YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Menjelang waktu berbuka puasa pada Kamis (20/03), Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) kembali menggelar kajian Ramadan ke-20 yang menarik perhatian banyak jamaah. Kajian kali ini menghadirkan Dr. Gatot Sugiharto, S.H., M.H. Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni UAD, sebagai pemateri utama. Ia membawakan materi bertajuk “Kejahatan Money Laundering dalam Islam”, sebuah tema yang berbeda dari kajian Ramadan pada umumnya.
Dalam pembukaannya, Gatot menyampaikan pentingnya terus menimba ilmu sebagai bentuk rasa syukur di bulan Ramadan. “Kita niatkan kajian ini untuk menambah ilmu, sebab Allah akan menaikkan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu,” ujarnya.
Gatot memulai kajian dengan menyampaikan beberapa contoh kasus terkait pencucian uang atau money laundering, termasuk kejadian sehari-hari yang tidak disadari banyak orang. Ia menuturkan kisah seorang tukang sampah yang menemukan uang dalam jumlah besar di tempat pembuangan. “Cucu si tukang sampah mengatakan bahwa mencuci uang itu tidak boleh. Dari sini kita bisa memahami bahwa pencucian uang dalam konteks hukum bukan berarti mencuci uang secara fisik, melainkan sebuah tindakan kriminal yang memiliki dampak besar,” jelasnya.
Ia juga menyoroti kurangnya pemahaman mahasiswa terkait money laundering. “Banyak mahasiswa, bahkan yang sudah berpendidikan tinggi, belum memahami apa itu pencucian uang. Padahal, kejahatan ini sangat dekat dengan kehidupan kita dan sering terjadi di sekitar kita,” tambahnya.
Dalam paparannya, Gatot menjelaskan berbagai kejahatan yang kerap menjadi sumber utama money laundering. “Korupsi, suap, perdagangan manusia, narkotika, dan perusakan lingkungan adalah beberapa contoh tindakan ilegal yang menghasilkan uang dalam jumlah besar,” ungkapnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa banyak pelaku kejahatan lebih memilih menyimpan uang mereka dalam bentuk tunai daripada menyetorkannya ke bank. “Jika uang hasil kejahatan disimpan di bank dalam jumlah besar, maka akan terdeteksi oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK),” kata Gatot. Hal inilah yang mendorong para pelaku money laundering untuk mencari cara menyamarkan asal usul uang mereka.
Lebih lanjut, Dr. Gatot menguraikan tiga tahapan utama dalam proses pencucian uang: Pertama, Placement (Penempatan): Uang hasil kejahatan dimasukkan ke dalam sistem keuangan, seperti bank atau bisnis tertentu, agar terlihat legal. Kedua, Layering (Pelapisan): Uang kemudian dipindahkan melalui berbagai transaksi untuk mengaburkan asal usulnya. Misalnya, dengan mengubahnya menjadi mata uang asing, membeli saham, atau mentransfernya ke banyak rekening atas nama orang lain. Ketiga, Integration (Integrasi): Setelah melalui berbagai transaksi, uang tersebut dikembalikan kepada pemiliknya dalam bentuk yang sudah terlihat legal, seperti melalui usaha yang sah.
Dalam kajian ini, Gatot juga membahas sejarah istilah money laundering. “Istilah ini pertama kali muncul dalam pemberitaan tentang skandal Watergate di Amerika Serikat pada tahun 1973. Praktik ini awalnya dilakukan oleh para mafia yang mencuci uang hasil kejahatan mereka melalui usaha pencucian pakaian atau laundromat,” terangnya.
Salah satu tokoh terkenal yang terlibat dalam praktik money laundering adalah Al Capone, seorang mafia Amerika yang menyembunyikan hasil kejahatannya melalui bisnis legal agar tidak terdeteksi oleh otoritas keuangan.
Di Indonesia, tindakan money laundering telah diatur dalam undang-undang, sehingga setiap transaksi keuangan yang mencurigakan akan diawasi dengan ketat. Gatot menegaskan bahwa sebelum ada regulasi, praktik ini sulit ditindak secara hukum. “Dulu, sebelum ada undang-undang money laundering, orang bisa dengan mudah menyetor uang dalam jumlah besar ke bank tanpa harus menjelaskan asal usulnya. Namun, sekarang perbankan diwajibkan melaporkan transaksi mencurigakan ke PPATK,” jelasnya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa money laundering bukan hanya kejahatan finansial, tetapi juga memiliki dampak sosial yang luas. Sebagaimana disampaikan oleh Gatot, praktik ini tidak hanya melanggar hukum positif di Indonesia, tetapi juga bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang menekankan kejujuran dan keadilan dalam memperoleh harta.
Penting bagi masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap aliran dana yang mencurigakan, baik dalam lingkup keluarga maupun lingkungan sosial. Seperti yang ditekankan dalam pemaparan, keluarga menjadi benteng pertama dalam menanamkan nilai-nilai kejujuran kepada anak-anak. Para orang tua harus memberikan contoh yang baik, membiasakan perilaku yang jujur, mengawasi perilaku anak, serta memberikan apresiasi atau teguran yang sesuai.
Selain itu, tindakan pencegahan juga dapat dilakukan melalui edukasi dan sosialisasi mengenai bahaya money laundering. Masyarakat diharapkan dapat lebih kritis dalam menerima sejumlah uang yang mencurigakan, memahami regulasi yang berlaku, dan aktif melaporkan aktivitas keuangan yang tidak wajar kepada otoritas terkait seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Dampak dari money laundering tidak hanya merugikan individu, tetapi juga perekonomian negara. Kejahatan ini sering dikaitkan dengan aktivitas ilegal lain seperti korupsi, perdagangan manusia, serta peredaran narkotika. Oleh karena itu, perlu ada sinergi antara pemerintah, penegak hukum, serta masyarakat dalam upaya mencegah dan memberantas praktik pencucian uang.
Sebagai bagian dari upaya bersama dalam menjaga integritas keuangan, setiap individu memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa sumber pendapatan yang diterima berasal dari usaha yang halal dan sah secara hukum. Prinsip transparansi dan akuntabilitas harus diterapkan dalam setiap transaksi keuangan guna menciptakan sistem ekonomi yang bersih dan berkeadilan.
Di akhir sesi, Gatot kembali menegaskan pentingnya memahami hukum dan ajaran Islam terkait dengan uang haram. "Jangan pernah kita mencari rezeki dengan cara yang batil, karena semua itu akan ada pertanggungjawabannya, baik di dunia maupun di akhirat. Islam sangat jelas melarang segala bentuk harta yang diperoleh dari cara yang tidak benar," ujarnya.
Dengan adanya kesadaran ini, diharapkan para jamaah dapat berperan aktif dalam mencegah kejahatan keuangan dan menciptakan lingkungan yang lebih aman dan sejahtera bagi generasi mendatang. (Giti)