Oleh: Dr Unik Hanifah Salsabila, MPd., Dosen Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Agama Islam, Universitas Ahmad Dahlan
Era digital telah menghadirkan transformasi fundamental dalam lanskap diskusi akademik. Berdasarkan data Kemendikbudristek tahun 2024, terjadi peningkatan 78% dalam penggunaan platform digital untuk kegiatan akademik di perguruan tinggi Indonesia (Kemendikbudristek, 2024). Studi terkini menunjukkan bahwa institusi pendidikan tinggi menghadapi tantangan signifikan dalam mengelola tata kelola akademik di era digital, terutama terkait dengan autentisitas dan integritas (Juhairiah, 2024).
Laporan SAFENET mengungkapkan bahwa dari 157 kasus persekusi digital di Indonesia tahun 2023, 42 kasus terjadi dalam konteks perdebatan akademik (SAFENET, 2024). Fenomena ini menjadi perhatian serius mengingat potensi dampaknya terhadap kebebasan akademik dan martabat institusi pendidikan (Hassan, 2024). Transformasi ini tidak hanya mengubah cara akademisi berinteraksi, tetapi juga mempengaruhi dinamika pembelajaran dan penelitian secara fundamental.
Pergeseran arena akademik dari ruang fisik ke ruang digital membawa konsekuensi yang kompleks. Studi longitudinal menunjukkan bahwa 85% interaksi akademik kini terjadi melalui platform digital, menciptakan tantangan baru dalam hal verifikasi sumber, validasi argumentasi, dan pemeliharaan etika diskusi ilmiah. Fenomena ini menuntut adaptasi cepat dari komunitas akademik dalam mengembangkan protokol dan etika baru yang sesuai dengan karakteristik media digital.
Prinsip Keadaban Digital Muhammadiyah
Muhammadiyah, melalui program Pandu Digital yang berkolaborasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika, telah merumuskan "Sembilan Poin Akhlaqul Sosmediyah" sebagai panduan etis dalam berinteraksi di dunia digital (PP Muhammadiyah, 2024). Inisiatif ini menekankan pentingnya tabayyun (verifikasi) sebelum menyebarkan informasi dan menghindari ujaran kebencian dalam diskusi akademik (Kahmad, 2024).
Data dari Majelis Pendidikan Tinggi Muhammadiyah menunjukkan bahwa implementasi panduan etis ini telah menurunkan 45% kasus konflik digital di lingkungan kampus Muhammadiyah (MPT Muhammadiyah, 2024). Studi longitudinal di lima PTM unggulan mengonfirmasi efektivitas pendekatan moderasi digital berbasis nilai-nilai Islam (Rahman, 2025). Keberhasilan ini menjadi model referensi bagi pengembangan kebijakan serupa di institusi pendidikan tinggi lainnya.
Program ini juga mencakup pengembangan sistem monitoring dan evaluasi berkelanjutan, melibatkan tim khusus yang terdiri dari ahli teknologi informasi, pakar komunikasi, dan ulama untuk memastikan keselarasan antara nilai-nilai Islam dan praktik digital kontemporer. Pendekatan holistik ini terbukti efektif dalam membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya etika digital di kalangan civitas akademika.
Laporan Komisi Etik Pendidikan Tinggi mencatat peningkatan signifikan dalam kasus persekusi akademik digital, dengan 67% kasus bermula dari perdebatan di media sosial yang tidak terkendali (KEPT, 2024). Studi BRIN mengidentifikasi pola sistematis dimana ketidaksepakatan akademik berevolusi menjadi serangan personal terorganisir (Widodo et al., 2024).
Fenomena "academic bullying" digital telah menyebabkan 23% akademisi membatasi keterlibatan mereka dalam diskusi publik, mengancam iklim kebebasan akademik (Kemendikbudristek, 2024). Muhammadiyah, melalui Majelis Diktilitbang, mendorong pengembangan mekanisme perlindungan digital bagi civitas akademika (PP Muhammadiyah, 2024).
Analisis mendalam terhadap pola persekusi digital menunjukkan bahwa serangan sering kali terorganisir dan sistematis, melibatkan koordinasi antar kelompok dan penggunaan bot media sosial. Dampaknya tidak hanya pada individu yang menjadi target, tetapi juga pada institusi pendidikan dan iklim akademik secara keseluruhan. Fenomena ini memerlukan pendekatan komprehensif yang melibatkan aspek teknologi, kebijakan, dan penguatan kapasitas komunitas akademik.
Rekomendasi dan Langkah ke Depan
Berdasarkan hasil kajian Konsorsium Perguruan Tinggi Islam Indonesia, diperlukan pendekatan integratif yang menggabungkan kearifan tradisional dengan inovasi digital (KPTII, 2024). Muhammadiyah merekomendasikan empat pilar penguatan: 1) Literasi digital berbasis nilai, 2) Sistem deteksi dini persekusi akademik, 3) Mekanisme mediasi konflik digital, dan 4) Penguatan solidaritas akademik (PP Muhammadiyah, 2024).
Kemendikbudristek telah mengalokasikan dana riset sebesar Rp 45 miliar untuk pengembangan platform keamanan digital akademik periode 2024-2025 (Kemendikbudristek, 2024). Inisiatif "Academic Digital Safety Net" yang melibatkan 120 perguruan tinggi menunjukkan hasil positif dalam mencegah eskalasi konflik digital (SAFENET, 2024).
Langkah-langkah konkret yang direkomendasikan meliputi pembentukan tim tanggap cepat digital di setiap perguruan tinggi, pengembangan sistem peringatan dini berbasis kecerdasan buatan untuk mendeteksi potensi persekusi, dan program pendampingan berkelanjutan bagi akademisi yang menjadi target persekusi digital. Implementasi rekomendasi ini memerlukan kolaborasi erat antara pemangku kepentingan dan dukungan kebijakan yang kuat dari otoritas pendidikan tinggi.
Pada era ketika jari lebih cepat dari pikiran, dan “stories” lebih nyaring dari nalar, kita diingatkan pada petuah lama yang tetap relevan: "Lidahmu adalah kendaraanmu; jika kau jaga, ia akan menjagamu" (Ali bin Abi Thalib). Di dunia digital, "lidah" kita telah bertransformasi menjadi ketikan dan posting-an. Tantangannya bukan sekadar menavigasi teknologi, tetapi mempertahankan adab di tengah arus deras informasi.
Sebagaimana kata Buya Hamka: "Kecerdasan tanpa budi pekerti adalah seperti perahu tanpa nahkoda." Barangkali jika masih bersama kita hari ini, KH. Ahmad Dahlan (dalam konteks modern) akan membuat quote semacam ini; "... di zaman when everything is a click away, yang tersulit justru meng-klik tombol tabayyun sebelum mendistribusikan informasi."
Kutipan yang saya tambahkan mengadaptasi pemikiran KH. Ahmad Dahlan ke dalam konteks digital kontemporer, menekankan pentingnya refleksi dan pengendalian diri dalam bermedia sosial. Epilog ini memberikan penutup yang menghubungkan kearifan tradisional dengan tantangan digital masa kini, sekaligus memberikan sentuhan yang menggelitik namun tetap dalam koridor akademis.