Kenaikan Isa dalam Al-Qur'an
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Mari kita lanjutkan pembahasan kita mengenai ayat-ayat Al-Qur`an yang sering disalahpahami. Kali ini, kita akan menelaah lebih dalam surat Ali Imran ayat 55, yang mengisahkan tentang perkataan Tuhan kepada Isa, "Wahai Isa, Aku akan mengangkatmu dan mengangkatmu kepada-Ku."
Pada dasarnya, ayat ini menggambarkan akhir dari perjalanan dakwah Isa di dunia, di mana Allah mengangkatnya ke hadirat-Nya. Baik umat Islam maupun Kristen memiliki pandangan yang serupa mengenai peristiwa ini, meskipun dengan istilah yang berbeda. Umat Kristen menyebutnya sebagai kenaikan Isa ke surga, sedangkan umat Islam memahaminya sebagai Allah mengangkat Isa ke sisi-Nya.
Namun, penggunaan bahasa Arab dalam ayat ini telah menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda, terutama mengenai nasib Isa. Sebagian pihak, termasuk beberapa kelompok Kristen dan Muslim Ahmadiyah, berpendapat bahwa ayat ini mengindikasikan kematian Isa. Sementara itu, mayoritas umat Muslim Sunni meyakini bahwa Isa tidak wafat di dunia, melainkan diangkat oleh Allah ke sisi-Nya.
Untuk memahami lebih lanjut makna ayat ini, perlu kita telusuri dua istilah bahasa Arab yang sering digunakan untuk menggambarkan kematian. Istilah pertama adalah "tawaffa", yang secara eksplisit berarti kematian. Jika ayat ini menggunakan istilah "tawaffa", maka tidak akan ada keraguan mengenai makna ayat tersebut, yaitu bahwa Allah menyebabkan Isa wafat.
Namun, ayat ini menggunakan istilah "mutawaffika", yang secara harfiah berarti "mengambil secara utuh". Istilah ini memang bisa digunakan sebagai eufemisme untuk kematian, namun makna aslinya bukanlah kematian. Jika dianalisis secara etimologis, "mutawaffika" lebih merujuk pada tindakan mengambil atau menerima sesuatu secara lengkap.
Penggunaan "mutawaffika" sebagai eufemisme untuk kematian dapat dipahami dalam konteks di mana Allah mengambil seseorang dari dunia ini. Dalam kebanyakan kasus, tindakan Allah mengambil seseorang berarti orang tersebut telah meninggal dunia. Namun, dalam kasus Isa, keyakinan Sunni umumnya adalah bahwa Allah menjaga Isa tetap hidup dan akan mengembalikannya ke Bumi pada suatu waktu di masa depan. Oleh karena itu, istilah "mutawaffika" yang digunakan dalam ayat ini tidak secara otomatis berarti kematian.
Untuk lebih memahami makna sebenarnya dari ayat ini, mari kita lihat kembali redaksi aslinya dalam bahasa Arab. Ayat tersebut berbunyi, "Idz qala Allahu ya 'Isa inni mutawaffika wa rafi'uka ilayya." (Ketika Allah berkata, "Wahai Isa, sungguh Aku akan mewafatkanmu dan mengangkatmu kepada-Ku"). Kata "mutawaffika" di sini merupakan bentuk kata kerja dari "tawaffa" yang telah disebutkan sebelumnya.
Kata kerja "tawaffa" dalam bentuk kelima ini memiliki makna yang kompleks dan telah dianalisis secara mendalam oleh Neil Robinson dalam bukunya, "Christ In Islam and Christianity". Robinson meneliti berbagai penggunaan kata kerja ini dan variasinya dalam Al-Qur`an, dan menyimpulkan bahwa maknanya tidak selalu merujuk pada kematian, melainkan bisa juga berarti "mengambil secara utuh" atau "menerima pembayaran penuh".
Dia telah meneliti berbagai contoh penggunaan kata kerja ini dan variasinya, termasuk berbagai ekstrapolasi dan bentuknya. Secara umum, kata kerja ini bermakna mengambil sesuatu secara utuh atau menerima pembayaran atas sesuatu. Dalam konteks ini, maknanya adalah mendapatkan pembayaran penuh.
Dalam konteks agama, kita sering melihat kata ini digunakan untuk menggambarkan Tuhan memberikan pahala kepada manusia. Misalnya, dalam ayat suci tertulis, "Tuhan akan memberikan pahala penuh kepada setiap jiwa atas apa yang telah mereka peroleh." Ini adalah contoh lain dari bentuk kedua kata kerja tersebut. Berbagai bentuk kata kerja ini memiliki nuansa berbeda, namun semuanya berakar pada gagasan dasar yang sama, yaitu mengambil, menggenggam, atau mendapatkan balasan. Oleh karena itu, ayat ini pada dasarnya menyampaikan bahwa Tuhan akan menangkap Isa secara utuh dan mengangkatnya kepada-Nya.
Namun, pernyataan ini tentu saja menimbulkan beragam tafsir di kalangan umat Islam. Umat Islam sendiri perlu mempertimbangkan beberapa pertanyaan terkait hal ini. Misalnya, mengapa ayat tersebut menyebutkan dua tindakan yang terkesan berbeda, yaitu "mengambil" dan "mengangkat"? Jika Tuhan mengambil seseorang, bukankah itu sudah menyiratkan bahwa Dia akan membangkitkan orang tersebut? Ke mana lagi Tuhan akan membawa orang yang telah diambil-Nya?
Pertanyaan ini bukan berarti kita menganggap Tuhan memiliki lokasi fisik tertentu. Kita tidak mengaitkan konsep arah dengan Tuhan, kecuali secara metaforis atau sebagai bentuk penghormatan, karena kita menganggap hal-hal yang tinggi sebagai sesuatu yang lebih mulia. Namun, mengaitkan arah tertentu dengan Tuhan bertentangan dengan teologi Islam. Oleh karena itu, para cendekiawan Muslim mempertanyakan makna frasa "mengangkat Isa kepada-Nya". Apakah ini berarti Isa diangkat ke suatu tempat fisik di atas sana?
Namun, istilah-istilah ini, menurut mereka, hanya digunakan untuk membantu pemahaman kita. Isa tidak lagi berada di dunia ini. Saat ini, kita bisa saja mengatakan bahwa Tuhan memindahkan Isa ke alam keberadaan lain, atau ke dimensi yang berbeda, alih-alih mengatakan bahwa Tuhan mengangkat Isa kepada-Nya. Namun, "mengangkat Isa kepada-Nya" adalah ungkapan tradisional yang digunakan dalam teks agama. Pertanyaannya kemudian, mengapa diperlukan dua kata kerja, "mengambil" dan "mengangkat"?
Ini adalah pertanyaan yang membingungkan. Beberapa cendekiawan Muslim bahkan berpendapat bahwa kata kerja pertama, "mengambil", berarti "menyebabkan kematian". Jadi, ayat tersebut dapat diartikan sebagai, "Aku akan menyebabkan kamu mati dan membangkitkanmu untuk diriku sendiri."
Untuk menjelaskan hal ini, mereka mengacu pada tradisi Kristen, dengan mengatakan bahwa Isa berada di kayu salib dan Tuhan menyebabkan kematiannya selama beberapa jam, kemudian membangkitkannya untuk diri-Nya sendiri. Ada juga yang berpendapat bahwa ini adalah contoh dari apa yang disebut (berbicara bahasa asing), yaitu ketika hal yang terakhir disebutkan justru didahulukan, dan hal yang seharusnya disebutkan pertama malah disebutkan terakhir.
Jdi, menurut mereka, ketika Tuhan berkata, "Aku akan menyebabkan kamu mati dan membangkitkanmu untuk diriku sendiri," sebenarnya artinya, "Aku akan membangkitkanmu untuk diriku sendiri saat ini, lalu aku akan mengembalikanmu ke dunia di masa depan, dan saat itulah aku akan menyebabkan kematianmu yang terakhir." Penjelasan paling sederhana adalah bahwa ayat ini berarti Tuhan membuat Isa tertidur, lalu mengangkatnya kepada-Nya.
Al-Qur'an juga menyebutkan penggunaan istilah ini untuk menggambarkan seseorang yang sedang tidur, setidaknya di dua tempat, yaitu dalam surat keenam dan surat ke-39. (Shabir berbicara bahasa asing) Salah satu ayatnya mengatakan bahwa Tuhan mengambil jiwa orang yang mati, dan juga mengambil jiwa orang yang sedang tidur, lalu mengembalikannya saat orang tersebut bangun di pagi hari. Kata kerja yang sama dapat digunakan untuk berarti tidur atau mati.
Oleh karena itu, kesesuaian penggunaan istilah ini dalam ayat tersebut, sebagaimana diterapkan pada Isa, adalah karena kematian Isa yang ambigu. Orang-orang memahaminya berdasarkan narasi Injil. Dari sudut pandang orang-orang di sekitarnya, Isa terlihat mati di kayu salib. Namun, tidak ada bukti medis yang memastikan kematiannya, sehingga orang hanya berasumsi bahwa dia telah meninggal.
Keraguan muncul kemudian. Injil Matius mencatat bahwa lawan-lawan Isa meminta Pilatus untuk menjaga makamnya agar murid-muridnya tidak mencuri jenazahnya dan mengklaim bahwa dia telah bangkit. Ini menunjukkan bahwa beberapa orang meragukan kematian Isa. Bahkan Pilatus, dalam Injil Markus, merasa heran ketika mendengar bahwa Isa telah mati begitu cepat, karena penyaliban biasanya membutuhkan waktu berhari-hari untuk membunuh seseorang.
Meskipun Injil, yang ditulis dari sudut pandang orang-orang yang percaya bahwa Isa telah mati, berusaha menekankan kematiannya, pembaca yang jeli dapat melihat bahwa ada keraguan awal tentang apakah Isa benar-benar meninggal atau tidak.
Oleh karena itu, Al-Qur'an tampaknya memanfaatkan ambiguitas ini dengan menggunakan istilah yang juga memiliki makna ganda. Istilah tersebut bisa berarti kematian atau tidur, dan dalam konteks ini, tampaknya lebih tepat diartikan bahwa Tuhan telah menidurkan Isa dan mengangkatnya kepada-Nya. Tentu saja, banyak umat Muslim Sunni percaya bahwa ini menyiratkan bahwa Tuhan akan mengirim Isa kembali ke Bumi di masa depan.