Ketika Boros Dianggap Kebaikan
Oleh: Rusydi Umar, Dosen FTI UAD, Anggota MPI PP Muhammadiyah (2015-2022)
Ada saja alasan yang terasa “masuk akal” ketika seseorang ingin membenarkan perilaku borosnya. Di rumah makan, misalnya, ia meninggalkan sisa makanan hampir sepiring penuh. Ketika ditegur temannya, ia tertawa santai, “Ah, nggak apa-apa. Toh nanti dimakan semut, ulat, atau jadi rezekinya makhluk Allah yang lain.” Di rumah, ia menyalakan AC, lalu pergi keluar beberapa jam. Ketika ditanya kenapa tidak dimatikan, ia menjawab, “Lha listrik yang saya bayar kan jadi pemasukan PLN, menggerakkan ekonomi, menambah kesejahteraan pegawainya.” Bahkan ada yang berkomentar, “Pemborosan itu kan tidak pernah sia-sia. Duit berputar, ekonomi hidup, semua ikut merasakan manfaatnya.”
Pola pikir seperti ini tidak sedikit kita jumpai. Ada semacam keyakinan bahwa selama ada “manfaat turunan”, meski tidak kita niatkan, maka tidak ada yang perlu disesalkan. Uang yang dihamburkan dianggap bagian dari perputaran rezeki. Makanan yang dibuang dianggap bagian dari siklus alam. Energi yang terbuang dianggap bagian dari ekonomi nasional. Seolah-olah semua pemborosan otomatis berubah menjadi kebaikan hanya karena ada orang lain, entah siapa, yang akhirnya menerima manfaat sampingan.
Namun di sinilah letak kesalahpahaman yang sering luput dari perhatian. Islam tidak menilai sesuatu hanya dari nasib akhir bendanya, tetapi dari sikap batin dan pilihan sadar pelakunya. Al-Qur’an mengingatkan, “Janganlah kamu berlebih-lebihan (isrāf). Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31). Ayat ini tidak berbicara tentang ke mana makanan itu pergi, siapa yang menikmati listrik itu, atau bagaimana ekonomi berputar. Ayat ini bicara tentang manusia, tentang cara kita memperlakukan nikmat Allah secara proporsional dan penuh tanggung jawab.
Di masyarakat, istilah “mubazir”, “boros”, “tabdzir”, dan “isrof” sering dipakai campur aduk. Padahal ulama membedakan dengan cukup jelas. Tabdzir adalah membelanjakan sesuatu untuk maksiat atau kemudaratan. Jelas hukumnya haram, walaupun kegiatan itu membawa banyak manfaat dan menggerakkan ekonomi. Adapun isrāf adalah penggunaan yang berlebih dari kebutuhan, meskipun bukan untuk maksiat. Ia tidak otomatis berdosa, tetapi tetap tercela. Banyak orang menyebut apa pun yang tidak diperlukan sebagai “mubazir”, padahal yang dimaksud sebenarnya adalah isrāf, perilaku berlebihan yang tidak proporsional.
Kembali ke contoh tadi. Sisa makanan yang kita buang mungkin saja dimanfaatkan hewan, menjadi kompos, atau masuk ke rantai manfaat lain. Tetapi perilaku membuangnya tanpa upaya menghabiskan atau membagikan kepada yang membutuhkan tetaplah isrāf. Manfaat turunan yang terjadi bukan karena kebijakan kita, melainkan karena sunnatullah atas alam. Kita tidak bisa “menumpang pahala” pada sesuatu yang tidak kita niatkan dan tidak kita upayakan. Sama halnya dengan AC yang dibiarkan menyala berjam-jam tanpa penghuni. Benar, PLN mendapat pemasukan, roda ekonomi bergerak. Tetapi energi yang terbuang, emisi yang meningkat, dan penggunaan nikmat yang tidak perlu tetap menunjukkan sikap boros, buruk dalam adab dan akhlak.
Di titik ini penting ditegaskan: besar manfaat ekonomi tidak otomatis menghapus status isrāf. Ada pengeluaran yang besar dan menghasilkan lapangan kerja, tetapi tetap berlebihan karena tidak proporsional dengan kebutuhan. Sebaliknya, ada pengeluaran yang kecil namun sangat bijak karena tepat guna, menjaga amanah, dan selaras dengan tujuan kemaslahatan. Islam tidak menuhankan angka, tetapi menegakkan akhlak dan niat.
Lalu apakah setiap isrāf pasti berdosa? Para ulama memberikan parameter. Isrāf menjadi dosa jika: (1) membawa pada kerusakan diri atau hilangnya kewajiban, (2) dilakukan dengan kesombongan atau pamer, atau (3) menghalangi hak orang lain. Jika seseorang berbelanja melebihi kemampuan hingga menelantarkan nafkah keluarga, itu bukan sekadar isrāf, tapi dosa. Namun jika seseorang memiliki makanan berlebih dan tidak mampu menghabiskannya, lalu berusaha membaginya, maka ia terhindar dari isrāf, meskipun ujungnya makanan itu tetap dimakan hewan ternak atau menjadi sampah. Yang membedakan adalah niat dan usaha, bukan sekadar akibat akhir.
Itulah mengapa memberi sisa makanan langsung kepada peternak adalah amal baik, sementara membuangnya ke tempat sampah dengan dalih “nanti juga dimakan hewan” tetap tercela. Tindakan pertama lahir dari niat memberi manfaat; tindakan kedua lahir dari sikap abai. Nilainya berbeda di hadapan Allah, meski bendanya sama-sama berujung pada hewan ternak.
Pada akhirnya, pesan Islam sederhana tetapi mendalam: nikmat adalah amanah. Kita tidak diminta menjadi pelit, tetapi diminta menjadi bijak. Allah tidak melarang kenyamanan, tetapi melarang berlebihan atau kesia-siaan. Di zaman konsumerisme hari ini, ketika segalanya mudah dibeli dan mudah dibuang, isrāf bukan sekadar perilaku, tetapi budaya. Dan budaya hanya bisa dilawan dengan kesadaran.
Maka marilah kita mulai dari hal kecil: menghabiskan makanan, mematikan listrik, menggunakan harta sesuai kebutuhan, dan berniat memberi ketika mampu berbagi. Sebab ukuran kemuliaan bukan pada banyaknya yang kita hamburkan, tetapi pada tanggung jawab atas setiap nikmat yang kita genggam. Dalam kesederhanaan yang terjaga, di sanalah Allah menitipkan keberkahan.


