Kemaruk

Publish

31 January 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
201
Istimewa

Istimewa

Kemaruk

Oleh: Khafid Sirotudin

Jika anak mengalami sakit biasanya nafsu makannya berkurang, bahkan ada yang sampai tidak doyan makan. Semua makanan rasanya pahit di lidah. Orang tua biasanya akan merayu anak yang sedang sakit agar mau makan dengan cara membelikan makanan kesukaan. Ihtiar orang tua itu tidak selalu dapat menaikkan nafsu makan anak. Sesuap dua suap sudah merasa cukup.

Setelah sembuh dari sakit dan badan semakin terasa sehat, anak akan mengalami kemaruk. Rasanya ingin makan berkali-kali karena mudah merasa lapar. Tidak hanya tiga kali sehari, bisa sampai 4, 5, 6 kali. Kemaruk makan sehabis sakit adalah sebuah fase mengembalikan berat badan yang berkurang dan perbaikan imunitas tubuh setelah sembuh. Kemaruk dalam hal ini bermakna positif.

Kemaruk merupakan kata serapan dari bahasa Jawa. Kata atau diksi kemaruk bersifat netral, dapat bermakna positif maupun negatif. Tergantung konteks saat kita menggunakannya. Kemaruk bisa berarti positif, misalnya pada kalimat : “anak lanang lagi kemaruk-kemaruke sak uwise mari seko loro, sedino biso maem ping limo (anak laki-laki sedang kemaruk-kemaruknya sesudah sembuh dari sakit, sehari bisa makan lima kali)”. 

Kemaruk bisa berarti negatif, yaitu keinginan yang berlebihan terhadap harta benda, makanan, jabatan atau kesenangan duniawi. Kata yang sepadan untuk menggambarkan kemaruk dalam arti negatif yaitu rakus, loba, serakah atau tamak. Keinginan yang berlebihan dan tidak sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, kapasitas serta tidak mampu mensyukuri atas semua yang telah didapatkan, diperoleh atau diterima.

Serakah 

Dalam  KBBI disebutkan, kata serakah adalah kata sifat (adjektiva); selalu hendak memiliki lebih dari yang dimiliki; loba, rakus, tamak. Serakah memiliki makna sifat atau sikap negatif. Suatu sifat yang tidak pernah merasa puas dengan apa yang sudah diperolehnya. Kecintaan yang berlebihan terhadap harta benda (uang, lahan, bangunan, emas permata, dan sebagainya).

Saya menjadi teringat dengan pelajaran Bahasa Indonesia yang diajarkan ketika masih SMP. Guru kami pernah mengajari bahwa untuk memahami makna sebuah kata atau diksi, kita bisa memahami dari “lawan kata” atau “lawan makna”. Kata yang berlawanan disebut antonim. Yaitu relasi makna yang wujud logisnya sangat berbeda atau bertentangan. Seperti : baik dan buruk, benci-cinta, panas-dingin, pejantan-betina, pria-wanita, timur-barat, benar-salah, pahala-dosa, surga-neraka, dan sebagainya.

Berdasarkan atas pengertian antonim tersebut, kita dapat mencari lawan kata atau lawan makna dari serakah adalah qona’ah (lawan kata/makna tamak) atau dermawan, merasa cukup, rela menerima dengan lapang dada. Dermawan bermakna gemar memberi, ikhlas menolong, rela berkorban dengan harta, jiwa dan raganya. Bisa berupa uang atau barang dalam menunaikan zakat, infaq, sedekah, wakaf dan hibah (ziswah). Bisa pula berupa uluran tangan dan jasa baik untuk meringankan beban dan penderitaan sesama. Misalnya uluran tangan relawan MDMC dalam tanggap darurat bencana alam yang saat ini terjadi di berbagai daerah se Jawa Tengah.

Keserakahan atau ketamakan merupakan penyakit hati, salah satu penyakit jiwa. Sayangnya penyakit hati atau jiwa ini tidak terlihat kasat mata. Ia baru nampak tatkala sudah terlihat nyata dalam tindakan seseorang yang melampaui batas atas norma, moral dan etika sosial. Sehingga wilayah laut, yang seharusnya menjadi aset dan dikuasai negara serta menjadi kepemilikan bersama (common ownership) pun sempat dikapling, dipagari dan disertifikasi menjadi hak milik “kompeni” (company, perusahaan) maupun kepemilikan pribadi.

Menurut para ahli jiwa dan alim cendekia, satu-satunya cara melawan dan mengobati penyakit hati “keserakahan” adalah dengan pembiasaan/kebiasaan yang fokus pada pemurnian jiwa (tazkiya al-nafs). Sebagai insan beragama dan berbudaya, kita diminta untuk memindai jiwa dan melihat ke dalam “isi hati” dan akal waras melalui pembiasaan berpikir positif dan berbuat baik. Melawan setiap keinginan jahat, buruk dan semua perbuatan yang merugikan sesama dan alam semesta. Sebagaimana pesan Tuhan yang tersurat dan tersirat di dalam Qs. Al-Humazah (104) ayat 1 sampai 9.

Rasulullah saw. pernah bersabda :

“Andaikan anak Adam memiliki dua lembah yang penuh dengan harta, niscaya ia akan menginginkan lembah yang ketiga. Tidak ada yang dapat mengisi perutnya kecuali debu kubur, namun Allah memberi taubat kepada orang-orang yang mau bertaubat” (Sahih Bukhari 6436).

Pesan nabi ini menjadi pengingat bahwa keserakahan tidak akan pernah terpuaskan. 

Tidak ada jumlah kekayaan, harta benda, emas permata, jabatan, kekuasaaan, ketenaran (keviralan), prestasi, kekuasaan dan petualangan dunia lainnya yang dapat memuaskan jiwa yang tamak dan serakah. Hanya manusia yang selalu bersyukur, merasa cukup (qona’ah), gemar memberi dan bersedekah jariyah (meski nilainya kecil, dilakukan secara rutin dan berkelanjutan) yang bisa mengalahkan keserakahan. Sebab hakikat manusia kaya adalah setiap insan yang telah merasa cukup dan mampu mensyukuri setiap rejeki yang telah Tuhan berikan kepadanya. Kita bisa bahagia jika kita senantiasa bersyukur dan tidak serakah.

Wallahu’alam

 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Alkitab untuk Studi Perbandingan Agama Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas ....

Suara Muhammadiyah

29 November 2024

Wawasan

Bandara Kematian - Catatan Perjalanan Oleh: Machnun Uzni, Wakil Sekertaris PWM Kaltim, Owner Sang S....

Suara Muhammadiyah

4 September 2024

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Imam Syafi'i memberi banyak pen....

Suara Muhammadiyah

13 December 2023

Wawasan

Syukur dalam Perspektif Fisika Quantum Oleh: Agusliadi Massere, Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Inf....

Suara Muhammadiyah

30 December 2023

Wawasan

Jiwa Tak Terbelenggu  Oleh: Fathan Faris Saputro (MPID PDM Lamongan) Okky Madasari, seorang s....

Suara Muhammadiyah

19 July 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah