Siapa yang Sebenarnya Mengendalikan Kita?

Publish

22 September 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
31
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Siapa yang Sebenarnya Mengendalikan Kita?

Oleh: Suko Wahyudi, PRM Timuran Yogyakarta 

Pertanyaan ini pada mulanya tampak sederhana, namun sesungguhnya mengandung kedalaman makna yang amat luas. Ia bukan sekadar menyangkut urusan individu, melainkan juga menyentuh inti relasi antara rakyat dan negara, antara suara hati dan kekuasaan, antara kebebasan dan kendali. Sejarah politik manusia, sejak masa paling awal hingga era digital kini, selalu memperlihatkan dinamika kendali: siapa menguasai, siapa dikendalikan, dan bagaimana kendali itu dijalankan.

Dalam konteks bernegara, kendali paling tampak hadir ketika kekuasaan menjadi alergi terhadap kritik. Padahal, kritik adalah tanda vital kehidupan demokrasi. Tanpa kritik, demokrasi hanyalah nama tanpa isi, prosedur tanpa jiwa. 

Kritik sejatinya bukan ancaman, melainkan sarana koreksi yang melahirkan perbaikan. Tetapi begitu kritik dipandang berbahaya, biasanya muncul pelbagai cara pembungkaman, baik dengan dalih hukum, tekanan sosial, maupun penanaman rasa takut.

Kata-kata Voltaire terasa abadi: siapa yang melarang kita berbicara, dialah yang sebenarnya sedang mengendalikan kita. Larangan itu tidak selalu berbentuk larangan formal, tetapi bisa hadir dalam bentuk lebih halus, narasi yang dimonopoli, opini publik yang diarahkan, atau perbincangan yang dikendalikan. Dengan demikian, kendali bukan hanya urusan kekuasaan politik, tetapi juga perihal hegemoni wacana.

Sejarah Indonesia memberi pelajaran berharga. Pada masa Orde Baru, kendali dijalankan dengan tegas: oposisi dibungkam, suara berbeda ditekan, dan kritik dipandang sebagai ancaman stabilitas. 

Reformasi membuka ruang kebebasan, tetapi kebebasan itu tidak serta-merta melahirkan kedewasaan. Kini, di tengah demokrasi elektoral, kendali hadir dalam bentuk lain: stigmatisasi, serangan digital, dan pengaburan batas antara kritik dan fitnah. Politik masih berjalan, tetapi sering kali kehilangan ruang kontemplatif yang menyehatkan.

Hegemoni Kendali di Era Digital

Dalam lanskap kontemporer, kendali semakin kompleks. Kehidupan politik kini tak lagi terbatas pada ruang fisik parlemen dan kantor pemerintahan, melainkan meluas ke ruang digital yang tak berbatas. 

Media sosial menjadi arena baru di mana rakyat sekaligus menjadi pelaku dan objek. Di sinilah algoritma memainkan peran: ia menyaring, memilih, dan menyajikan informasi dengan logika yang tidak netral. Apa yang kita lihat setiap hari sesungguhnya adalah realitas yang telah dikonstruksi.

Fenomena buzzer politik memperlihatkan bentuk kendali yang lebih subtil. Mereka bekerja bukan hanya untuk menyuarakan, melainkan juga untuk menenggelamkan; bukan sekadar menyebarkan informasi, tetapi juga memanipulasi percakapan. 

Ruang publik yang seharusnya diisi dialektika sehat sering kali berubah menjadi gelanggang bising, penuh dengan gema yang diproduksi secara artifisial. Dalam suasana demikian, rakyat merasa berbicara, padahal sesungguhnya sedang digiring.

Kritik dalam politik seharusnya menjadi mekanisme keseimbangan. Ia menjaga agar kekuasaan tidak melampaui batas, dan agar kebijakan senantiasa berpihak pada kebaikan bersama. Politik yang menolak kritik sama saja dengan menolak bercermin; politik yang merangkul kritik justru memperlihatkan kematangannya. Pemimpin yang dikelilingi hanya oleh pujian akan kehilangan pandangan jernih terhadap realitas. Kritik memang pahit, tetapi kepahitan itulah yang menumbuhkan kesadaran dan membuka jalan bagi perubahan.

Kritik sebagai Fondasi Demokrasi

Namun, kritik juga menuntut tanggung jawab. Ia tidak boleh jatuh menjadi cercaan tanpa arah, apalagi sekadar alat provokasi. Kritik yang bernas lahir dari kejernihan nalar dan kejujuran hati; ia menyapa dengan tegas tetapi tetap membawa iktikad memperbaiki. Rakyat yang kritis sekaligus bijak merupakan fondasi kokoh bagi demokrasi yang sehat.

Pertanyaan “siapa yang sebenarnya mengendalikan kita?” pada akhirnya membawa kita kepada refleksi yang lebih luas. Kendali bisa hadir dalam banyak rupa: negara dengan regulasinya, elite politik dengan kekuasaannya, pemilik modal dengan kekuatan ekonominya, algoritma dengan logikanya, bahkan opini publik dengan tekanannya. Namun kendali itu akan bertahan hanya sejauh rakyat memilih untuk diam.

Ketika rakyat berani bersuara, berani mengajukan kritik, dan berani melawan manipulasi, kendali itu berbalik arah, dari penguasa kembali ke tangan rakyat. Demokrasi tanpa kritik hanyalah ornamen, dan politik tanpa partisipasi rakyat hanyalah permainan segelintir orang. Karena itu, tugas kita adalah memastikan politik kembali pada hakikatnya: sebagai sarana pengabdian untuk kepentingan bersama, bukan sekadar panggung untuk mempertahankan kekuasaan.

Negara yang kuat bukanlah negara yang membungkam suara rakyat, melainkan negara yang berani mendengarnya. Sebab hanya penguasa yang rapuh yang takut pada kritik, sedangkan penguasa yang dewasa menjadikan kritik sebagai penopang kekokohan dirinya. Dengan demikian, kendali sejati bukanlah monopoli segelintir orang di tampuk kekuasaan, melainkan hak rakyat yang sadar, kritis, dan bertanggung jawab menjaga arah politik bangsanya.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan. Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Mari kita lanjutkan perjalanan ....

Suara Muhammadiyah

6 November 2024

Wawasan

Manifestasi Pengalaman Agama Oleh: Prof Dr Syamsul Anwar, MA Manifestasi pengalaman agama ada yang....

Suara Muhammadiyah

14 June 2024

Wawasan

Menggenjot Investasi Berbasis Masyarakat Oleh: Syafrudin Anhar Salah satu cara dari sekian banyak ....

Suara Muhammadiyah

22 September 2023

Wawasan

Sepeda adalah Vitamin Ekonomi Berkelanjutan Oleh: Miqdam A Hashri, M.Si, C.LQ, Anggota LDK PP ....

Suara Muhammadiyah

30 August 2024

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan. Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Mari kita lepaskan sejenak pand....

Suara Muhammadiyah

4 October 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah