Kebijaksanaan Digital Muhammadiyah
Oleh: Sukron Abdilah, Peneliti Pusat Studi Media Digital UM Bandung
Ketika dunia hari ini dikepung oleh arus informasi tanpa henti, umat manusia dihadapkan pada paradoks yang mengguncang kesadaran: kita semakin terkoneksi, tetapi justru kian kehilangan kedalaman. Di tengah gegap-gempita era digital, Muhammadiyah—sebagai gerakan Islam berkemajuan—memiliki tanggung jawab besar untuk menanamkan nilai kebijaksanaan di ruang maya.
Teknologi, seperti halnya pisau bermata dua, selalu membawa janji sekaligus ancaman. Ia bisa menjadi jalan pencerahan, tapi juga sumber kebingungan. Maka, yang dibutuhkan bukan sekadar “kecerdasan digital”, tetapi kebijaksanaan digital—yakni kemampuan untuk menggunakan teknologi dengan kesadaran moral, etika, dan nilai kemanusiaan.
Sejak berdiri, Muhammadiyah telah dikenal sebagai gerakan yang meneguhkan rasionalitas Islam. KH Ahmad Dahlan mengajarkan bahwa iman harus berpijak pada ilmu, dan ilmu harus melahirkan amal. Rasionalitas inilah yang menjadi fondasi gerakan Islam berkemajuan.
Namun, di era digital, rasionalitas saja tidak cukup. Dunia algoritma tidak hanya membutuhkan orang cerdas, tapi juga orang bijak. Kecerdasan buatan (AI) mampu menghitung segalanya, tetapi tidak mampu memahami makna. Di sinilah peran manusia—dan di sinilah tugas besar Muhammadiyah: membangun peradaban digital yang berjiwa kebijaksanaan.
Kebijaksanaan digital berarti menempatkan nilai di atas data, moral di atas algoritma, dan kemanusiaan di atas efisiensi. Ia adalah kemampuan untuk menimbang, tidak sekadar menilai; untuk memahami, bukan hanya menanggapi; untuk membangun koneksi makna, bukan sekadar koneksi jaringan.
Muhammadiyah di Persimpangan Digital
Dalam dua dekade terakhir, Muhammadiyah telah melangkah ke dunia digital dengan berbagai bentuk: kanal dakwah daring, platform edukasi, media sosial, hingga inovasi di bidang ekonomi dan filantropi. Semua itu merupakan bukti nyata semangat tajdid—pembaruan yang menjadi jantung gerakan ini.
Namun, di balik semua kemajuan itu, muncul tantangan baru: bagaimana memastikan bahwa digitalisasi Muhammadiyah tidak kehilangan ruh keadaban dan pencerahan? Kebijaksanaan digital mengajak kita untuk tidak sekadar “hadir” di dunia maya, tapi hadir dengan makna. Bahwa setiap unggahan, setiap pesan, dan setiap interaksi di ruang digital adalah bagian dari dakwah, bagian dari pembentukan kesadaran umat.
Digitalisasi tanpa kebijaksanaan berisiko menjadikan dakwah sekadar konten; informasi menjadi konsumsi; dan kebenaran menjadi tren. Maka, Muhammadiyah perlu terus menjaga agar dakwah digitalnya tidak hanya “terlihat” tetapi juga “terasa”—tidak hanya berpengaruh, tetapi juga mencerahkan.
Dalam buku Filsafat Teknologi (2025) Martin Heidegger pernah mengatakan bahwa teknologi bukan sekadar alat, melainkan cara kita memahami dunia. Jika demikian, maka cara Muhammadiyah menggunakan teknologi adalah refleksi dari cara berpikirnya tentang manusia, ilmu, dan Tuhan.
Kebijaksanaan digital menuntut integrasi antara ilmu, etika, dan spiritualitas. Artinya, inovasi teknologi yang dikembangkan Muhammadiyah harus selalu berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan: kejujuran, keadilan, empati, dan tanggung jawab sosial.
Misalnya, dalam mengembangkan platform pembelajaran daring, nilai kebijaksanaan digital berarti memastikan akses yang inklusif, materi yang mencerdaskan, dan interaksi yang beradab. Dalam konteks media sosial, ia berarti mengedepankan narasi yang menyejukkan, bukan memecah-belah; membangun dialog, bukan sekadar debat.
Digitalisasi Dakwah
Kita hidup di zaman di mana setiap orang bisa menjadi penyiar, setiap kata bisa menjadi wacana, dan setiap informasi bisa menjadi kebenaran. Dalam situasi ini, dakwah Muhammadiyah menghadapi ujian baru: bagaimana menjaga makna di tengah banjir informasi?
Kebijaksanaan digital bukan berarti menjauh dari teknologi, melainkan menjinakkannya. Muhammadiyah perlu mengembangkan dakwah reflektif—dakwah yang tidak hanya menyebar, tetapi menumbuhkan; tidak hanya mengajar, tetapi juga menggerakkan kesadaran.
Dalam budaya instan, dakwah berkemajuan harus berani menawarkan kedalaman. Di tengah logika “scroll” yang cepat, dakwah Muhammadiyah harus mengajak umat untuk berhenti sejenak, merenung, dan berpikir. Karena kebijaksanaan tidak lahir dari kecepatan, melainkan dari perenungan.
Kebijaksanaan digital bukan sekadar sikap individual, tetapi proyek kolektif. Muhammadiyah perlu membangun ekosistem digital yang menanamkan nilai kebajikan dan pengetahuan. Universitas, sekolah, dan amal usaha harus menjadi laboratorium digital yang berkeadaban.
Bayangkan jika setiap amal usaha Muhammadiyah terhubung dalam sistem digital yang transparan, kolaboratif, dan berorientasi pada nilai. Bayangkan jika seluruh konten dakwahnya tidak hanya informatif, tetapi juga inspiratif dan dialogis.
Kebijaksanaan digital bukan hanya “bagaimana Muhammadiyah menggunakan teknologi”, tetapi juga “bagaimana Muhammadiyah memanusiakan teknologi.” Kita telah melewati zaman mesin, memasuki zaman algoritma, dan sedang menuju zaman kesadaran. Di titik ini, yang dibutuhkan bukan sekadar kecerdasan baru, tetapi kebijaksanaan baru.
Kebijaksanaan digital Muhammadiyah bukan nostalgia terhadap masa lalu, melainkan evolusi dari semangat Islam berkemajuan: memadukan akal, iman, dan teknologi dalam satu tarikan nilai. Dalam dunia yang semakin otomatis, Muhammadiyah harus menjadi pengingat bahwa di balik setiap klik, ada manusia; di balik setiap data, ada nilai; dan di balik setiap kemajuan, ada tanggung jawab.
Karena sejatinya, kemajuan yang sejati bukanlah yang membuat dunia lebih cepat, tetapi yang membuat manusia lebih bijak. Dan di situlah, kebijaksanaan digital Muhammadiyah menemukan makna terdalamnya. Wallahua’lam


