian yang lain, itu hal yang tidak pantas, sangat menganggu, karena telah mengulik privasi seseorang. Masalah akan selalu muncul, karena standar penilaian itu tidak pernah diakui secara seragam.
Anak perempuan saya yang sedang berjibaku mencari kampus untuk kuliah, ternyata juga mengalami keengganan serupa. Awalnya dia enggan untuk ikut mudik karena malas menghadapi pertanyaan tentang nilai sekolah, jurusan yang akan dipilih, kampus yang sudah berhasil dimasuki. ”pokoknya ribet deh Pak....” demikian keluhnya. Ternyata, pradugannya salah. Alih-alih ada pertnyaan tentang itu, isi dompetnya menjadi lebih tebal saat kembali ke Ciputat.
Ketika saya melihat perkara prasangka itu dengan pikiran dan hati jernih, saya bisa menemukan jawaban jujur, bahwa kekhawatiran yang kerap muncul di dalam pikiran saya, belum tentu sepenuhnya karena kebenaran pandangan orang lain. Sangat mungkin, kegelisahan yang saya alami sebenarnya adalah buah dari imajinasi dan rekayasa pikiran liar yang terbiarkan. Ia terus tumbuh subur sehingga seolah-olah benar adanya.
Menoleransi atau Melawan
Saya sering menjalani suatu masa dimana hidup ini terasa begitu sempit, ruwet, sumpek, serba muram, hanya karena isi kepala saya telah dipenuhi oleh berbagai prasangka buruk yang tumbuh secara liar. Ketika saya gagal untuk merawat dan mendudukkannya pada tempat yang tepat, maka prasangka-prasangka itu telah menjelma menjadi nyata.
Saya tidak akan bisa mengatur kesan dan pandangan seseorang kepada yang lainnya. Namun demikian, saya masih bisa mengatur batin dan pikiran diri sendiri untuk mampu menghadapi kesan dan pandangan orang lain yang muncul secara bijaksana. Terhadap pandangan orang-orang di kampung halaman yang sudah terakumulasi menjadi tradisi, sepanjang ia tidak berlawanan dengan standar nilai dan kebaikan universal, maka saya tetap memiliki kemerdekaan untuk menoleransi atau melawan.