Menjaga Ruang Kebebasan Berekspresi dari Ancaman Kepala Babi
Oleh: Ahsan Jamet Hamidi, Wakil Sekretaris LPCRPM Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Anggota AJI Jakarta Biro Banten
Keluarga kerajaan Thailand dilindungi oleh lese majeste, sebuah aturan hukum yang mengatur perilaku warga berkaitan dengan keluarga kerajaan. Kebijakan ini dinilai sebagai peraturan paling ketat di dunia. Ada pasal yang melindungi anggota keluarga kerajaan dari segala bentuk hinaan atau ancaman. Misalnya, dalam Pasal 112 disebutkan bahwa seseorang yang "merusak nama baik, menghina, atau mengancam raja, ratu, putra mahkota, atau bangsawan" akan dihukum penjara hingga 15 tahun.
Baru-baru ini, Pengadilan Banding di kota utara Chiang Rai, Thailand, telah menjatuhkan hukuman 50 tahun penjara kepada Mongkol Thirakot, seorang mantan aktivis pro-demokrasi, karena postingan di akun Facebook pribadinya. Hukuman yang sama juga dijatuhkan kepada Anchan, seorang perempuan, dengan penjara selama 43 tahun karena mengunggah klip audio dari podcast di YouTube dan Facebook. Awalnya, ia dijatuhi hukuman 87 tahun, namun setelah mengaku bersalah, hukuman tersebut dipotong setengah.
Berbeda dengan Thailand, Myanmar, negara yang dikuasai oleh junta militer, juga memberlakukan kekejaman yang sama terhadap warganya yang gemar mengkritik rezim penguasa. Menurut laporan Radio Free Asia, sebuah organisasi independen yang menyoroti intoleransi penguasa militer terhadap perbedaan pendapat dan kebebasan berekspresi, rezim Myanmar telah menangkap lebih dari 1.300 warga karena melontarkan kritik online dalam 20 bulan terakhir.
Sebelum ditangkap, mereka dijadikan sasaran teror oleh para pendukung junta militer. Data pribadi pengkritik akan disebar di media sosial agar mudah diketahui publik. Data for Myanmar melaporkan bahwa junta militer telah menahan rata-rata 65 orang setiap bulannya. Sebagian besar adalah para pengguna Facebook yang mengkritik perilaku junta militer.
Aksi para penguasa yang gemar membungkam kebebasan berekspresi itu tidak menyurutkan tekad para pegiat media dan Hak Asasi Manusia untuk terus menyuarakan kebebasan. Mereka terus berjuang agar segala informasi terkait perilaku buruk yang melanggar hukum dari para pejabat pemerintah bisa diketahui publik. Kejahatan rezim penguasa Myanmar semakin sempurna karena mendasarkan tindakannya pada undang-undang antiterorisme. Para pengkritik dianggap telah memicu tindakan teroris. “Padahal sebenarnya mereka sendiri yang melakukan terorisme,” ungkap Kyaw Zaw, juru bicara kantor kepresidenan NUG alias Pemerintahan Persatuan Nasional Republik Persatuan Myanmar yang berada di pengasingan.
Ruang kebebasan berekspresi di kedua negara tersebut telah terkunci. Suara kritik dari warga ataupun media dibalas dengan penangkapan dan penjara. Akibatnya bisa ditebak, tidak ada lagi partisipasi warga, sikap kritis, dan kontrol atas segala bentuk pelanggaran hukum oleh mereka yang sedang berkuasa. Kekuasaan akan terus digenggam kuat di tangan satu rezim saja. Pelanggaran hukum dan kekerasan akan dianggap benar selama untuk melanggengkan kekuasaan.
Ruang Kebebasan Berekspresi di Indonesia?
Saya bersyukur menjadi warga negara Indonesia yang konstitusinya menjamin adanya kebebasan berekspresi bagi seluruh warga negaranya. Jaminan itu tertulis pada Pasal 28E ayat (3) UUD 1945: "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."
Konstitusi adalah hukum tertinggi di Indonesia. Oleh karena itu, warga dan seluruh komponen penyelenggara negara wajib menaatinya. Kebebasan berekspresi adalah salah satu hak asasi warga yang harus dipenuhi. Ruang itu harus dijaga agar bisa digunakan sebagai medium untuk menyampaikan aspirasi. Aspirasi warga dan media tidak boleh dibatasi, sepanjang ia tidak melanggar undang-undang. Aspirasi bisa berwujud usulan, peringatan, hingga kritik. Ia muncul sebagai pertanda bahwa suatu negara demokrasi itu sehat.
Kebebasan berekspresi dijaga untuk memastikan bahwa suara kritis warga dan media muncul ketika ada kebijakan atau pelanggaran oleh para penyelenggara negara yang bertentangan dengan undang-undang. Dalam sistem demokrasi, hak untuk menyuarakan kepentingan warga yang berpotensi akan atau telah dilanggar haknya itu harus dijamin. Sekeras apapun suara yang didengungkan, kritik harus disikapi dengan bijaksana. Karena salah satu risiko dari menjadi pemimpin atau pejabat publik adalah kesediaannya menerima kritik dari warga sebagai pemilik kedaulatan.
Kritik Harus Dijamin
Berbeda dengan sistem Kerajaan, dalam sebuah negara yang menganut kedaulatan ada di tangan rakyat, seorang pemimpin bisa mendapatkan kuasa dan jabatan atas pilihan dari suara rakyat. Sehebat apapun orang tersebut, ketika rakyat tidak memilihnya, maka ia akan selesai. Berbeda dengan Raja yang bisa memperoleh kursi kekuasaannya cukup dari warisan moyangnya. Oleh karena itu, secara prinsip, seorang kepala negara/daerah, tidak boleh mengabaikan suara rakyat yang telah memilihnya. Mereka telah disumpah setia pada janji untuk mengabaikan kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Mengapa kritik harus dijamin? Karena ketiadaan jaminan dari manusia untuk selalu menepati janjinya. Selalu ada jarak antara janji dan bukti. Bayangkan, ketika seorang kepala negara yang harus mengelola ribuan triliun dana rakyat untuk pembangunan, alangkah gawatnya jika ia bisa berlaku semaunya tanpa ada kontrol ketat dari orang lain.
Dalam negara berkedaulatan rakyat, warga negara berkedudukan sederajat di depan hukum. Kemelekatan pada jabatan, solidaritas, dan pembelaan pada korp, harus tetap dilakukan dalam koridor hukum yang sarat dengan prinsip keadilan dan kesamaan derajat di depan hukum. Oleh karena itu, tidak boleh ada orang atau kelompok yang mendapatkan impunitas karena jabatan dan kedudukannya.
Ruang yang Tercemari
Akhir-akhir ini, anugerah ruang kebebasan berekspresi yang kita miliki seolah tercemari oleh bau apek yang timbul dari sikap para penyelenggara negara yang terkesan kurang bijaksana dalam menerima kritik. Ketika kritikan warga dan media dibalas dengan kata-kata "Ndasmu", "Kampungan", "Bacot", "Anjing Menggonggong", bahkan dengan kiriman bangkai kepala tikus dan kepala babi, maka sejatinya kita sedang memadamkan api yang sedang menerangi jalan gelap menuju demokrasi.
Segeralah menyadari, bahwa segala keistimewaan yang sedang dinikmati oleh para penikmat kursi kekuasaan itu berbatas. Begitu saatnya tiba, kalian akan kembali menjadi rakyat biasa. Ketika itu, tidak ada lagi kerumunan orang-orang dekat yang datang dengan berbagai jurus jilatan dan sumpah setia. Ah... apalah enaknya disuguhi janji kesetiaan yang sarat kepalsuan.
Lebih baik, segeralah mengasah batin dan telinga agar lebih peka terhadap suara rakyat yang mengkritik Anda. Yakinlah, kritik warga dan awak media itu memang bising di telinga, tetapi bisa menyelamatkan Anda. Sebaliknya, bisikan dan jilatan berbisa itu terasa enak rasanya, namun bisa menjerumuskan Anda ke jurang yang sangat dalam di masa yang akan datang.
Mari kita bersihkan ruang kebebasan berekspresi itu dari bau anyir bangkai tikus dan kepala babi.