Kesadaran Politik sebagai Penuntun Demokrasi
Oleh: Suko Wahyudi, PRM Timuran Yogyakarta
Rendahnya kesadaran politik merupakan salah satu problem mendasar dalam kehidupan bangsa. Demokrasi yang digadang-gadang sebagai sistem terbaik sering kali berhenti pada tataran prosedur. Pemilu berlangsung secara rutin, wakil rakyat terpilih, pemerintahan terbentuk, dan rakyat seolah diminta percaya bahwa semua telah berjalan sebagaimana mestinya.
Namun di balik formalitas itu, rakyat kerap bersikap pasif, menerima begitu saja apa yang diputuskan penguasa, tanpa sikap kritis dan tanpa pemahaman mendalam tentang hak-haknya.
Manipulasi Elite dan Pasifnya Rakyat
Keadaan demikian membuka peluang bagi elite untuk mengendalikan opini publik sesuai dengan kepentingannya. Narasi yang disusun dengan bahasa manis, janji yang dibalut harapan, retorika populis yang menyentuh perasaan, hingga propaganda media yang terus-menerus diulang, menjelma sebagai alat untuk mengendalikan persepsi masyarakat.
Realitas tidak lagi dilihat apa adanya, melainkan melalui bingkai yang sudah dirancang. Sebuah kebijakan yang sejatinya hanya menguntungkan segelintir orang dapat dipersepsikan sebagai langkah mulia untuk kesejahteraan bersama.
Janji politik, retorika populis, dan propaganda media menjadi instrumen yang menghipnotis masyarakat. Janji politik sering diucapkan untuk meraih simpati, padahal tidak selalu sungguh-sungguh akan diwujudkan. Retorika populis menciptakan kedekatan emosional dengan rakyat kecil, tetapi sering berhenti pada kata-kata yang meninabobokan.
Propaganda media bekerja lebih halus, membentuk opini melalui informasi yang diulang hingga menancap dalam kesadaran kolektif. Rakyat yang tidak terbiasa berpikir kritis mudah percaya, merasa diperhatikan, padahal sering kali yang diperjuangkan hanyalah kepentingan kekuasaan.
Rendahnya kesadaran politik membawa akibat yang tidak ringan. Demokrasi menjadi sekadar pesta formalitas, di mana Pentingnya Pendidikan Politik Rakyat memilih bukan karena pertimbangan rasional, melainkan karena janji sesaat, kedekatan emosional, bahkan iming-iming materi.
Rakyat menjadi mudah dimobilisasi, diarahkan untuk mendukung kebijakan tertentu tanpa benar-benar memahami substansinya. Kekuasaan pun berjalan tanpa kontrol yang memadai, karena rakyat tidak hadir sebagai pengawas yang tangguh. Penguasa merasa leluasa bertindak, sebab tahu bahwa rakyat tidak kritis, tidak menuntut transparansi, dan tidak berani bersuara.
Pentingnya Pendidikan Politik
Jalan keluar dari keadaan ini terletak pada pembangunan kesadaran politik yang matang. Kesadaran semacam ini tidak lahir begitu saja, melainkan tumbuh melalui pendidikan, pengalaman, dan pembiasaan untuk berpikir kritis.
Kesadaran politik yang matang berarti rakyat memahami hak dan kewajibannya, berani menilai kebijakan dengan akal sehat, serta menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Mereka tidak mudah percaya pada retorika, karena menilai janji berdasarkan rekam jejak. Mereka tidak sekadar pasif, tetapi berpartisipasi dalam diskusi, organisasi, dan advokasi kebijakan. Kritik mereka bukan untuk menjatuhkan, melainkan untuk memperbaiki.
Kesadaran politik yang matang menjadikan rakyat lebih bijak, lebih berani, sekaligus lebih bertanggung jawab. Mereka tidak mudah dimanipulasi, karena mampu memilah kepentingan yang sejati dari kepentingan semu. Dalam kondisi demikian, kekuasaan tidak lagi berjalan tanpa kendali. Penguasa sadar bahwa setiap langkahnya diawasi, setiap kebijakannya dinilai, dan setiap tindakannya dipertanyakan. Kontrol rakyat yang kuat inilah yang menjaga kekuasaan tetap berada di jalur yang benar.
Pendidikan politik menjadi kunci untuk mencapai kesadaran itu. Pendidikan politik tidak cukup berhenti di ruang kelas, tetapi harus dihidupkan dalam ruang publik. Media massa, lembaga pendidikan, organisasi masyarakat, dan keluarga semuanya dapat berperan.
Media yang independen menyajikan informasi yang jernih, lembaga pendidikan membekali ilmu, organisasi melatih keberanian bersuara, keluarga menanamkan nilai kejujuran dan tanggung jawab. Diskusi tentang isu publik, keterlibatan dalam musyawarah desa, dan keberanian menyampaikan kritik yang santun merupakan bagian dari pendidikan politik yang nyata.
Menuju Kesadaran Politik yang Matang
Meski demikian, membangun budaya kritis menghadapi banyak tantangan. Budaya feodalisme masih melekat, membuat rakyat enggan mengkritik pemimpin. Akses informasi tidak merata, sehingga rakyat sering menerima informasi yang bias. Politik uang masih kuat, membuat pilihan rakyat lebih pragmatis ketimbang rasional.
Untuk mengatasi semua ini, dibutuhkan sinergi. Pemerintah harus membuka ruang partisipasi, media harus setia pada independensi, dan masyarakat sipil harus konsisten menumbuhkan kesadaran kritis.
Demokrasi pada hakikatnya adalah ruang belajar bersama. Rakyat belajar memahami posisinya sebagai pemilik kedaulatan, penguasa belajar menjalankan kekuasaan dengan bijak, dan media belajar menjaga keseimbangan informasi.
Demokrasi yang sehat hanya mungkin terwujud bila rakyat berperan sebagai subjek aktif. Tanpa itu, demokrasi hanya akan menjadi panggung sandiwara, di mana rakyat hanyalah penonton yang terbuai, sementara lakon sejatinya dimainkan oleh elite yang lihai mengatur kata.
Rendahnya kesadaran politik memang memberi peluang luas bagi manipulasi. Tetapi jalan menuju kesadaran selalu terbuka. Selama rakyat mau belajar, berpikir kritis, dan berani terlibat, demokrasi tidak akan terjebak dalam formalitas. Ia akan tumbuh sebagai sistem yang hidup, di mana rakyat tidak lagi menjadi objek manipulasi, melainkan subjek yang menentukan arah bangsa.
Dalam kesadaran politik yang matang, rakyat hadir sebagai pengawas yang tangguh sekaligus penuntun yang bijak, menjaga kekuasaan tetap berpihak pada keadilan dan kesejahteraan bersama.