YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Alimatul Qibtiyah, MA., PhD menyoroti kepemipinan perempuan yang masih rendah. Dikatakan sampai sekarang keterwakilan kepemimpinan perempuan belum mencapai 30 persen. Padahal, urgensi kepemimpinan perempuan sangat relevan dalam dunia politik.
"Kepemimpinan perempuan tidak dimaksudkan untuk menjatuhkan dan merebut kekuasaan dari laki-laki, melainkan agar perempuan dapat menjadi mitra sejajar dengan laki-laki. Sebagaimana realitas penciptaan yang beragam untuk saling mengisi dan melengkapi," ujarnya saat Muhasabah Muhammadiyah Ahad (1/9) Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta di Masjid Noor Pakuningratan Yogyakarta.
Alim menambahkan, urgensi kepemimpinan perempuan dalam politik untuk membawa isu perempuan dalam pengambilan keputusan yang berdampak luas bagi masyarakat. Dan juga berkontribusi menghasilkan kebijakan yang berspektif gender lebih adil dan komprehensif.
"Sehingga, hak, kepentingan, dan kebutuhan perempuan dapat terpenuhi," imbuhnya.
Alim membeberkan, menghadirkan banyak perempuan menjadi pemimpin harus dilakukan. Menurutnya, keterwakilan perempuan dalam ranah politik meniscayakan bagian dari pemenuhan hak politik perempuan yang telah dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya.
"Menghadirkan perempuan itu memang penting. Paling tidak walaupun pemimpinnya laki-laki, tapi bagaimana nanti kabinetnya juga menghadirkan perempuan. Semakin banyak pemimpin perempuan, maka semakin bagus indeks gendernya," jelasnya.
Alim membongkar problematika kepemimpinan perempuan dalam politik. Setidaknya dibagi menjadi tiga hal. Pertama, domestik. Menurutnya, masih banyak perempuan yang bebannya berlebih dari laki-laki. "Beban berlebih sebagai seseorang diyakini penanggungjawab urusan pengasuhan dan pekerjaan rumah tangga," urainya.
Kedua, publik. Alim menjelaskan masih terjadi pelabelan negatif di mana perempuan diragukan kemampuannya dalam pemimpin. Ketiga, ritual. Perempuan masih diragukan dan dipertanyakan jika memimpin ritual keagamaan. Sebab, sampai sekarang masih mendominasi laki-laki yang didapuk memimpin acara serupa itu.
"Kita mencoba ritual tidak selalu identik dengan laki-laki, karena perempuan juga bisa melakukannya," tegasnya.
Alim meminta pelibatan perempuan dalam politik (memimpin) jangan dijadikan sebagai beban masalah yang berlebih. Karena adanya tugas reproduksi yang tidak dapat digantikan oleh laki-laki. "Pelibatan perempuan dalam posisi strategis sangat penting. Karena adanya isu-isu perempuan yang lebih nyaman dan pas jika yang menyampaikan perempuan sendiri," tuturnya.
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tersebut mengungkapkan Tuhan mengakui kepemimpinan perempuan. Hal ini terpotret dalam kisah Ratu Balqis sebagaimana terlukis di Qs an-Naml 29-35. Al-Qur'an tidak pernah mencela kepemimpinan Ratu Balqis. Sebaliknya, Al-Qur'an justru memaparkan betapa baik dan tepatnya keputusan dan kebijakan yang diambil Ratu Balqis ketika menanggapi surat dari Nabi Sulaiman.
"Secara implisit, Al-Qur'an ingin menunjukkan bahwa seorang wanita pun sanggup memimpin suatu negeri dengan bijaksana. Negara Saba' dikenal sebagai Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur," tandasnya. (Cris)